Selamat datang di website E-PAPER PERPUSTAKAAN DPRRI.

Koleksi Perpustakaan DPR RI

Judul PENDIDIKAN NASIONAL. Lika-liku Ujian Nasional dan Kurikulum Pendidikan
Tanggal 02 Mei 2019
Surat Kabar Kompas
Halaman -
Kata Kunci
AKD - Komisi X
Isi Artikel PENDIDIKAN NASIONAL Lika-liku Ujian Nasional dan Kurikulum Pendidikan Oleh MB DEWI PANCAWATI   KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN Siswa kelas XII mengikuti ujian nasional berbasis komputer di SMKN 28, Jakarta, Senin (25/3/2019). Ujian nasional (UN) 2019 akan diikuti 8,3 juta siswa dari 103.000 sekolah di semua jenjang pendidikan. Sebanyak 91 persen peserta didik dipastikan siap mengikuti UN berbasis komputer, sementara sisanya masih menggunakan UN kertas pensil. Sudah 60 tahun Hari Pendidikan Nasional diperingati setiap tanggal 2 Mei. Namun, masalah pendidikan di Indonesia masih berputar di seputar ujian nasional dan kurikulum yang belum menemukan bentuk yang pas sehingga terus berubah. Ujian nasional sebagai bentuk pengukuran standar mutu pendidikan secara nasional pada akhir tahun ajaran sudah mengalami beberapa kali perubahan sejak Indonesia merdeka tahun 1945. Pada era tahun 1950 hingga 1960-an, ujian akhir tahun disebut dengan ujian penghabisan (UP). Seluruh soal dibuat oleh Departemen Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan dan dalam bentuk esai. Hasil ujian tidak diperiksa di sekolah, tetapi di pusat rayon. Berikutnya, pada era tahun 1965-1971, ujian akhir disebut dengan ujian negara yang menguji semua mata pelajaran. Bahan ujian dibuat oleh pemerintah pusat dan berlaku untuk seluruh wilayah di Indonesia. Sistem ujian ini menuai protes karena dirasakan adanya ketidakadilan, terutama bagi sejumlah provinsi di luar Jawa. Materi ujian sama, tetapi tenaga pengajar dan sarana pendukung pendidikan amat berbeda. Sistem ujian akhirnya diubah.  Pemerintah mengubah ujian negara menjadi ujian sekolah (US) pada tahun 1972-1979. Pemerintah memberikan kelonggaran dalam penentuan kelulusan. Pembuatan soal dan penilaian dilakukan sekolah masing-masing. Pemerintah hanya menyusun pedoman dan panduan yang bersifat umum. Hasilnya, tingkat kelulusan meningkat, tetapi tidak dibarengi dengan peningkatan mutu dalam proses belajar, baik metode mengajar maupun penguasaan materi. Protes masyarakat pun kembali muncul. Menyadari kekeliruannya, pemerintah mengubah kembali sistem ujian akhir dari ujian sekolah menjadi evaluasi belajar tahap akhir nasional (ebtanas) sejak 1980. Ebtanas merupakan sistem penilaian akhir kelulusan siswa yang paling lama bertahan, hingga 20 tahun (1980-2000). Pada era ini, ujian dilakukan sekolah dan dikombinasikan dengan ujian yang diselenggarakan oleh negara. Nilai beberapa mata pelajaran pokok dalam ebtanas dijumlahkan dengan nilai ujian pelajaran lain, kemudian dibagi dua. Muncullah istilah NEM, yaitu nilai ebtanas murni. Sekolah berperan dalam menentukan kelulusan siswa. Hasilnya? Tingkat kelulusan tetap sama dengan metode sebelumnya, yaitu hampir 100 persen. Peranan sekolah dalam menentukan kelulusan memberikan peluang terjadinya markup atau pengatrolan nilai. Realitas ini berdampak pada mutu pendidikan secara nasional yang semakin terpuruk. Kembali, model evaluasi belajar semacam ini menuai kritik. Model seperti ini dianggap tidak mendorong siswa belajar sungguh-sungguh. Sekolah juga tidak berusaha meningkatkan mutu guru. Kata evaluasi dalam ebtanas juga