Isi Artikel |
Artikel Opini
Politik Pendidikan dan Keadilan Sosial
M Alfian Alfian
Salah satu isu menonjol politik pendidikan kita adalah penerapan zonasi dalam penerimaan peserta didik baru atau PPDB. Meski telah berjalan tiga tahun, masih saja terjadi kontroversi.
Tahun ajaran 2019/2020, Permendikbud Nomor 51 Tahun 2018 mengatur PPDB agar dilaksanakan melalui tiga jalur. Jalur zonasi dengan kuota tertinggi 90 persen serta jalur prestasi dan perpindahan orangtua peserta didik dengan kuota masing-masing 5 persen.
Harian Kompas (15/6/2019) mencatat, sistem zonasi dimaksudkan untuk pemerataan akses pada layanan dan kualitas pendidikan. Dengan demikian, tidak ada lagi paradigma sekolah unggulan dan sekolah pinggiran. Namun, Kompas juga memberitakan bahwa implementasi sistem zonasi selama ini belum sepenuhnya menghapus stereotip sekolah unggulan dan pinggiran di masyarakat. Maka, ketegasan pemerintah daerah menerapkan kewajiban kuota 90 persen PPDB mendesak dilakukan.
Otonomi dan zonasi
Pemerintah daerah memang ujung tombak dalam implementasi politik zonasi mengingat otonomi daerah memberi ruang yang luas bagi mereka. Pada praktiknya memang belum semua daerah menerapkan sistem zonasi ini 100 persen karena berbagai alasan. Namun, ke depan tak terelakkan, mereka semakin dituntut terus membenahi diri agar terwujud proses pendidikan yang berkeadilan, nondiskriminatif, dan maju. Tradisi kuota titipan ke sekolah-sekolah tertentu oleh para oknum oligarki pendidikan otomatis semakin terdesak, syukur-syukur dapat diberantas manakala sistem zonasi tak terelakkan implementasinya dan efektif.
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Muhadjir Effendy dalam berbagai kesempatan menegaskan, penerapan sistem zonasi akan memeratakan kualitas sekolah. Sistem ini diikhtiarkan agar tak ada lagi status favorit bagi sekolah tertentu dan sekolah buangan bagi yang lain. Setiap sekolah mempunyai standar minimum sama, baik segi pengajaran maupun fasilitas. Kastanisasi favorit dan buangan harus dihilangkan karena bertentangan dengan keadilan.
Politik zonasi justru mendorong agar semua sekolah bisa favorit. Karena itu, kebijakan zonasi tak sekadar sebatas penyelenggaraan PPDB. Merujuk Muhadjir Effendy, politik pendidikan berbasis zonasi akan menggeser pendekatan makro penyelesaian masalah pendidikan menjadi lebih mikro berbasis zona. Politik zonasi meniscayakan rotasi atau redistribusi dan peningkatan kemampuan teknis (skill up) guru, sarana-prasarana, dan infrastruktur pendidikan yang memadai. Dengan basis zonasi, pemetaan masalah-masalah pendidikan bisa lebih rinci, tepat sasaran, dan berkeadilan.
Karena itu, bukan hanya siswa yang berperan penting, melainkan juga guru dan orangtua. Guru-guru yang dikenal favorit di sekolah-sekolah favorit akan berkesempatan mengajar di sekolah-sekolah yang dianggap tidak favorit. Akibatnya, terjadi pemerataan pengalaman dan kesempatan memfavoritkan semua sekolah. Kekhawatiran para orangtua juga langsung tertepis mengingat mereka justru memperoleh peran terbuka dan proaktif dalam ikut melejitkan eksistensi dan kemajuan sekolah. Kemajuan dunia pendidikan yang menjadi tanggung jawab aktif semua pihak menemukan momentum, sekaligus mendobrak persepsi yang diskriminatif.
