Isi Artikel |
Infrastruktur Pendidikan
Ironi Kerusakan Infrastruktur Pendidikan
Dedy Afrianto
ANTARA FOTO/ARDIANSYAH
Siswa SD Yayasan Madrasah Ibtidaiyah Darussalam Sukaraja melihat bangunan sekolah mereka yang rusak sebelum mengikuti kelas dalam tenda darurat di Desa Sukaraja, Kabupaten Lampung Selatan, Lampung, Senin (7/1/2019). Tsunami yang terjadi pada 22 Desember 2018 menyebabkan bangunan SD tersebut rusak berat sehingga proses belajar mengajar terpaksa dilakukan di tenda darurat.
Lebih dari dua pertiga ruang kelas di Indonesia mengalami kerusakan. Kerusakan terjadi pada semua jenjang pendidikan di sejumlah daerah, dari kategori rusak ringan hingga rusak total. Hal ini menjadi ironi di tengah kenaikan anggaran pendidikan setiap tahunnya.
Menurut data Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, jumlah ruang kelas SD, SMP, dan SMA di Indonesia yang mengalami kerusakan pada tahun ajaran 2017/2018 mencapai 1,2 juta ruangan. Jumlah ini setara dengan 69,4 persen dari total ruang kelas yang ada di Indonesia.
Kerusakan ruang kelas ini terdiri dari kategori rusak ringan hingga rusak berat. Persentase kerusakan terbesar adalah pada kategori rusak ringan yang mencapai 54 persen atau 947.771 ruang kelas. Pada kategori rusak ringan, ruang kelas masih bisa digunakan dengan sejumlah kerusakan nonstruktural.
Kerusakan terjadi pada semua jenjang pendidikan di sejumlah daerah, dari kategori rusak ringan hingga rusak total.
Jika merujuk pada Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 45/PRT/M/2007 tentang Pedoman Teknis Pembangunan Bangunan Gedung Negara, kerusakan ringan mencakup kerusakan pada komponen penutup atap, langit-langit, penutup lantai, dan dinding pengisi.
Selain rusak ringan, kategori kerusakan lainnya adalah rusak sedang (6,7 persen), rusak berat (5,2 persen), dan rusak total (3,5 persen). Artinya, hanya 30,6 persen ruang kelas di Indonesia yang tergolong kategori baik pada tahun ajaran 2017/2018.
Selama empat tahun terakhir, jumlah kerusakan ruang kelas tak jauh berbeda. Pada tahun ajaran 2017/2018, terdapat kenaikan jumlah ruang kelas yang rusak hingga 4.948 ruangan atau 0,4 persen jika dibandingkan tahun ajaran 2014/2015. Pertumbuhan jumlah kerusakan ruang kelas terjadi pada jenjang pendidikan dasar dan pendidikan menengah.
Berdasarkan persentase, kenaikan kerusakan ruang kelas tertinggi adalah pada kategori rusak berat. Pada kategori ini, kerusakan terjadi pada sebagian besar komponen bangunan nonstruktural maupun struktural seperti atap dan lantai.
Pada kategori rusak berat, kerusakan ruang kelas meningkat hingga 24 persen atau 17.438 ruang kelas dalam empat tahun ajaran terakhir. Hal ini menunjukkan semakin banyaknya ruang kelas di Indonesia yang mengalami kerusakan hingga struktur bangunan.
Hanya saja, di balik kenaikan jumlah ruang kelas yang rusak, persentase kerusakan ruang kelas secara keseluruhan menunjukan tren penurunan. Pada tahun ajaran 2014/2015, 73,8 persen ruang kelas di Indonesia mengalami kerusakan, dari rusak ringan, hingga rusak total. Sementara pada tahun ajaran 2017/2018, persentase kerusakan ruang kelas turun menjadi 69,4 persen.
Penurunan persentase kerusakan ruang kelas ini disebabkan oleh tingginya pertumbuhan jumlah ruang kelas dibandingkan pertumbuhan jumlah kerusakan ruang kelas. Sejak tahun ajaran 2014/2015 hingga 2017/2018, jumlah ruang kelas di Indonesia meningkat sebesar 6,9 persen. Sementara jumlah ruang kelas di Indonesia yang rusak meningkat sebesar 0,4 persen.
Jika melihat persebaran kerusakan ruang kelas berdasarkan jenjang pendidikan, dapat dilihat bahwa semakin rendah jenjang pendidikan, maka semakin besar persentase kerusakan ruang kelas. Angka kerusakan ruang kelas tertinggi terdapat pada jenjang sekolah dasar. Sejak tahun ajaran 2014/2015, lebih dari separuh ruang kelas pada jenjang ini mengalami kerusakan.
Angka kerusakan ruang kelas tertinggi terdapat pada jenjang sekolah dasar.
Pada tahun ajaran 2017/2018, jumlah ruang kelas yang mengalami kerusakan pada jenjang SD mencapai 789.027 ruang kelas atau 73,6 persen dari total ruang kelas yang ada. Secara persentase, jumlah ini sedikit mengalami penurunan dibandingkan tahun ajaran 2014/2015. Saat itu, kerusakan ruang kelas pada jenjang pendidikan SD mencapai 78,1 persen atau 814.303 ruang kelas.
