Selamat datang di website E-PAPER PERPUSTAKAAN DPRRI.

Koleksi Perpustakaan DPR RI

Judul LIPUTAN KHUSUS DANA KAPITASI: Sulitnya Mengakses Dokumen Dana Kapitasi
Tanggal 09 April 2018
Surat Kabar Kompas
Halaman 1
Kata Kunci
AKD - Komisi IX
Isi Artikel LIPUTAN KHUSUS DANA KAPITASI Sulitnya Mengakses Dokumen Dana Kapitasi MADINA NUSRAT/HARRY SUSILO   9 April 2018 · 10:00 WIB           Korupsi dana kapitasi di Kabupaten Jombang, Jawa Timur, cukup membuat kita terhenyak. Tak semestinya dana yang bermanfaat membiayai pelayanan kesehatan masyarakat lewat program BPJS Kesehatan itu dikorupsi. Pada kenyataannya, laporan pengelolaan dana itu pun sulit diakses. Kesulitan itu diantaranya dialami Komisi Pemberantasan Korupsi. Lembaga anti-rasuah itu masih kesulitan memperoleh data dana kapitasi per puskesmas yang lengkap dari BPJS Kesehatan. Data itu dibutuhkan untuk pemetaan dana kapitasi setiap puskesmas di aplikasi Jaga.Id. Aplikasi itu dibuat KPK untuk memberikan informasi terkait pelayanan publik termasuk pendanaannya. Hingga saat ini, informasi Kapitasi Puskesmas yang ada pada salah satu pilihan informasi layanan publik di Jaga.Id, itu belum terisi dengan lengkap. Umumnya, informasi dana kapitasi setiap puskesmas yang dimuat di aplikasi itu terbatas penerimaan kapitasi Januari-Oktober 2017. Data itu pun sebagian diperoleh dari pemerintah daerah. Deputi Pencegahan Korupsi, Komisi Pemberantasan Korupsi, Pahala Nainggolan mengaku, pihaknya sudah meminta kepada BPJS Kesehatan untuk memberikan data lengkap terkait jumlah dana kapitasi yang dikucurkan ke puskemas. Namun, menurut Pahala, sulit sekali pihaknya memperoleh data itu dari BPJS Kesehatan. “Saya sudah minta kepada direktur BPJS, dan diperbolehkan. Namun saat tenaga IT (teknologi informasi) kami memintanya, itu tak diberikan dengan alasan itu data publik atau bukan. Nanti saya akan tulis surat lagi kepada direktur BPJS Kesehatan,” jelas Pahala. BPJS Watch, salah satu organisasi sosial masyarakat yang turut memantau pelaksanaan program Jaminan Kesehatan Nasional, itu juga kesulitan memperoleh data detil dana kapitasi per puskesmas dari BPJS Kesehatan. Koordinator BPJS Watch Timboel Siregar menyampaikan, BPJS Kesehatan selama ini baru bersedia memberikan data itu dalam jumlah total yang diberikan kepada seluruh fasilitas kesehatan tingkat pertama, termasuk puskesmas. “Kalau data per puskesmas, kami tak diberikan, karena kapitasi itu dianggap internal BPJS. Data yang kami peroleh dari BPJS, itu data dana kapitasi yang glondongan. Kalau pun ada klasifikasinya, itu berdasarkan jenis FKTP, seperti seluruh puskesmas memperoleh sekian, klinik umum memperoleh sekian,” jelasnya. Kompas juga mengalami kesulitan hampir serupa saat menelusuri pengelolaan dana kapitasi di Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Bahkan beberapa kepala puskesmas langsung menunjukkan sikap resisten saat diminta data dana kapitasi yang diperoleh. “Kalau masalah detail keuangan dana kapitasi, kami enggak boleh membuka ke siapapun. Itu sudah kesepakatan dengan kepala dinas (kesehatan),” kata Kepala Puskesmas Ciomas, Ulfa Muthia Palar, saat ditemui Kompas di Puskesmas Ciomas, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Sabtu (24/3) pagi. Tak cukup sekali UIfa memberikan peringatan itu. Seusai berkenalan, ia kembali menegaskan untuk kedua kalinya kepada Kompas bahwa masalah keuangan dana kapitasi tidak bisa dibuka. Bahkan menurutnya, laporan itu tak dapat dibuka untuk publik, melainkan hanya dapat dibuka oleh Dinas Kesehatan Kabupaten Bogor. “Di mana-mana masalah keuangan enggak akan dibuka. Saya kan di sini kerja dan punya atasan (Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Bogor). Kecuali atasan saya yang minta kasih (lihat) laporan,” ujarnya kembali menegaskan. Selain menolak membuka laporan dana kapitasi, Ulfa juga enggan mengungkap dana kapitasi yang diperoleh puskesmasnya. Ulfa hanya mengaku ada 24.000 peserta BPJS Kesehatan yang terdaftar di puskesmasnya. Sesuai aturan program Jaminan Kesehatan Nasional, dana kapitasi yang diberikan BPJS Kesehatan kepada puskesmas itu berkisar Rp 3.000 hingga Rp 6.000 per peserta yang terdaftar. Dana itu diberikan di muka oleh BPJS Kesehatan kepada setiap fasilitas kesehatan tingkat pertama, termasuk puskesmas. Jumlah total uang kepada setiap puskesmas itu disesuaikan dengan jumlah peserta yang terdaftar. Dengan jumlah peserta 24.000 orang, dapat