diperdebatkan. Akhirnya, model ebtanas diubah lagi menjadi ujian akhir nasional (UAN) pada tahun 2001-2004. Baca juga: Mendukung Pendidikan Prasekolah Dalam UAN, Depdiknas kembali bertanggung jawab atas pembuatan soal ujian, khususnya untuk tiga mata pelajaran, yaitu Matematika, Bahasa Indonesia, dan Bahasa Inggris. Kewenangan negara dalam menentukan kelulusan lebih sedikit daripada kewenangan pihak sekolah. Siswa yang tidak lulus UAN pun dapat mengikuti ujian ulang. Kelemahannya, sekolah akan lebih fokus pada tiga mata pelajaran yang diujikan dan cenderung mengabaikan mata pelajaran lain. Sejak UAN 2003 mulai diterapkan standar kelulusan, yaitu 3,01 pada setiap mata pelajaran dan nilai rata-rata minimal 6,00. Pada UAN 2004, nilai minimal setiap mata pelajaran sebagai standar kelulusan siswa dinaikkan menjadi 4,01 dan tidak ada nilai rata-rata minimal. Siswa yang tidak/belum lulus masih bisa mengikuti ujian ulang. KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN Murid kelas VI SDN Bangunsari, Pacitan, Jawa Timur, mengikuti ujian sekolah berstandar nasional (USBN), Senin (22/4/2019). USBN tingkat sekolah dasar dan sederajat tahun pelajaran 2018/2019 dilaksanakan selama tiga hari. Mata pelajaran yang diujikan dalam USBN SD meliputi Bahasa Indonesia, Matematika, dan Ilmu Pengetahuan Alam. Dan sejak tahun 2005 dimulailah yang namanya ujian nasional (UN), menggantikan ujian akhir nasional (UAN), sampai dengan tahun 2012. Standar kelulusan pun berbeda setiap tahun. Untuk memacu semangat belajar dan meningkatkan mutu standar nilai, setiap tahun standar kelulusan dinaikkan. Standar tertinggi adalah 5,5 pada tahun 2012. Tingkat kesulitan juga ditingkatkan. Selain itu, tidak ada ujian ulang bagi siswa yang tidak lulus. Diharapkan jika dilakukan secara konsisten, standar nilai kelulusan siswa di Indonesia terus meningkat dan tidak tertinggal dari negara lain. Namun, hasilnya, persentase kelulusan siswa menurun, tidak mencapai 100 persen. Muncul banyak daerah dengan angka ketidaklulusan tinggi. Dampaknya, setiap penyelenggaraan UN selalu diwarnai persoalan, mulai dari kebocoran soal dan kunci jawaban, kecurangan massal, perjokian, stres, hingga terjadinya penyimpangan tujuan UN ke ranah politik. Alih-alih meningkatkan mutu pendidikan, demi kesuksesan UN, segenap pihak terkait akan berusaha mendongkrak nilai UN. Gonta-ganti kurikulum Membahas ujian nasional tidak dapat dilepaskan dengan masalah kurikulum. Kurikulum merupakan salah satu instrumen yang menjadi pedoman atau pegangan dalam proses belajar-mengajar untuk meningkatkan mutu pendidikan. Kurikulum memiliki empat komponen, yaitu tujuan, isi, metode atau strategi pencapaian tujuan, dan evaluasi. Sebagai suatu sistem, komponen tersebut harus berkaitan satu sama lain. Sebagaimana ujian nasional, kurikulum pendidikan nasional juga sudah mengalami beberapa kali perubahan dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan. Dalam perjalanan sejarah pendidikan sejak tahun 1945, kurikulum pendidikan nasional telah mengalami perubahan sebanyak 10 kali (1947, 1952, 1964, 1968, 1975, 1984, 1994, 2004, 2006, 2013). Kurikulum pertama lahir pada masa kemerdekaan, yang diberi nama Rentjana Pelajaran 1947. Sebagai pengganti sistem pendidikan kolonial Belanda, kurikulum ini masih dipengaruhi sistem pendidikan kolonial Belanda dan Jepang. Fokus pendidikan juga lebih pada pembentukan karakter manusia Indonesia yang