Isi Artikel |
Artikel Opini
Zonasi dan Zona Nyaman
Anita Lie
Beberapa minggu terakhir ini kalangan pendidikan menjadi gaduh karena kontroversi kebijakan zonasi seperti yang diperintahkan dalam Permendikbud Nomor 51 Tahun 2018 tentang Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB).
Pasal 5 dan 16 Peraturan Menteri mengatur PPDB dengan mekanisme daring melalui jalur zonasi (90 persen), prestasi (5 persen), dan perpindahan tugas orangtua/wali (5 persen) dari daya tampung sekolah. Kebijakan zonasi ini bertujuan ”mendorong peningkatan akses layanan pendidikan” (Pasal 3).
Selanjutnya, kepala daerah perlu membuat kebijakan teknis pelaksanaan PPDB. Pada titik inilah kontroversi itu terjadi. Niat baik untuk pemerataan mutu layanan pendidikan dan kesempatan pendidikan yang setara bagi semua peserta didik dari berbagai latar belakang sosio-ekonomi melalui kebijakan zonasi belum lancar dalam pelaksanaannya.
Para wali murid penentang sistem zonasi mengemukakan keprihatinan atas ketidakadilan yang menimpa peserta didik yang sudah berjuang keras meraih nilai ujian nasional tinggi. Jatah untuk siswa berprestasi untuk bisa masuk ke sekolah favorit hanya 5 persen.
Mereka berkeberatan sekolah mengganti prestasi dengan meteran (jarak rumah-sekolah) dalam keputusan penerimaan peserta didik. Ratusan wali murid mendemo kantor Dinas Pendidikan Kota Surabaya sampai malam hari pada Rabu, 19 Juni 2019, dan mendesak penghapusan sistem zonasi dalam PPDB sehingga Dinas Pendidikan Jawa Timur dan Kota Surabaya memutuskan menghentikan sementara proses pendaftaran (www.kompas.id, 19 Juni 2019).
Sangat disayangkan bahwa kekuatan populisme masyarakat yang kurang puas berhasil menghentikan pelaksanaan suatu kebijakan yang dalam jangka panjang merupakan bagian dari rangkaian strategi peningkatan mutu pendidikan secara menyeluruh dan merata.
Seperti biasanya, bagian masyarakat lain termasuk yang diuntungkan oleh kebijakan ini atau bisa memahami esensi kebijakan ini tidak menyuarakan dukungan dengan lantang. Peserta didik dengan prestasi ”biasa-biasa saja” dan para pendidik di sekolah-sekolah yang selama ini dianggap kurang favorit memang sudah terbiasa tidak mendapatkan pentas dalam ruang publik. Sebaliknya, para pemangku kepentingan dalam zona nyaman yang terguncang dalam pelaksanaan kebijakan zonasi adalah para wali peserta didik berprestasi dan pendidik di sekolah-sekolah favorit.
Tentunya para wali murid ini mempunyai harapan tinggi dan bahkan sudah berinvestasi banyak demi kemajuan pendidikan anak mereka melalui penyediaan sumber-sumber daya pendidikan, termasuk bimbingan belajar dan lain-lain.
Sementara para guru di sekolah favorit sudah terbiasa mengelola anak-anak pilihan dengan prestasi dan motivasi super dari keluarga-keluarga yang sadar dan mampu mendukung perjalanan sukses anak-anak mereka. Mendidik anak-anak dengan latar belakang berbeda akan menjadi tantangan baru yang membutuhkan keterampilan khusus dan ketulusan jiwa tak terbatas.
Konsistensi kesinambungan
Untuk mencapai tujuan mulia dalam pembangunan pendidikan, tidak cukup hanya regulasi dari pusat. Cita-cita pemerataan mutu pendidikan di negara sekompleks Indonesia merupakan perjalanan terjal dan panjang, tetapi wajib diperjuangkan dengan sungguh-sungguh demi masa depan Indonesia yang berkeadilan sosial. Pemerintah pusat dan daerah perlu mempunyai persepsi dan komitmen yang sama untuk merawat konsistensi dalam berbagai hal: tujuan dan teknis pelaksanaan, upaya pemenuhan standar nasional pendidikan, dan keberlanjutan kebijakan oleh kepemimpinan selanjutnya.
Keluhan yang disampaikan terkait dengan kebijakan zonasi ini adalah teknis pelaksanaan yang masih belum memadai. Seno Bagaskoro, siswa salah satu SMA favorit dan aktivis Aliansi Pelajar Surabaya, menghimpun data dan berpendapat kondisi di lapangan masih belum siap untuk menerapkan zonasi. Mungkin ketidaksiapan ini pula yang membuat Dinas Pendidikan Jatim dan Surabaya menghentikan sementara proses pendaftaran PPDB.
