Selamat datang di website E-PAPER PERPUSTAKAAN DPRRI.

Koleksi Perpustakaan DPR RI

Judul Korupsi Elite Politik Masih “Main” Anggaran
Tanggal 02 Nopember 2018
Surat Kabar Kompas
Halaman -
Kata Kunci
AKD - Pimpinan
- Mahkamah Kehormatan Dewan
Isi Artikel JAKARTA, KOMPAS – Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Taufik Kurniawan ditahan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi, Jumat (2/11/2018 malam). Kasus yang menjeratnya ini menegaskan permainan anggaran telah menjadi pola yang kerap dimainkan oleh elite politik untuk menangguk keuntungan pribadi. Tidak jarang, pola ini dilakukan dengan menggandeng elite lokal dan pihak swasta. Taufik mengenakan rompi oranye saat keluar dari gedung KPK, Jumat, pukul 18.22. Diperiksa selama hampir delapan jam sejak kedatangannya ke KPK pukul 09.30, Taufik hanya mengucapkan kalimat pendek menanggapi penahanannya. “Hanya satu hal. Secanggih-cangihnya rekayasa manusia, rekayasa milik Allahlah yang paling sempurna. Artinya apa? artinya saya akan ikuti dan hormati proses hukum yang ada di KPK,” ujarnya sembari menerobos kerumunan wartawan. Ditanyai mengenai makna “rekayasa” yang dimaksudnya, Taufik mengatakan hal itu agar dicerna sendiri oleh masing-masing pihak. Begitu juga terkait dugaan penerimaan uang Rp 3,65 miliar dari sejumlah proyek di Kabupaten Kebumen, Taufik mengatakan hal itu agar dibuktikan di pengadilan. “Ya, nanti dilihat di persidangan, ya,” ujarnya. Penahanan Taufik dilakukan dalam kasus dugaan suap terkait perolehan anggaran dana alokasi khusus (DAK) fisik pada perubahan Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) 2016 untuk alokasi APBD-P Kabupaten Kebumen, tahun 2016. Ia diduga menerima uang sedikitnya Rp 3,65 miliar. Uang tersebut diduga merupakan fee untuk pengurusan anggaran DAK Kabupaten Kebumen. Nilai fee diperkirakan 5 persen total anggaran yang dialokasikan untuk Kebumen. Taufik sendiri merupkan anggota DPR yang terpilih dari daerah pemilihan VII (Banjarnegara, Purbalingga, dan Kebumen). Wakil Ketua DPR Taufik Kurniawan memenuhi panggilan penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Jakarta, Jumat (2/11/2018). Sebelumnya Taufik dua kali absen dari panggilan KPK setelah ditetapkan sebagai tersangka dan diperiksa sebagai tersangka terkait kasus dugaan penerimaan hadiah atau janji terkait pengurusan anggaran Dana Alokasi Khusus (DAK) untuk Kabupaten Kebumen pada APBN Perubahan Tahun 2016. Juru Bicara KPK Febri Diansyah mengatakan, Taufik sudah dua kali dipanggil oleh penyidik KPK, yakni 25 Oktober dan 1 November 2018. Namun, dalam dua kali panggilan itu, Taufik tidak datang. Kuasa hukumnya sempat meminta penjadwalan ulang pada 8 November, tetapi hal itu belum disetujui oleh KPK. Taufik akhirnya datang pada Jumat, dan langsung ditahan setelah menjalani pemeriksaan. Taufik ditahan untuk 20 hari pertama di rumah tahanan cabang KPK di Kantor KPK Kavling C-1. Melihat alasan hukum yang ada, menurut Febri, penahanan taufik sudah sesuai dengan ketentuan. “Dalam pemeriksaan pertama 25 Oktober 2018, yang bersangkutan tidak datang, dan 1 November juga tidak datang. Selain itu, berdasarkan ketentuan di dalam KUHAP bahwa orang yang ditahan adalah mereka yang diduga keras melakukan tindak pidana kami pandang sudah terpenuhi,” urainya. Dalam pemeriksaan kemarin, KPK menjelaskan hak-hak tersangka dan mulai bertanya tentang pertemuan-pertemuan yang diduga diikuti oleh Taufik