Judul | INDUSTRI PROPERTI: Transformasi Properti di Era Disrupsi (I) |
Tanggal | 22 Januari 2019 |
Surat Kabar | Kompas |
Halaman | 1 |
Kata Kunci | |
AKD |
- Komisi V - Komisi VI |
Isi Artikel | M PUTERI ROSALINA Perubahan cepat di era digital saat ini mulai memengaruhi gaya hidup masyarakat Indonesia dalam memilih properti. Semua informasi dan transaksi jual beli properti ibarat dengan mudah bisa dilakukan dengan cepat melalui gadget dalam genggaman tangan. Kemudahan tersebut berpengaruh pada ukuran, jenis, dan lokasi properti yang diminati. Angka pengguna internet di Indonesia cenderung meningkat setiap tahun. Pada 2010, pengguna internet di Indonesia masih sekitar 42 juta orang. Tahun 2017, menurut catatan Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), jumlah itu telah mencapai 143 juta orang (50 persen penduduk Indonesia). Tercatat dalam laman Kominfo, Indonesia masuk peringkat keenam dunia negara pengguna internet terbesar setelah China, Amerika Serikat, India, Brasil, dan Jepang. Kian masifnya penggunaan internet di Indonesia ditambah makin berkembangnya teknologi informasi komunikasi membuat lanskap segala sektor industri berubah. Kebutuhan primer, sekunder, dan tersier dengan mudah diakses melalui sebuah telepon pintar. Terciptalah proses disrupsi sebagaimana disebut dalam buku The Future is Better than You Think (Peter Diamandis), dikutip dari laman Warta Ekonomi, disebut sebagai ”titik lejit yang menggunjang kemapanan”. Disrupsi sendiri dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti ”tercerabut dari akarnya” yang berarti adanya perubahan yang mendasar atau fundamental. Proses disrupsi ini membuat perubahan yang mendasar pada segala aspek. Salah satu yang menonjol adalah perilaku masyarakat yang menggeser aktivitasnya yang awalnya melakukan segala aktivitas di dunia nyata kini semakin banyak terjadi di dunia maya. Perilaku masyarakat pun berubah dari yang semula birokratik dan terpola menjadi lebih simpel, praktis, dan instan atau setidak-tidaknya lebih cepat-efisien. Berbagai sektor di masyarakat mengalami disrupsi, di antaranya yang paling cepat adalah sektor komunikasi (percakapan, messaging, video call), jasa transportasi (khususnya ticketing, pemesanan online, point to point), perdagangan (online shop), industri kreatif (alat rekam audio video, grafik desainer), dan berbagai sektor industri jasa lainnya. Sebagai gambaran, industri media sontak berubah saat akses media bisa diperoleh dari sebuah telepon pintar (smartphone) berjaringan internet. Masyarakat yang tadinya membaca media cetak melalui sebuah koran, tabloid, ataupun majalah, sekarang lebih memilih membaca berita dari sebuah smartphone. Berita yang disukai pun relatif lebih pendek karena keterbatasan layar smartphone. Akhirnya perlahan industri media cetak bergeser ke industri media digital dengan semua karakteristiknya. Selanjutnya diikuti oleh industri transportasi dengan kehadiran transportasi daring baik ojek ataupun taksi. Jika dulu masyarakat harus berdiri di pinggir jalan untuk mencari ojek, sekarang dengan aplikasi Android/IOS bisa mengaksesnya dengan mudah. Begitu juga untuk taksi daring meski sebenarnya dengan taksi konvensional ada kemudahan untuk mengaksesnya. Namun, tawaran tarif yang murah membuat pilihan transportasi masyarakat bergeser. Transportasi daring tersebut juga tak sekadar menawarkan jasa transportasi, tetapi juga jasa mengantarkan makanan dan barang, jasa pijat, membersihkan rumah, make up, belanja, laundry, dan reparasi alat elektronik. Masyarakat semakin dimanjakan, tanpa harus keluar rumah dan bersusah payah, semua kebutuhan dan jasa mudah diakses. Belanja daring Kehadiran internet juga memengaruhi pola perdagangan. Jika dulu untuk membeli berbagai barang harus mengunjungi pasar atau pusat perbelanjaan, sekarang melalui berbagai situs belanja online, seperti Tokopedia, Blibli, dan Elevania, barang yang dibeli bisa langsung datang ke rumah. Keuntungan belanja daring selain tak perlu keluar rumah juga harga yang ditawarkan lebih murah. Sebagai gambaran, laporan tahunan yang dikeluarkan