Memang masalah klise di Indonesia adalah kesinambungan antara tujuan mulia dan kesiapan teknis serta keserasian antara pemerintah pusat dan daerah. Dilema ayam-dan-telur sering terjadi dalam pelaksanaan kebijakan. Jangan sampai kendala-kendala teknis dan tekanan populisme warga yang tidak puas mengaburkan esensi kebijakan yang dibuat untuk kebaikan masyarakat yang lebih luas pada masa depan.
Para kepala daerah perlu bekerja keras membenahi dan menyempurnakan teknis pelaksanaan untuk mendukung kebijakan zonasi dengan paradigma indikator keberhasilan bukan berdasarkan nilai rata-rata atau capaian warganya yang paling beruntung, melainkan capaian warganya yang terlemah.
Pemenuhan 8 Standar Nasional Pendidikan juga perlu terus disempurnakan seiring kebijakan zonasi. Tanpa kebijakan zonasi, yang tampak adalah sekolah yang baik menjadi makin unggul dan yang kurang baik menjadi makin terpuruk. Ini merupakan momentum untuk memperhatikan sekolah-sekolah yang selama ini terpuruk dan membenahi sarana-prasarana, proses, pengelolaan, dan pembiayaan serta peningkatan keterampilan para guru mengelola kelas yang beragam.
Kecemasan masyarakat terhadap fenomena ”ganti pimpinan ganti kebijakan” tentunya beralasan dan muncul karena pengalaman nyata dalam pelaksanaan kebijakan publik. Padahal, kebijakan sistem zonasi ini hanya merupakan salah satu strategi dalam rangkaian panjang upaya pemerataan mutu pendidikan di Indonesia. Karena itu, siapa pun orangnya dan apa pun afiliasi partainya, Menteri dan Kepala Dinas Pendidikan perlu mempunyai visi yang sama terhadap pembangunan pendidikan serta tidak terperangkap dalam kepentingan jangka pendek masa jabatan.
Kearifan pemangku kepentingan
Pelaksanaan suatu kebijakan strategis sering ”memakan korban”. Orangtua dan wali siswa berprestasi merasa kesempatan anak mereka belajar di sekolah favorit direnggut oleh jarak dan mengkhawatirkan anak mereka kehilangan motivasi belajar di sekolah yang selama ini dianggap kurang baik.
Pendidikan adalah hak setiap anak, tetapi belajar di sekolah favorit adalah privilese yang secara realistis bersinggungan dengan kelas sosio-ekonomi. Kekecewaan orangtua yang merasa anak mereka menjadi korban sistem zonasi sangat wajar dan bisa dipahami.
Yang menggembirakan, sebagian orangtua yang kecewa masih bisa bersikap arif dan menyadari bahwa manifes kekecewaan dan perilaku mereka juga secara tidak sadar akan menjadi serapan materi pendewasaan bagi anak mereka.
Orangtua yang menanam benih kearifan dengan tetap memotivasi anaknya untuk bisa berdamai dengan kenyataan yang tidak sesuai dengan harapan, belajar, dan maju bersama dengan anak lain yang belum berprestasi, serta mengelola psikologis korban menjadi garam yang mengubah lingkungannya kelak, akan menuai anak-anak yang bukan hanya cerdas, melainkan juga dewasa secara spiritual, emosional, dan sosial.
Sebaliknya, para siswa dan wali yang diuntungkan dengan kebijakan zonasi seyogianya bisa memanfaatkan momentum ini sebagai titik balik peluang untuk mengubah perjalanan hidup melalui kerja keras dan perjuangan.
Pemangku kepentingan yang lain, para pendidik di sekolah favorit tidak/belum menyuarakan kegelisahan mereka di ruang publik karena masih terikat dengan kode etik pendidik. Setelah PPDB usai dan ketika tahun ajaran sudah mulai, mereka juga akan merasakan dampak perubahan.
Perlu ada kesadaran seperti yang direfleksikan oleh Khairil Anwar, Kepala SMAN 1 Surabaya yang juga termasuk sekolah favorit, bahwa hakikat sekolah adalah ”mengubah anak yang belum mengerti menjadi mengerti, mengubah anak yang mengerti menjadi pandai, dan mengubah anak pandai menjadi lebih pandai”. Bukan capaian nilai rata-rata UN.
Anita Lie Guru Besar FKIP Unika Widya Mandala, Surabaya
|