terkait kasus ini. Terkait dengan tuduhan rekayasa, menurut Febri, ini bukan kali pertama tersangka mengatakan demikian. “Silahkan saja, itu hak tersangka. Namun KPK memastikan bukti yang kami miliki terkait dengan dugaan penerimaan suap oleh tersangka sangat kuat, karena itulah akhirnya ditingkatkan ke penyidikan, dan dilanjutkan dengan penahanan,” ujarnya. Pola berulang Manajer Riset Transparency International Indonesia (TII) Wawan Suyatmiko mengatakan, pola permainan angaran bukan pertama kalinya ditemukan dalam praktik korupsi. Pola ini bahkan merupakan cara lama yang dilakukan oleh elite politik. “Pola yang diduga dilakukan oleh Taufik ini sebenarnya sama dengan yang terjadi di Malang, atau di Jambi. Sebab mekanisme anggaran yang dimainkan. Ini pola lama atau pola tradisional, terlebih lagi ini dilakukan di daerah yang kebetulan merupakan dapil Taufik,” ujarnya. Wawan mengatakan, anggota DPR lainnya yang tersangkut kasus penganggaran, misalnya, Damayanti, bahkan tidak hanya memainkan anggaran untuk proyek di dapilnya, melainkan di daerah-daerah lain yang bukan dapilnya. Kendati berbeda wilayah, tetapi pola ini merupakan cara koruptif yang kerap dilakukan elite politik untuk mendapatkan keuntungan pribadi. “Fenomena dugaan suap Taufik ini bahkan merupakan bentuk korupsi yang paling tradisional yang sering dilakukan di masa lalu, yakni melibatkan politik balas budi. Artinya, dia (Taufik) pasti menjanjikan Bupati Kebumen terpilih bilamana dirinya terpilih sebagai anggota DPR. Ada politik transaksional atau balas budi antarelite, sehingga proyek-proyek pun nanti akan diupayakan untuk masuk ke mereka,” kata Wawan. Pola korupsi yang transaksional itu, menurut Wawan, menggambarkan kebobrokan moral elite lantaran mereka tidak memperjuangkan aspirasi rakyat, melainkan kepentingan mereka sendiri. Hindari distorsi Selain penanganan kasus Taufik, publik juga berharap KPK mempercepat penanganan kasus-kasus lain. Sejumlah kasus korupsi dengan tersangka yang telah ditetapkan, antara lain dugaan penerimaan fee mantan Direktur Utama Garuda Emirysah Satar, dan dugaan korupsi mantan Dirut Pelindo II RJ Lino dalam pengadaan barang, sampai saat ini belum diikuti dengan penahanan.   Pakar pidana dari Universitas Parahyangan Bandung Agustinus Pohan mengatakan, kasus-kasus yang sudah diumumkan kepada publik hendaknya segera ditindaklanjuti oleh KPK. “Kasus-kasus lama itu harus segera diselesaikan. Pemerintah juga bisa menanyakan supaya jangan ada kesan lain, soal politik misalnya. Kalau justice delayed (keadilan yang tertunda) itu bahayanya ialah menimbulkan distorsi. Akhirnya berkembang pikiran atau kecurigaan, kenapa kok kasus ini cepat, dan kenapa kok kasus ini lama,” katanya. Kasus-kasus yang sudah diumumkan kepada publik harus menjadi prioritas, selain juga kasus-kasus baru dari hasil operasi tangkap tangan (OTT). “KPK kan tidak bisa melakukan SP3. Kalau memang tidak memenuhi bukti, ya bisa dibawa ke praperadilan. Silakan diuji di praperadilan. Nah, ini pun harus menjadi bahan pelajaran bagi KPK agar tidak terlalu cepat mengumumkan suatu kasus bila bukti-buktinya belum kuat,” ujar Agustinus. Sebagai penegak hukum yang memiliki kredibilitas tinggi di mata publik, Agustinus meyakini KPK tidak bermain di ranah politik. Namun, untuk menghindari distorsi pemikiran di publik, penuntasan kasus-kasus lama yang menggantung sebaiknya diprioritaskan.  
  Kembali ke sebelumnya