We Are Social menunjukkan, persentase masyarakat Indonesia yang membeli barang dan jasa online dalam kurun waktu sebulan pada 2017 mencapai 41 persen dari total populasi. Nilai itu meningkat 15 persen dibandingkan tahun 2016 yang hanya 26 persen. Hal ini juga berpengaruh pada menurunnya daya beli masyarakat di pusat perbelanjaan. Jumlah pengunjung di sejumlah pusat perbelanjaan di kota mulai menurun. Hal itu diperkuat oleh Riset Jones Lang Lasalle yang dikutip dari laman Kontan.com yang menyebutkan, okupansi mal di Jakarta tahun 2017 hanya 89 persen. Angka tersebut turun ke titik terendah dalam enam tahun terakhir. Laman Katadata.co.id juga mencatat ada 10 mal yang mengalami penurunan pengunjung terbesar selama semester I-2017, di antaranya Metro Pasar Baru yang menurun hingga 59 persen, Taman Palem Mall (minus 49 persen), Glodok Plaza (minus 34 persen). Selanjutnya Mangga Dua Mall, Mangga Dua Center, ITC Cempaka Mas, Mangga Dua Pasar Pagi, ITC Roxy Mas, Pasar Atom, dan Harco Mangga Dua. Pengunjung yang datang ke pusat perbelanjaan hanya melihat-melihat barang dan untuk selanjutnya membelinya secara daring. Perubahan perilaku masyarakat tersebut tertangkap dalam survei ShopBack yang pada 2018 melakukan survei terhadap lebih dari 1.000 reseponden di Indonesia. Sebanyak 83 persen responden mengaku ke toko offline untuk melihat barang dan kemudian membelinya secara daring. Hal ini karena penjualan daring lebih banyak menawarkan promo dan potongan harga. Selain hanya melihat-lihat barang, sebenarnya mal masih menarik sebagai pusat rekrekasi keluarga. Restoran, kafe, bioskop, ataupun tempat bermain anak menjadi penarik bagi pengunjung untuk tetap mengunjungi pusat perbelanjaan. Hal tersebut mengharuskan para pengelola pusat perbelanjaan untuk mengubah desain pusat perbelanjaan supaya lebih menarik bagi pengunjung. Bisa saja pusat perbelanjaan sekarang lebih banyak berisi tempat rekreasi seperti bioskop, tempat permainan anak, gedung pertunjukan, atau wahana permainan mini yang dilengkapi dengan restoran, food court atau kafe. Pusat perbelanjaan yang dulu lebih banyak berisi toko mulai dikurangi seiring dengan meningkatnya kebiasaan masyarakat untuk berbelanja online. Seperti Mal Grand Indonesia yang selain menyediakan tenant-tenantpenjualan berskala kecil hingga besar juga menyediakan 142 kafe dan restoran, bioskop CGV Blitz, Dancing Fountain Show, wahana bermain anak-anak, pameran, dan aneka promo. Mal di Jakarta Pusat tersebut masih menarik untuk dikunjungi. Pengunjung Mal Grand Indonesia rata-rata mencapai 70.000 orang setiap hari saat kerja dan 100.000 orang saat akhir pekan dan libur (laman Wartakota.com). Diskusi Rumah.com, Property Outlook 2019: Pasar Properti Nasional Tahun 2019 Akan Lebih Positif, di Jakarta, Kamis (6/12). Pembicara yang hadir (kiri-kanan) ekonom Bank Mandiri Andry Asmoro, Ketua DPP Himpunan Pengembang Peemukiman dan Perumahan Rakyat Endang Kawidjaja, dan Head of Marketing Rumah.com Ike Hamdan. Informasi dan pemasaran daring Hal tersebut menjadi lanskap perubahan di pasar konsumen di mana sektor properti mau tak mau ikut berubah dengan kehadiran era dunia digital. Para konsumen tak hanya mengubah desain, tetapi juga lokasi, harga, dan tren pasar properti, hingga pola penawaran dan mencari informasi dalam properti. Pergeseran gaya hidup masyarakat dalam memilih ataupun mengakses properti tertangkap dalam jajak pendapat Kompas awal Desember 2018. Meski belum semua masyarakat mengandalkan teknologi digital untuk mencari informasi mengenai properti, tetapi ada 19 persen responden yang mulai mengandalkan teknologi digital untuk mencari informasi properti, termasuk laman internet ataupun aplikasi properti. Sekitar 19 persen responden mulai mengandalkan teknologi digital untuk mencari informasi properti. Akses informasi properti sebagai gambaran awal untuk menentukan pilihan menjadi lebih luas. Tidak hanya berkunjung langsung ke agen properti atau mendatangi pameran-pameran properti. Bisnis properti juga sudah mulai melakukan pemasaran sekaligus transaksi jual beli properti secara