Isi Artikel |
PARLEMEN
Jejak Perebutan Kursi Ketua DPR
ANDREAS YOGA PRASETYO
24 Mei 2019 · 07:00 WIB
KOMPAS/SATRIO PANGARSO WISANGGENI
Situasi rapat paripurna penutupan masa persidangan DPR pada Rabu (13/2/2019) di Jakarta.
Menjadi anggota DPR merupakan posisi yang terhormat dan strategis, apalagi berhasil menjadi ketuanya. Strategisnya posisi anggota DPR tersebut ditentukan karena wewenang DPR dalam sistem ketatanegaraan Indonesia.
UUD 1945 memuat hal-hal menyangkut wewenang DPR RI, yaitu kekuasaan membentuk undang-undang serta fungsi anggaran dan pengawasan. Konstitusi juga mengatur, parlemen juga memiliki sejumlah hak, yaitu hak angket, hak interpelasi, dan hak menyatakan pendapat.
Selain itu, DPR juga memiliki peran besar dalam pemberhentian presiden/wakil presiden. Sekalipun wewenang tersebut merupakan ranah Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), usul pemberhentian diajukan oleh DPR.
Tentu saja, setelah DPR terlebih dahulu mengajukan permintaan kepada Mahkamah Konstitusi (MK) untuk memeriksa, mengadili, dan memutus pendapat DPR. Apabila MK memutuskan telah cukup bukti, DPR dapat menyelenggarakan sidang paripurna untuk meneruskan usul pemberhentian tersebut kepada MPR.
Dalam sejarahnya, cikal bakal DPR RI dimulai dengan dibentuknya Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) oleh Presiden Soekarno pada 29 Agustus 1945 di Jakarta. Menurut UUD 1945, anggota DPR dipilih melalui pemilihan umum.
Syarat agar seseorang bisa diterima menjadi anggota DPR adalah warga negara Indonesia yang berumur 21 tahun ke atas dengan latar belakang pendidikan minimal SMA. Anggota DPR juga diwajibkan berasal dari partai politik.
Dalam periode keanggotaan 2019-2024, sebanyak 575 wakil rakyat duduk di parlemen dari 80 daerah pemilihan. Anggota DPR bertugas selama 5 tahun, kecuali bagi mereka yang tidak bisa menyelesaikan masa jabatannya akan digantikan oleh calon legislator lain yang mengikuti pemilu legislatif.
Jika dibandingkan dengan jumlah penduduk Indonesia yang mencapai 267 juta jiwa, posisi satu kursi anggota DPR sebanding dengan 464.000 orang penduduk. Melihat posisi strategis DPR dan kewenangan yang dimilikinya, tidak heran ajang pemilihan umum menjadi pertaruhan bagi partai politik untuk merebut kursi di DPR. Apalagi, jabatan ketua DPR akan menjadi hak partai pemenang pemilu.
Parpol
Data peserta pemilu sepanjang 1999-2019 menunjukkan antusiasme parpol dalam mengikuti pemilu. Dari lima kali penyelenggaraan pemilu pascareformasi, rata-rata terdapat 57 parpol mendaftar sebagai peserta. Pemilu 1999 menjadi penyelenggaraan pemilu yang paling banyak diminati. Saat itu, 90 parpol mendaftar sebagai peserta pemilu.
Namun, tidak semua parpol bisa mengikuti pemilu. Ada tahapan verifikasi yang dilakukan Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang menentukan layak tidaknya parpol mengikuti pemilu. Pada Pemilu 1999, hanya 48 partai yang lolos verifikasi untuk mengikuti pemilu.
Hasil pemilu mencatat, dari 48 parpol hanya 21 partai politik peserta pemilu yang mendapatkan kursi DPR. Tiga parpol terbanyak yang mendapat kursi adalah PDI-P (153), Golkar (120), dan PPP (58).
Pemilu berikutnya, tahun 2004, terdapat 16 parpol yang mengirimkan wakilnya di DPR. Partai paling banyak mendapat kursi adalah Partai Golkar (128 orang), PDI-P (109 orang), dan Partai Kebangkitan Bangsa (52 orang).
Dalam penyelenggaraan Pemilu 2009, dari 38 partai nasional yang ikut sebagai peserta, hanya sembilan partai yang lolos ambang batas untuk dapat mengirimkan wakilnya di DPR. Partai-partai tersebut di antaranya Partai Demokrat yang memperoleh 148 kursi, Golkar 108 kursi, dan PDI-P sebanyak 93 kursi.
Pada Pemilu 2014, PDI-P mendapat kursi terbanyak, 109 kursi. Adapun posisi berikutnya adalah Partai Golkar (91 kursi) dan Partai Gerindra (73 kursi).
Pemilu terbaru yang dilakukan 17 April 2019, PDI-P meraih suara terbanyak dengan total 27.053.961 suara atau 19,33 persen dari total 139.971.260 suara sah. Di urutan kedua adalah Partai Gerindra dengan 17.594.839 suara atau 12,57 persen. Sementara di peringkat ketiga adalah Partai Golkar yang meraih 17.229.789 suara atau 12,31 persen.
PDI-P diperkirakan akan memperoleh kursi terbanyak, 128 kursi DPR RI. Diikuti Partai Golkar dengan 85 kursi dan Partai Gerindra yang memperoleh 78 kursi. Kemenangan ini dapat menjadi modal untuk menguasai parlemen, bahkan menjadi ketua DPR.
