Isi Artikel |
JAKARTA, KOMPAS – Pimpinan DPR belum menerima surat usulan penggantian Wakil Ketua DPR Taufik Kurniawan dari Partai Amanat Nasional. Kalaupun surat itu masuk, pimpinan DPR mensyaratkan penggantian baru akan diproses jika Taufik mundur atau diputuskan bersalah berdasarkan putusan berkekuatan hukum tetap.
Terkait adanya syarat itu, sebagian kalangan menilai adanya standar ganda atau inkonsistensi di DPR, khususnya pimpinan DPR, dalam memproses usulan penggantian pimpinan DPR. Ini terutama karena Taufik diperlakukan berbeda dengan penggantian Ketua DPR Ade Komarudin, akhir November 2016.
Berdasarkan catatan Kompas, saat Ade hendak diganti dengan Setya Novanto, penggantian itu didahului surat dari Partai Golkar (Kompas, 29/11/2016). Partai Golkar menggunakan kewenangan yang dimiliki oleh partai dalam mengganti pimpinan DPR dari partainya seperti diatur dalam Pasal 87 Ayat (2) Huruf d Undang-Undang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3). Dalam pasal itu jelas diatur bahwa pemberhentian pimpinan DPR dapat dilakukan jika diusulkan partai politiknya.
Pada 29 Oktober lalu, Taufik ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena diduga menerima imbalan saat mengurus dana alokasi khusus fisik untuk Kabupaten Kebumen, salah satu kabupaten di daerah pemilihannya. Ia lalu ditahan KPK pada 2 November 2018.
Belum adanya surat dari PAN soal usulan penggantian Taufik disampaikan Ketua DPR Bambang Soesatyo dan sejumlah pimpinan DPR lain di Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin (3/12/2018).
Namun, kalaupun surat itu masuk, pimpinan DPR baru akan memprosesnya jika ada surat pengunduran diri Taufik dari jabatan sebagai wakil ketua DPR. Opsi lain, menunggu sampai Taufik diputuskan bersalah berdasarkan putusan berkekuatan hukum tetap. ”Sesuai ketentuan dalam UU MD3 begitu,” kata Bambang.
Ditanyakan adanya Pasal 87 Ayat (2) Huruf d UU MD3, Wakil Ketua DPR dari Fraksi Partai Demokrat Agus Hermanto membantah keberadaan aturan tersebut. ” Tidak ada. Coba dibaca di undang-undangnya. Tidak ada aturan seperti itu di UU MD3,” kata Agus.
Sementara itu, Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan, pekan lalu, berjanji menyerahkan surat itu ke pimpinan DPR pada Senin (3/12). Ia bahkan mengatakan sudah menyerahkannya ke pimpinan DPR. ”Silakan dicek ke sana (pimpinan DPR),” katanya.
Untuk proses selanjutnya, dia memilih pasrah kepada keputusan pimpinan DPR dan aturan yang berlaku. Padahal, sebelumnya, Sekretaris Jenderal PAN Eddy Soeparno menyatakan posisi wakil ketua DPR adalah posisi yang strategis bagi PAN sehingga penting untuk segera diisi kembali oleh anggota DPR dari PAN lainnya. Eddy pun meminta proses penggantian di DPR bisa segera direalisasikan.
NINO CITRA ANUGRAHANTO UNTUK KOMPAS
Koordinator Divisi Korupsi Politik Indonesian Corruption Watch Donal Fariz.
Peneliti di Indonesia Corruption Watch, Donal Fariz, melihat ada standar ganda atau inkonsistensi pimpinan DPR terkait penggantian Taufik. ”Standar ganda itu semakin memperlihatkan bahwa penggantian pimpinan sarat dengan politik transaksional,” ujar Donal.
Sangat mungkin menurut Donal, pimpinan DPR enggan untuk memudahkan penggantian Taufik karena penggantian bisa menyinggung Taufik, yang justru membuat Taufik marah, dan membongkar keterlibatan pihak lain dalam kasus korupsinya.
Tak hanya pimpinan DPR, publik juga bisa mencurigai hal yang sama terhadap PAN karena terkesan tidak serius mengganti Taufik. Untuk mematahkan anggapan yang mungkin muncul dari publik itu, pimpinan DPR seharusnya mempermudah penggantian Taufik. Begitu pula PAN seharusnya serius mengganti Taufik seperti yang sering dijanjikannya sejak Taufik ditetapkan tersangka.
“Pimpinan DPR mempermudah penggantian juga penting jika mereka concern memperbaiki citra DPR dari persoalan korupsi,” ujarnya.
|