merdeka dan berdaulat serta sejajar dengan bangsa lain. Selanjutnya, pada tahun 1952, kurikulum di Indonesia mengalami penyempurnaan. Kurikulum ini merinci setiap mata pelajaran sehingga diberi nama Rentjana Pelajaran Terurai 1952. Kurikulum ini sudah mengarah pada suatu sistem pendidikan nasional. Hal yang paling menonjol dan menjadi ciri khas Kurikulum 1952 adalah setiap rencana pelajaran harus memperhatikan isi pelajaran yang dihubungkan dengan kehidupan sehari-hari. Menjelang tahun 1964, pemerintah kembali menyempurnakan sistem kurikulum pendidikan, diberi nama Rentjana Pendidikan 1964. Ciri dari kurikulum ini, pemerintah mempunyai keinginan agar rakyat mendapat pengetahuan akademik untuk pembekalan jenjang SD. Pembelajaran dipusatkan pada program Pancawaradhana, yaitu pengembangan moral, kecerdasan, emosional atau artistik, keprigelan (keterampilan), dan jasmani. Kurikulum 1964 diperbarui dengan Kurikulum 1968 yang merupakan perwujudan dari perubahan orientasi pada pelaksanaan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Kurikulum ini bertujuan bahwa pendidikan ditekankan pada upaya membentuk manusia Pancasila sejati, kuat, dan sehat jasmani. Isi pendidikan diarahkan pada kegiatan mempertinggi kecerdasan dan keterampilan serta mengembangkan fisik sehat dan kuat. Kurikulum pendidikan berganti lagi pada tahun 1975, yang menekankan pendidikan lebih efektif dan efisien. Kurikulum ini lahir karena pengaruh konsep MBO (management by objective) yang terkenal saat itu. Metode, materi, dan tujuan pengajaran dirinci dalam Prosedur Pengembangan Sistem Instruksional (PPSI), dikenal dengan istilah Satuan Pelajaran, yaitu rencana pelajaran setiap satuan bahasan. Kurikulum 1975 ini banyak menuai kritik karena guru dibuat sibuk menulis rincian apa yang akan dicapai dari setiap pembelajaran. Sembilan tahun kemudian, kurikulum baru muncul, yaitu Kurikulum 1984, sering disebut ”Kurikulum 1975 yang Disempurnakan”, yang mengusung pendekatan proses keahlian. Pada kurikulum ini, siswa ditempatkan sebagai subyek belajar, mulai dari mengamati sesuatu, mengelompokkan, mendiskusikan, hingga melaporkan. Model ini disebut cara belajar siswa aktif (CBSA). Kurikulum 1984 kembali disempurnakan menjadi Kurikulum 1994, yang dilaksanakan sesuai Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Kurikulum ini memadukan Kurikulum 1975 dan 1984. Pembagian waktu pelajaran berubah dari sistem semester menjadi caturwulan. Perpaduan antara tujuan dan proses belum berhasil. Kurikulum ini juga banyak menuai kritik sebab beban belajar siswa dinilai terlalu berat, mulai dari muatan nasional sampai muatan lokal. Tahun 2004, kurikulum pendidikan kembali berubah. Kurikulum ini lebih dikenal dengan nama Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK). KBK memiliki ciri-ciri, di antaranya, menekankan pada ketercapaian kompetensi siswa baik secara individual maupun klasikal serta berorientasi pada hasil belajar dan keberagaman. Metode belajar juga bervariasi. Sumber belajar bukan hanya guru, melainkan juga sumber lain yang memenuhi unsur edukatif. KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO Pelajar berdoa sebelum mengerjakan soal mata pelajaran Bahasa Indonesia yang diujikan dalam ujian nasional berbasis komputer (UNBK) di SMK Negeri 2 Salatiga, Kota Salatiga, Jawa Tengah, Senin (25/3/2019). UNBK menjadi salah satu tahapan yang wajib dijalani siswa agar dapat meraih