Golkar
Kursi ketua DPR menjadi sangat strategis untuk diperebutkan karena posisinya ke luar dan di dalam. Ke luar, ketua DPR merupakan juru bicara resmi dan mewakili DPR dalam kerja sama dan relasi dengan pemerintah dan lembaga negara lain. Di dalam, ketua DPR merupakan koordinator alat kelengkapan DPR dan pemimpin sidang-sidang DPR. Bahkan, posisi ini menentukan citra DPR sebagai lembaga.
Berdasar jejak pimpinan DPR, belum tentu partai pemenang pemilu dapat mengusung anggotanya menjadi pimpinan DPR. Sejak 1999, paling tidak sudah tujuh orang dilantik sebagai ketua DPR. Partai Golkar menjadi parpol yang paling banyak mengirimkan kadernya sebagai ketua DPR.
Periode 1999-2004, Akbar Tandjung terpilih sebagai Ketua DPR. Lima tahun berikutnya, Agung Laksono menjadi pimpinan DPR. Pada masa keanggotaan DPR 2009-2014, Marzuki Alie dari Partai Demokrat menjadi Ketua DPR. Inilah satu-satunya periode saat Golkar gagal merebut kursi Ketua DPR.
Selanjutnya pada 2014-2019, Golkar kembali menjadi pimpinan DPR melalui Setya Novanto. Kasus hukum yang membelit Setya Novanto tidak serta-merta menggeser posisi Golkar sebagai Ketua DPR. Ade Komaruddin dan Bambang Soesatyo yang menggantikan kepemimpinan Novanto di DPR juga berasal dari Golkar.
Jika ditelusur lebih jauh, bukan hanya pascareformasi kursi ketua DPR dijabat kader Golkar. Sejak 1977 hingga 1999, kader Golkar selalu mengisi kursi ketua DPR. Tidak jarang posisi tersebut diisi langsung oleh ketua umumnya, seperti Wahono, Harmoko, Akbar Tandjung, dan Setya Novanto.
Mekanisme
Jejak kader Golkar di kursi pimpinan parlemen diperkirakan terkikis pada periode kepemimpinan DPR mendatang. Hal ini tidak lepas dari aturan pengisian jabatan ketua DPR. Ketentuan ini diatur Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD. Pasal 427D menyebutkan, ketua DPR ialah anggota DPR yang berasal dari partai politik yang memperoleh kursi terbanyak pertama di DPR.
Sebelumnya, pengisian jabatan ketua DPR dilakukan melalui beberapa mekanisme pemungutan suara. Misalnya, Akbar Tandjung terpilih menjadi Ketua DPR pada 1999 melalui pemungutan suara (voting). Sedikit berbeda, Agung Laksono terpilih sebagai Ketua DPR pada periode 2004-2009 dengan pemilihan secara langsung melalui sistem paket.
Perebutan kursi pimpinan DPR pada 2014 dilakukan dengan pemilihan sistem paket. Ini terjadi karena UU No 17/2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3) menyatakan, pimpinan DPR ditetapkan melalui mekanisme pemilihan secara demokratis atau dipilih oleh seluruh fraksi.
Saat itu, pimpinan DPR baru dibentuk dengan pemilihan sistem paket yang dimenangi Koalisi Merah Putih, dengan Setya Novanto sebagai Ketua DPR. Dengan sistem paket ini, PDI-P, sebagai pemenang pemilu legislatif dan pemilu presiden, malah tidak mendapat kursi pimpinan di lembaga perwakilan rakyat itu.
Mekanisme ini berbeda dengan ketentuan sebelumnya dalam UU No 27/2009 tentang MD3 bahwa ketua DPR berasal dari fraksi dengan kepemilikan kursi terbanyak di DPR. Melalui mekanisme ini, Partai Demokrat sebagai parpol pemenang pemilu dapat mendudukkan kadernya, Marzuki Alie, sebagai Ketua DPR.
Aturan ini kembali berlaku pada Pemilu 2019. PDI-P sebagai parpol pemenang hampir pasti mendudukkan kadernya sebagai ketua DPR. Bagi PDI-P, kesempatan ini merupakan capaian pertama meraih kursi pimpinan DPR. Di sisi lain, bagi Partai Golkar, diperlukan kerja lebih keras lagi dalam pemilu untuk kembali merebut dominasi kursi pimpinan DPR. Mengingat, sejak 2004, Golkar tak pernah lagi menang dalam pemilu.
Namun, Golkar masih berpeluang mendudukkan kadernya di kursi ketua MPR. Pasal 427C dalam UU No 2/2018 menyebutkan mekanisme pemilihan pimpinan MPR adalah pemilihan dengan sistem paket. Jadi, kursi ketua MPR bukan otomatis dari parpol pemenang sebagaimana pemilihan ketua DPR.
Golkar memiliki modal besar untuk merebutnya. Modal pertama Golkar dan yang telah terbukti adalah pengalaman dalam memenangkan perebutan kursi pimpinan parlemen sejak 1977. Modal kedua, yang paling konkret untuk saat ini adalah posisi Golkar dalam Koalisi Indonesia Kerja yang dibangun bersama PDI-P, PPP, PKB, dan Nasdem yang secara jumlah diperkirakan akan menjadi mayoritas di DPR, sebagai bagian MPR.
Bukan tidak mungkin, kedua modal tersebut dapat mengantar Golkar menempatkan kadernya menjadi ketua MPR, menggantikan kursi ketua DPR yang selama ini didominasi kadernya. (LITBANG KOMPAS)
|