Isi Artikel |
JAKARTA, KOMPAS — Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan 2016 banyak dibangun atas asumsi penerimaan yang ambisius dari program pengampunan pajak dan perubahan asumsi penerimaan dari sektor migas. Pelebaran defisit akhirnya bisa diminimalkan.
KOMPAS/LASTI KURNIAMenteri Keuangan Bambang Brodjonegoro (kanan) menyampaikan berkas berisi pandangan pemerintah setelah mendengarkan laporan dan pendapat fraksi DPR dalam rapat paripurna ke-32 yang membahas RUU tentang Pengampunan Pajak dan RUU tentang APBN Perubahan Tahun 2016 di Gedung MPR/DPR/DPD, Senayan, Jakarta, Selasa (28/6). Rapat paripurna DPR ke-32 tersebut menyetujui RUU tentang Pengampunan Pajak dan RUU tentang APBN Perubahan Tahun 2016 untuk disahkan menjadi undang-undang.
Rapat paripurna DPR, Selasa (28/6), menyetujui Rancangan Undang-Undang tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) 2016 untuk disahkan. Rapat dipimpin Ketua DPR dari Fraksi Partai Golkar Ade Komarudin. Menteri Keuangan Bambang PS Brodjonegoro, Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Sofyan Djalil, serta Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly hadir mewakili pemerintah.
Dalam pendapat akhir pemerintah, Bambang menyebutkan, defisit dipersempit dari Rp 313,3 triliun atau 2,48 persen terhadap produk domestik bruto (PDB) pada Rancangan APBN-P 2016 menjadi Rp 296,7 triliun terhadap PDB. Defisit pada APBN 2016 sebesar Rp 273,2 triliun atau 2,15 persen terhadap PDB.
"Ini menjadikan APBN Perubahan 2016 lebih hati-hati dan memberikan ruang fiskal yang lebih luas untuk merespons dinamika global dan domestik yang akan berkembang di tahun berjalan ini, termasuk dampak keluarnya Inggris dari Uni Eropa," kata Bambang.
Dengan defisit 2,35 persen terhadap PDB, pendapatan negara dan hibah pada APBN-P 2016 menjadi Rp 1.786,2 triliun atau berkurang Rp 36,3 triliun dari target APBN 2016. Sementara pagu belanja negara di APBN-P 2016 menjadi Rp 2.082,9 triliun atau berkurang Rp 12,8 triliun dari pagu APBN 2016.
Target pendapatan yang hanya berkurang Rp 36,3 triliun itu terutama ditopang dua asumsi. Pertama, uang tebusan dari program pengampunan pajak diasumsikan menyumbang penerimaan negara Rp 165 triliun.
Kemudian harga jual minyak Indonesia diasumsikan 40 dollar AS per barrel atau lebih tinggi daripada asumsi pada RAPBN-P 2016 sebesar 35 dollar AS per barrel. Namun, asumsi ini lebih rendah daripada asumsi pada APBN 2016, yakni 50 dollar AS per barrel. Adapun asumsi produksi minyak siap jual 820.000 barrel per hari, meningkat dari 810.000 barrel per hari pada RAPBN-P 2016. Asumsi APBN 2016 adalah 830.000 barrel per hari.
Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Enny Sri Hartati berpendapat, APBN-P 2016 memiliki risiko fiskal yang besar. Alasannya, uang tebusan dari program pengampunan pajak rawan meleset.
Kementerian Keuangan mengasumsikan penerimaan negara dari uang tebusan sebesar Rp 165 triliun tahun ini. Sementara sejumlah pengusaha pada Asosiasi Pengusaha Indonesia memproyeksikan penerimaan dari pengampunan pajak itu hanya sekitar Rp 50 triliun.
Berisiko
Enny menambahkan, realisasi produksi minyak siap jual kerap kali meleset dari asumsinya. Adapun harga jual minyak dunia yang fluktuatif sulit diproyeksikan pada situasi saat ini.
"Jadi, target pendapatan pada APBN-P 2016 ini sangat berisiko," kata Enny.
Sementara itu, sisi belanja negara hanya berkurang Rp 12,8 triliun. Itu berarti pemerintah tidak banyak melakukan penghematan.
Kombinasi antara target pendapatan yang berisiko dan belanja yang minim penghematan, lanjut Enny, menyebabkan kapasitas fiskal rawan jauh dari harapan. Jika ini terjadi, formula yang akan dilakukan Kementerian Keuangan adalah menahan pencairan anggaran.
"Kalau sudah demikian, stimulus fiskal menjadi terbatas. Ujung-ujungnya pertumbuhan ekonomi bisa di bawah 5 persen," ujar Enny.
Target pertumbuhan ekonomi pada APBN-P 2016 sebesar 5,2 persen. Adapun pada APBN 2016 ditargetkan 5,3 persen.
"Apa pun yang dilakukan, paling penting dalam melakukan revisi APBN adalah serealistis mungkin. Saya melihat, APBN-P ini jauh dari realistis. Saya khawatir stimulus fiskalnya jauh dari harapan sehingga pertumbuhan tidak mencapai target," tutur Enny. (LAS)
|