kelulusan. Hanya berjalan dua tahun, KBK berganti menjadi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) pada tahun 2006. Tujuan KTSP ini meliputi pendidikan nasional serta kesesuaian dengan kekhasan, kondisi dan potensi daerah, satuan pendidikan, serta peserta didik. Kurikulum disusun oleh satuan pendidikan untuk memungkinkan penyesuaian program pendidikan dengan kebutuhan dan potensi yang ada di daerah. Dalam hal ini, guru lebih diberikan kebebasan untuk merencanakan pembelajaran sesuai dengan lingkungan, kondisi siswa, dan kondisi sekolah berada. Kurikulum 2013 lahir menggantikan Kurikulum 2006. Kurikulum ini memiliki tiga aspek penilaian, yaitu aspek pengetahuan, aspek ketrampilan, serta aspek sikap dan perilaku dengan pendekatan tematik integratif. Pola pengajaran tidak lagi berdasarkan mata pelajaran secara spesifik, tetapi berdasarkan tema. Konsekuensinya, beberapa mata pelajaran dihapus atau digabung menjadi satu tema. Hal ini berdampak pada menghilangnya pengakuan terhadap kompetensi guru mata pelajaran tertentu.                                                                                                                                 Kurikulum 2013 atau Kurtilas ini juga menuai pro dan kontra. Pelaksanaan kurikulum ini dinilai tergesa-gesa dan terlalu dipaksakan karena dibuat tidak melalui riset dan evaluasi yang mendalam. Selain memberatkan siswa, masalah dalam pendistribusian buku, juga ketidaksiapan guru karena terkesan mendadak, hingga masalah kerumitan penilaian membuat banyak pihak bingung dengan Kurikulum 2013 ini. Ketidaksiapan ini membuat implementasi Kurikulum 2013 dilakukan secara bertahap, sebagian menggunakan Kurikulum 2006, sampai diterapkan di semua kelas di Indonesia pada tahun 2020.   Tantangan Revolusi Industri 4.0 Apakah mengutak-atik kurikulum merupakan sesuatu yang mendesak untuk dilakukan dalam mengatasi problematika pendidikan Indonesia saat ini? Perubahan kurikulum diperlukan untuk perbaikan, tidak sekadar berubah nama. Yang terpenting adalah peningkatan kualitas sumber daya manusia yang menjalankan kurikulum tersebut. Apalagi menghadapi tuntutan dunia industri yang sudah memasuki Revolusi Industri 4.0. Soft skills dan transversal skills menjadi modal penting generasi yang menjadi pelaku di era Revolusi Industri tersebut. Istilah Revolusi Industri merujuk pada perubahan yang terjadi pada manusia dalam melakukan proses produksinya. Revolusi Industri pertama yang biasa disebut Revolusi Industri 1.0 berlangsung pada tahun 1750-1850. Era ini melahirkan sejarah kemunculan mesin uap pada abad ke-18 menggantikan tenaga manusia dan hewan. Tahun 1870-1914 dimulailah Revolusi Industri 2.0 yang dikenal dengan Revolusi Teknologi. Fase pesatnya, industrialisasi pada akhir abad ke-19 yang ditandai dengan kemunculan pembangkit tenaga listrik. Penemuan ini memicu kemunculan, antara lain, pesawat telepon, mobil, dan pesawat terbang yang mengubah peradaban dunia. Revolusi Industri 3.0 ditandai dengan penggunaan elektronik dan teknologi informasi guna otomatisasi dalam kegiatan industri. Sistem otomatisasi berbasis komputer ini membuat mesin industri tidak lagi dikendalikan manusia. Yang berpikir secara otomatis adalah komputer dan robot. KOMPAS/JUMARTO YULIANUS Siswa-siswi SMA Negeri 09 Barabai yang berasal dari pedalaman, daerah Pegunungan Meratus, berangkat ke sekolah untuk mengikuti ujian nasional, Senin (14/4/2014). Selama