Isi Artikel |
Artikel Opini
Pendidikan Agama dan Budi Pekerti
Salahuddin Wahid
Seorang kawan mengisahkan pengalamannya sekitar 60 tahun lalu saat dia bersekolah di SMP. Pada suatu ketika saat pembagian rapor dia mendapat angka enam untuk mata pelajaran Agama dan Budi Pekerti. Ayahnya yang seorang guru tamatan sekolah Van Deventer memarahi dia karena prestasinya itu. Walaupun angka untuk pelajaran lain di atas enam, ada yang tujuh dan banyak yang delapan.
Sang ayah memarahinya karena merasa tidak berhasil mendidik si putra sehingga angka budi pekertinya hanya mendapat nilai enam. Kawan saya itu menjawab bahwa dia mendapat nilai enam untuk ulangan pelajaran Agama, sedangkan untuk mata pelajaran Budi Pekerti tidak ada ulangan. Lalu, sang ayah mengirim surat kepada kepala sekolah tempat kawan saya itu belajar.
Setelah tahu bahwa surat itu dari rekannya yang juga seorang guru, kepala sekolah itu lalu mengadakan rapat dengan semua guru untuk membahas surat itu. Hasilnya mata pelajaran Agama dan Budi Pekerti dipecah menjadi mata pelajaran Agama dan mata pelajaran Budi Pekerti.
Seingat saya, pada saat belajar di sekolah rakyat (kini SD), ada mata pelajaran Budi Pekerti, tetapi tidak ada mata pelajaran Agama. Ketika belajar di SMP dan SMA, ada mata pelajaran Agama, tetapi tidak ada pelajaran Budi pekerti. Ketika kuliah di ITB, ada mata kuliah Agama selama dua semester.
Saat ini, di sekolah, tidak ada mata pelajaran Budi Pekerti dan tetap ada mata pelajaran Agama. Dan, kita memahami bahwa pelajaran agama diberikan lebih sebagai transfer ilmu, bukan sebagai pendidikan. Bersifat kognitif, bukan bersifat afektif. Karena itu, mata pelajaran Agama kurang berhasil dalam membentuk akhlak
murid.
Menanamkan kejujuran
Akhlak menurut saya intinya adalah kejujuran. Faktanya kita kurang berhasil dalam menanamkan kejujuran ke dalam diri murid. Survei Kompas pada pertengahan 2017 mengungkap bahwa tingkat kebohongan di kalangan pelajar atau mahasiswa tidak menggembirakan. Yang selalu jujur hanya 2,3 persen, yang sering jujur 7,5 persen, yang kadang-kadang jujur 50,5 persen; yang sering berbohong 30,8 persen, dan yang selalu bohong 5,8 persen. Yang selalu bohong adalah 2,5 kali yang selalu jujur. Yang sering bohong adalah empat kali yang sering jujur.
Sebenarnya, guru pertama dan guru utama bagi anak-anak adalah orangtua, sedangkan sekolah melengkapi dan berusaha memperkuat. Sayang sekali pada masa kini di kota-kota besar banyak suami dan istri harus bekerja supaya dapat memenuhi kebutuhan rumah tangga. Mereka berangkat pagi-pagi sekali dan sering pulang saat mendekati malam. Jumlah dan mutu pertemuan anak dengan orangtua menjadi kurang. Anak-anak banyak yang dititipkan kepada pembantu atau saudara.
Di pesantren, yang umumnya menerima santri tamat SD, tanggung jawab membentuk akhlak santri beralih dari orangtua kepada pesantren: kepada pimpinan pesantren, guru atau ustaz. Di dalam pesantren, murid atau santri tidak akan mengalami tawuran, amat kecil kemungkinan menjadi pencandu narkoba. Di banyak pesantren diterapkan dengan ketat larangan merokok. Di semua pesantren ditanamkan kejujuran dengan berbagai cara.
Hasil survei di atas tentang kejujuran pemuda atau mahasiswa perlu menjadi bahan renungan sejauh mana kejujuran berhasil ditanamkan ke dalam diri santri.
Yang menjadi pertanyaan ialah bagaimana cara mempertahankan kondisi yang baik itu. Pergaulan dengan lingkungan yang baru, kebebasan yang didapat, dan pengaruh masyarakat yang cukup banyak negatifnya mungkin bisa menghapus secara bertahap akhlak yang baik tersebut.
Di dalam lingkungan pekerjaan, terutama di dalam lembaga pemerintah, para pemuda secara perlahan mungkin akan menghadapi situasi yang bisa mengikis kejujuran yang sudah tertanam. Kalau menjadi pengusaha rekanan pemerintah, mereka harus menyesuaikan diri dengan praktik usaha yang sering kali memasuki wilayah abu-abu.
Salahuddin Wahid, Pengasuh Pesantren Tebuireng
|