Isi Artikel |
Artikel Opini
Peran Guru pada Era Digital
John de Santo
Saat ini teknologi digital sudah sangat luas dalam hal penerapan dan dampaknya. Massive open on line course (MOOCs) atau penerapan teknologi digital dalam pemelajaran, kini mampu menembus tembok ruang kelas, batas-batas kampus, bahkan garis teritorial negara. Loncatan kemajuan teknologi digital ini menjadi tantangan berat bagi guru.
Di satu pihak, ia dituntut untuk mampu beradaptasi dengan masyarakat teknologi; sementara di lain pihak, ia menjadi kunci untuk menyiapkan anak-anak bangsa dalam menghadapi masa depan yang semakin kompetitif. Sosok guru seperti apa yang dibutuhkan generasi digital?
Zaman berubah
Jika dahulu, guru dipandang sebagai satu-satunya sumber informasi dan pengetahuan, maka pada era digital ini, tak seorang pun bisa mengklaim dirinya menguasai pengetahuan. Berbagai sumber belajar kini terdistribusi secara luas dan mudah diakses oleh siapa pun, di mana pun, dan kapan pun.
Bahkan, tanpa bantuan guru, murid-murid dapat mengakses pengetahuan yang mereka butuh, hanya dengan menggunakan telepon pintar (smartphone)dalam genggaman.
Banjir informasi yang mudah diperoleh ini membantu proses belajar sekaligus menciptakan problem baru. Teknologi digital tidak hanya menyediakan informasi yang baik, tetapi juga memberikan akses kepada informasi yang buruk, tidak akurat, bahkan hoaks (Neil Postmamn, 1992).
Aliran informasi yang membuat kita kewalahan ini juga telah merampok kemampuan manusia untuk memilih dan memilah manakah pengetahuan penting yang berfungsi sebagai panduan intelektual dan moral.
Dampak teknologi
Dalam konteks hubungan antarpribadi, kemajuan teknologi juga telah merenggut kemampuan manusia untuk membangun relasi spontan dengan sesama dalam kehidupan nyata. Orang cenderung menjadi sangat individualistik dengan gawai di tangan, tanpa menyadari lingkungan sekitar.
Dalam konteks inilah profesi guru berada sekarang. Realitas hidup pada era digital mengandaikan sukses pribadi, entah sebagai guru, murid, atau organisasi untuk bergantung sepenuhnya kepada kemampuan belajar. Sindrom rasa rendah diri dapat menghinggapi guru, ketika merasa bahwa pengetahuan yang ia peroleh bertahun-tahun yang lalu sudah kadaluwarsa.
Kekurangan harga diri pun bisa terjadi akibat krisis makna dalam menjalankan tugas profesional karena guru dipaksa untuk belajar tentang hal-hal baru yang terus bermunculan dalam hitungan menit sehingga membuatnya merasa ketinggalan. Padahal, dirinya terpanggil untuk menyiapkan murid-murid dengan pengetahuan dan keterampilan penting yang mereka perlukan untuk menghadapi dunia kerja.
Profil pekerja masa depan, sebagai mana yang disampaikan Martin Carnoy dan Castels (1994) di depan wakil dari negara-negara anggota The Organisation for Economic Cooperation and Development (OECD), akan terpusat pada pengetahuan dan pembelajaran. Tantangan-tantangan masa depan ini harus dihadapi secara proaktif melalui pengembangan disiplin dan etos kerja yang tepat.
Manakala hubungan antarpribadi menjadi semakin teknis melalui koneksi gadget dan peralatan elektronik lainnya, kehadiran fisik guru untuk menyapa, menegaskan, dan menguatkan hubungan-hubungan pribadi menjadi kebutuhan yang tak tergantikan.
Dunia multimedia menawarkan kesempatan-kesempatan telekomunikasi melalui gambar-gambar dan bunyi. Akan tetapi, kehadiran guru sama pentingnya dengan dimensi multimedia melalui suara, sapaan, bahasa tubuh, sentuhan, ungkapan emosi, dan empati. Selain itu, guru dapat menginspirasi, mendorong refleksi dan menilai informasi yang diperoleh para siswa.
Dengan demikian, kehadiran guru sebagai pembangun karakter tak akan tergantikan oleh peralatan secanggih apa pun.
Peran guru
Berikut ini tiga hal yang perlu dilakukan guru untuk menjaga profesionalitasnya. Pertama, guru sendiri harus terdorong untuk terus belajar agar dapat mengajar dengan baik.
Ia harus terbuka terhadap hal-hal baru seraya mengembangkan kemampuan berpikir kritis untuk membantu para muridnya dalam menyaring berbagai informasi yang memiliki nilai pembelajaran.
Kedua, guru perlu memiliki kesederhanaan intelektual (intelectual modesty), yaitu disposisi bahwa dirinya tak lagi menjadi satu-satunya sumber pengetahuan. Dengan sikap ini ia menjadi panutan bagi murid-muridnya untuk dengan rendah terus belajar dan bereksplorasi demi mencapai kebenaran.
Ketiga, berusaha menciptakan suasana belajar yang menyenangkan dan inklusif agar upaya belajar maksimal. Hal ini akan memicu kreativitas murid membuat berbagai temuan baru dan mengembangkan kemampuan demi mengantisipasi perubahan zaman.
John de Santo Dosen ASMI Santa Maria Yogyakarta; Pengelola Rumah Belajar Bhinneka.
|