menempuh pendidikan SMA di Batu Tangga, Kecamatan Batang Alai Timur, Kabupaten Hulu Sungai Tengah, Kalimantan Selatan, mereka tinggal di pondok bambu, sekitar 50 meter di belakang sekolah. Kemunculan Revolusi Industri ketiga ini pada awal tahun 1970 membawa dampak biaya produksi menjadi lebih murah. Pada Revolusi Industri ini juga terjadi perubahan dari data analog menjadi data digital sehingga era ini dikenal juga dengan Revolusi Digital. Saat ini, dunia memasuki Revolusi Industri keempat (Revolusi Industri 4.0) yang ditandai dengan sistem siber fisik, yaitu suatu kemajuan yang ditandai semua mesin dihubungkan melalui sistem internet. Industri mulai menyentuh dunia virtual, berbentuk konektivitas antara manusia, mesin, teknologi, dan big data yang dikenal dengan nama internet of things (IoT). Selain IoT, teknologi utama yang menopang pembangunan sistem Industri 4.0 adalah artificial intelligence, human-machine interface, teknologi robotik dan sensor, serta teknologi 3D printing. Konsep Industri 4.0 yang mulai digunakan pada tahun 2011 membuat lompatan besar bagi sektor industri ketika disrupsi teknologi hadir begitu cepat mendominasi sendi kehidupan manusia. Proses perubahan yang begitu cepat ini harus diantisipasi dengan cepat pula. Karena hanya mereka yang adaptiflah yang akan bertahan menghadapi gempuran Revolusi Industri 4.0. Bahkan, studi McKinsey (2017) menyatakan, sekitar 52,6 juta jenis pekerjaan dalam lima tahun ke depan akan digantikan oleh mesin dengan sistem otomasi. Sekitar 800 juta pekerja di seluruh dunia akan kehilangan pekerjaan karena otomatisasi tahun 2030 (Kompas.com). KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO Murid SMK Negeri 6 Yogyakarta jurusan tata kecantikan rambut mencuci rambut teman saat mengikuti ujian praktik kejuruan di sekolah mereka di Jalan Kenari, Yogyakarta, Selasa (6/3/2012). Ujian praktik tersebut merupakan salah satu penentu kelulusan. Hal ini menjadi tantangan bagi dunia pendidikan sebagai media penyiapan sumber daya manusia menghadapi Revolusi Industri 4.0 tersebut. Salah satunya adalah dalam penyusunan kurikulum. Sebagaimana disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 36 Ayat (3), kurikulum disusun sesuai dengan jenjang pendidikan dengan memperhatikan, antara lain, tuntutan dunia kerja, perkembangan ilmu pengetahuan, dan teknologi. Oleh karena itu, penyusunan kurikulum harus memperhatikan beberapa hal tersebut. Lima kali pergantian kurikulum selama Revolusi Industri ketiga menunjukkan bahwa tujuan kurikulum berusaha menyelaraskan dengan perkembangan di bidang industri, misalnya dengan sistem CBSA dan KBK yang mengusung pendekatan proses keahlian. Memasuki Revolusi Industri keempat, tantangan dunia pendidikan semakin besar. Meskipun ada plus minusnya, kebijakan Kurikulum 2013 telah mengelaborasi keseimbangan antara pengetahuan, sikap dan ketrampilan, serta pendekatan saintifik dalam pembelajaran. Juga berpikir kritis dan kreatif dengan mengedepankan soft skills dan tranversal skills. Di tengah peliknya persoalan di ranah pendidikan, proses perbaikan akan terus dilakukan dengan melibatkan banyak pihak untuk menghasilkan kurikulum ataupun metode yang menjawab kebutuhan generasi penerus bangsa untuk siap menghadapi perubahan dunia. Diharapkan baik ujian nasional maupun kurikulum tidak perlu lagi sering diganti dan menimbulkan polemik. (LITBANG KOMPAS)
  Kembali ke sebelumnya