Implementasi zonasi yang dilakukan secara komprehensif juga menumbuhkan peluang peserta didik dalam satu kelas untuk saling berbagi. Peserta didik yang semula dikhawatirkan orangtuanya tidak dapat masuk ke sekolah favorit dapat berkontribusi menumbuhkan semangat belajar satu sama lain dalam semangat kebersamaan mengejar prestasi. Semua akan mengeluarkan potensi masing-masing dengan bimbingan para guru yang berkualitas dan pengawasan orangtua yang proaktif.
Kultur yang baik, saling berbagi dan gotong royong, tentu semakin mendorong pemahaman masyarakat bahwa sekolah di mana saja sama-sama baik, para peserta didik sama-sama berpeluang maju dan berprestasi di mana pun.
Politik zonasi, terlepas dari resistensi yang mengemuka dalam penerapannya di era transisi saat ini, bagaimanapun merupakan bagian integral dari suatu revolusi dalam dunia pendidikan. Keberhasilannya tidak bisa dilihat dalam jangka pendek semata-mata, tetapi sangat penting untuk jangka panjang di tengah ikhtiar mendorong terwujudnya sumber daya manusia Indonesia yang berkualitas.
Wujudkan keadilan sosial
Keadilan sosial adalah kata kunci penting dalam implementasi politik zonasi. Namun, keadilan yang hendak ditumbuhkan bukan berarti bertrabrakan dengan profesionalisme dunia pendidikan. Semua hal dapat terus diikhtiarkan dengan kerja keras semua pihak. Kebijakan zonasi oleh pemerintah, dalam hal ini, hendaknya dilihat dari perspektif yang obyektif, lepas dari kepentingan subyektif masing-masing.
Dalam konteks yang lebih luas, negara memiliki tanggung jawab untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Pendidikan di Indonesia dilakukan dalam rangka ”mencerdaskan kehidupan bangsa” (Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945) sehingga penerapannya harus secara nondiskriminatif, transparan, dan berkeadilan.
Dalam konteks inilah, filosofi dan tujuan politik zonasi segera dapat dipahami. Dalam politik zonasi ada aspek afirmasi, sekaligus pemberdayaan. Pendidikan memang meniscayakan kompetisi. Politik zonasi tidak mematikan dinamika kompetisi akademik, tetapi menempatkannya secara berkeadilan. Meminjam istilah Mendikbud, tidak boleh ada kasta-kasta dalam pendidikan, dalam konteks ini adalah kasta favorit dan buangan.
Politik zonasi, manakala dipahami bermuara pada perwujudan keadilan sosial, imbasnya tidak sebatas ranah pendidikan dasar dan menengah, tetapi juga pendidikan tinggi. Perlu ada koordinasi antara Kemdikbud dengan Kementerian Riset dan Pendidikan Tinggi (Kemristek dan Dikti) terutama terkait dengan pola penerimaan mahasiswa baru bagi semua perguruan tinggi negeri (PTN). Sistem undangan yang mengutamakan sekolah favorit, atau dengan memberikan jatah yang lebih tinggi kepada mereka, harus ditiadakan. Semua harus berbasis kompetisi.
Politik zonasi
Politik zonasi yang diterapkan pemerintah dalam dunia pendidikan seharusnya disambut positif masyarakat dan segenap pemangku kepentingan karena tujuannya berkait erat dengan keadilan sosial yang lebih luas. Gagasannya menemukan landasan filosofis yang kokoh kendati pelaksanaannya di era transisi menemui sejumlah resistensi, justru oleh masih kuatnya stereotip sekolah favorit dan kekhawatiran kebanyakan orangtua yang seolah merasa terhukum manakala tidak dapat menyekolahkan anaknya di sana.
Pendidikan ialah jalan ke masa depan. Ia bisa diwujudkan bersama-sama secara berkeadilan. Politik zonasi, dengan segenap konsistensi kebijakan pemerintah, membuka jalan ke sana. Ikhtiar mencerdaskan kehidupan bangsa secara merata dan berkeadilan, tetapi juga berprestasi baik, merupakan keniscayaan yang dapat diwujudkan. Politik zonasi termasuk jalan revolusioner bagi terwujudnya hal tersebut.
M Alfian Alfian Dosen Pascasarjana Ilmu Politik; Pengurus Pusat HIPIIS
|