daring. Beberapa perusahaan properti memiliki laman bahkan aplikasi untuk memasarkan dan transaksi jual belinya. Berdasarkan data Bekraf pada tahun 2016, sebanyak 50,87 persen usaha ekonomi kreatif menerapkan e-commerce dalam usahanya. Dalam sektor properti, lebih dari 50 persen usaha di bidang desain interior dan arsitektur mulai menerapkan e-commerce. Biasanya dalam sebuah laman e-commerce properti terdapat pilihan penjualan dan penyewaan properti. Pengguna laman juga dibedakan sesuai kepentingan dan kebutuhannya, yaitu pemilik properti, agen properti, dan pengembang properti. Dalam laman tersebut, pengunjung dapat mengkakses berbagai informasi seputar properti, seperti pilihan rumah yang dijual atau disewa dan akses KPR-nya. Melalui laman ini, calon pembeli dimudahkan untuk memilih hunian yang diinginkannya. Penyortiran produk dapat dilakukan berdasarkan lokasi, harga, atau luas hunian. Selain itu, calon pembeli dapat meninjau langsung lokasi dan bentuk bangunan serta ruangannya tanpa harus langsung datang ke lokasi. Perhitungan cicilan dan keterjangkauan harga juga dapat dihitung langsung. Laporan Ericsson berdasarkan wawancara terhadap 4.000 responden di 24 negara menyebutkan bahwa para generasi milenial menghabiskan waktu di depan layar perangkat mobile selama tiga jam sehari dan naik 20 persen setelah empat tahun kemudian. Selain itu, ”generasi internet” ini mengandalkan media sosial sebagai platform pelaporan dan sumber informasi utamanya. Pemasaran digital ini memiliki peranan penting sebagai media komunikasi dalam industri properti. Laman internet berperan aktif untuk membangun merek dan media penjualan. Kunci dari pengembangan laman untuk pemasaran properti secara digital adalah konten yang menarik untuk menghasilkan trafik pengunjung yang tinggi. Selain itu, media sosial dapat dimanfaatkan untuk menyebarkan informasi, meningkatkan popularitas, dan meningkatkan trafik website. Untuk mempermudah calon pembeli, aplikasi ponsel marketplaceproperti dirancang untuk mempertemukan pelaku usaha dengan calon pembeli. Sama dengan cara kerja laman properti, calon pembeli dapat melihat dengan rinci spesifikasi properti yang hendak dibeli. Laman dan aplikasi properti tersebut berperan sebagai sarana bertemunya pelaku usaha dengan calon pembeli. Nantinya, jika calon pembeli ingin melakukan transaksi, ia akan bertemu dengan pelaku usaha tersebut. Jika saat ini para pelaku usaha properti membidik generasi milenial, tampaknya pemasaran melalui media daring menjadi pilihan yang tepat. Sebab, generasi milenial memiliki gaya hidup yang berbeda dengan generasi sebelumnya. KOMPAS/PRAYOGI DWI SULISTYO CloseBuy Asia Pacific meluncurkan aplikasi marketplace berbasis peta untuk bisnis properti, Kamis (27/9/2018), di Jakarta. Perkembangan teknologi digital yang telah mencapai era 4.0 segera dimanfaatkan sejumlah vendor teknologi dan perumahan untuk memasarkan produk mereka. Aplikasi properti Kunci dari bisnis properti adalah informasi lokasi dan desain bangunan yang dapat diakomodasi melalui teknologi-teknologi tersebut. Beberapa perusahaan properti telah memanfaatkan teknologi visualisasi produknya berbasis GPS, location based service (LBS), dan augmented reality (AR). Augmented reality membantu konsumen untuk melakukan survei produk properti dengan masuk ke dalam penggambaran visual secara tiga dimensi sesuai rancangan asli produk properti. Dengan teknologi AR, konsumen seolah-olah berada di dalam ruang yang dijajakan dengan interior, barang-barang, dan desain yang dirancang. Sementara teknologi geolokasi melalui GPS dan LBS membantu konsumen untuk melihat kondisi lingkungan sekitar properti. Akses menuju lokasi properti dapat diperkirakan dari penggambaran peta digital. Akses informasi properti di Indonesia memang belum sepenuhnya mengandalkan teknologi digital. Namun melihat pengguna internet di Indonesia yang cenderung meningkat, tidak menutup kemungkinan pemasaran dan transaksi properti secara digital akan menjadi sarana utama di kemudian hari. (DEBORA LAKSMI/LITBANG KOMPAS) (BERSAMBUNG) |
Kembali ke sebelumnya |