diperkirakan dana kapitasi yang diperoleh Puskesmas Ciomas setiap bulan tak kurang dari Rp 144 juta. Saat dikonfirmasi besaran dana kapitasi yang diperoleh mencapai Rp 144 juta, Ulfa hanya menanggapi bahwa dana itu tak sepenuhnya dapat diserap. Hal itu terutama porsi 60 persen dana kapitasi untuk jasa layanan medis, itu tak bisa diperoleh seutuhnya. “Berdasarkan penilaian BPJS Kesehatan, contact rate (tingkat kontak tenaga medis dengan pasien) kami belum aman. Makanya dana jasa layanan medis yang kami terima pun baru 95 persen,” ucapnya. Saat dikonfirmasi Kepala Pelayanan Kesehatan Dinkes Kabupaten Bogor, Kusnadi, juga menyampaikan, bahwa laporan detail pengelolaan dana kapitasi itu tak dapat dia berikan kepada Kompas. Namun dia menyampaikan bahwa sisa dana kapitasi yang ada di Kabupaten Bogor itu telah digunakan separuh. Penggunaan sisa dana kapitasi itu pun baru dia sampaikan setelah Kompas menyampaikan data BPK bahwa sisa dana kapitasi Kabupaten Bogor hingga 2016 sebesar Rp 68 miliar. “Kalau laporan, tak bisa kami berikan. Kalau data global saja, itu bisa kami berikan,” ucapnya. Lain halnnya dengan Kabupaten Bekasi, kepala puskesmas di kabupaten itu masih bersedia memberikan data sisa dana kapitasi yang mereka miliki. “Yang penting kami yakin laporan ini digunakan sebagaimana mestinya,” ujar Kepala Puskesmas Babelan I Ahmad Dimyati, pekan lalu. Sementara berdasarkan putusan sengketa informasi Nomor 468/VIII/KIP-PS-M-A/2014, pada 2014, Komisi Informasi Pusat telah membatalkan Keputusan Direktur Hukum Komunikasi dan Hubungan Antar Lembaga BPJS Kesehatan bahwa daftar pembayaran per bulan kepada fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTP) itu informasi publik yang dikecualikan. Dengan keputusan itu, BPJS Kesehatan harus memberikan data terkait anggaran yang diberikan kepada FKTP, terhadap publik. Ketua Komisi Informasi Pusat, Tulus Subardjono pun menyampaikan, hingga saat ini pihaknya masih kerap memperoleh keluhan dari masyarakat terkait pelayanan kesehatan yang diperoleh lewat jaminan kesehatan dari BPJS Kesehatan, salah satunya antrean terlampau Panjang dan kadang kala diminta untuk membeli obat. Dengan adanya transparansi pengelolaan dana kapitasi di setiap puskesmas, menurut Tulus, tentu itu dapat mengurai permasalahan layanan yang dihadapi masyarakat. “Saya berharap, jika masyarakat tak puas dengan layanan BPJS Kesehatan, sebaiknya ajukan saja sengketa informasi publik terkait informasi yang masih sulit diakses. Itu lebih baik, karena kewenangan kami juga terbatas pada penyelesaian sengketa informasi,” jelasnya. Saat dikonfirmasi, Kepala Humas BPJS Kesehatan Nopi Hidayat menyampaikan, bahwa pihaknya tetap terbuka kepada pihak mana pun untuk memberikan informasi terkait pengelolaan dana Jaminan Kesehatan Nasional. Jika ditemukan ada masalah dalam pengelolaan dana itu, lanjutnya, BPJS Kesehatan bersedia melakukan evaluasi secara komprehensif. “Prinsipnya kami bisa bersama-sama menyediakan informasi atau data untuk mengambil keputusan,” jelasnya. Sementara Timboel kembali mengingatkan bahwa data kapitas per puskesmas itu sangat dibutuhkan untuk melihat penyerapan dana tersebut di setiap daerah. Masyarakat pun tak perlu menunggu untuk mengetahui sisa dana kapitasi di setiap daerah dari Badan Pemeriksa Keuangan. Demikian pula BPJS Kesehatan, menurut Timboel, semestinya memiliki akses untuk mengetahui jumlah dana kapitasi yang diserap di setiap daerah. Bukan sebaliknya, hanya mengucurkan dana kapitasi kepada setiap puskesmas tanpa mengetahui penyerapannya dan sisa dana yang ada di setiap daerah seperti yang terjadi hingga saat ini. “Transparansi dalam pengelolaan dana kapitasi ini menjadi penting, tak hanya bagi masyarakat, tetapi juga bagi BPJS Kesehatan itu sendiri dalam mengelola dana JKN,” jelasnya. Dengan memiliki akses dan dapat mengetahui segera sisa dana kapitasi di setiap daerah, BPJS dapat mengambil keputusan untuk menunda pembayaran kapitasi atau tidak. Apalagi dalam kondisi saat ini BPJS Kesehatan mengalami defisit hingga Rp 9 triliun, dana yang ada perlu dioptimalkan untuk membayar sejumlah klaim dari rumah sakit yang belum dibayar. “Transparansi dalam pengelolaan dana kapitasi ini menjadi penting karena BPJS Kesehatan sendiri yang memperoleh manfaatnya. BPJS Kesehatan jadi memiliki kemampuan untuk mengelola dana kapitasi dengan lebih optimal,” jelasnya. (BKY/ADY)
  Kembali ke sebelumnya