Sementara pada jenjang pendidikan menengah, jumlah ruang kelas yang mengalami kerusakan cenderung lebih kecil. Secara persentase, kerusakan ruang kelas terendah pada tahun ajaran 2017/2018 adalah pada jenjang pendidikan SMK. Angka kerusakan mencapai 86.622 ruang kelas atau 53,3 persen dari total ruang kelas yang ada. Jumlah ini meningkat jika dibandingkan tahun ajaran 2014/2015 saat kerusakan ruang kelas mencapai 73.275 ruangan.
KOMPAS/BENEDIKTUS KRISNA YOGATAMA
Meski sebagian gedung sekolah masih rusak diterjang tsunami 22 Desember lalu, siswa-siswa SDN 1 Kunjir tetap datang ke sekolah di hari pertama setelah libur semester, Senin (7/1/2019).
Jika melihat dari status sekolah, kerusakan ruang kelas di sekolah negeri lebih besar dibandingkan dengan sekolah swasta. Pada tahun ajaran 2017/2018, sebanyak 72,5 persen ruang kelas di sekolah negeri mengalami kerusakan. Kerusakan terbesar adalah pada kategori rusak ringan. Dari 1,3 juta ruang kelas 55,6 persen di antaranya masuk pada kategori rusak ringan.
Sementara pada sekolah swasta, total kerusakan ruang kelas mencapai 58 persen. Sama halnya dengan sekolah negeri, kerusakan terbesar juga pada kategori rusak ringan. Menurut catatan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, sebanyak 48,5 persen ruang kelas pada sekolah swasta mengalami kerusakan dengan kategori rusak ringan.
Pola peningkatan kerusakan ruang kelas ini sejalan dengan pertumbuhan ruang kelas di Indonesia. Semakin besar jumlah ruang kelas, maka semakin besar pula jumlah kerusakan ruang kelas. Hal ini mengindikasikan belum optimalnya perawatan ruang kelas pada berbagai jenjang pendidikan.
KOMPAS/ZULKARNAINI
Sekolah Dasar di Desa Sikundo, sebuah desa terpencil di Kecamatan Pante Ceuremen, Kabupaten Aceh Barat, Provinsi Aceh sejak 2014 tidak aktif sebab tidak ada jembatan menuju ke sekolah. Warga berharap dibangun jembatan penyeberangan dan mengaktifkan sekolah itu kembali, 17 Februari 2019.
Sebaran wilayah
Menilik dari sebaran wilayah, kerusakan ruang kelas tersebar pada seluruh daerah di Indonesia. Sejak tahun ajaran 2014/2015 hingga 2016/2017, kerusakan ruang kelas didominasi oleh daerah-daerah di Indonesia bagian timur, yaitu Nusa Tenggara Timur, Papua Barat, dan Maluku Utara. Ketiga daerah ini selalu menempati posisi tiga besar sebagai daerah dengan persentase kerusakan ruang kelas terbesar di Indonesia.
Hingga tahun ajaran 2017/2018, NTT masih mendominasi persentase kerusakan ruang kelas. Sebanyak tiga dari empat ruang kelas di NTT mengalami kerusakan dari kategori rusak ringan hingga rusak total. Kerusakan terbesar adalah pada kategori rusak ringan. Lebih dari separuh (51,2 persen) ruang kelas di NTT masuk pada kategori ini.
Selain daerah-daerah di Indonesia bagian timur, daerah di Indonesia bagian barat mulai mendominasi kerusakan ruang kelas di Indonesia. Untuk pertama kalinya dalam empat tahun ajaran terakhir, Jambi dan Bengkulu masuk dalam peringkat tiga besar sebagai daerah dengan persentase kerusakan ruang kelas terbesar di Indonesia.
KOMPAS/PRAYOGI DWI SULISTYO
Suasana Sekolah Menengah Atas Negeri 35 Jakarta pada hari pertama melaksanakan ujian nasional berbasis komputer, Senin (1/4/2019).
Hal sebaliknya dialami oleh DKI Jakarta. Selama empat tahun ajaran berturut-turut, DKI Jakarta menjadi daerah dengan persentase kerusakan ruang kelas terendah. Pada tahun ajaran 2017/2018, misalnya, 43,1 persen ruang kelas di Jakarta mengalami kerusakan. Namun, jumlah ini masih cukup tinggi karena hampir separuh dari ruang kelas yang ada.
Kerusakan terbesar ruang kelas di Jakarta adalah pada kategori rusak ringan yang mencapai 20.302 ruang kelas atau 37,9 persen dari total ruang kelas yang ada. Sementara kategori lainnya terbilang minim seperti rusak sedang (2 persen), rusak berat (1,4 persen), dan rusak total (1,8 persen).
Baca Juga: Ruang Kelas Rusak 191 Pelajar di Sentani Belum Bersekolah
Kerusakan ruang kelas ini berdampak pada kualitas pendidikan di suatu daerah. Kualitas pendidikan tersebut salah satunya dapat diukur dari rata-rata nilai ujian nasional pada satuan jenjang pendidikan.
Hal ini dapat dilihat pada daerah NTT, daerah dengan persentase kerusakan ruang kelas tertinggi di Indonesia. Pada jenjang SMA, rata-rata nilai ujian nasional di daerah ini mencapai 42,30 pada tahun ajaran 2017/2018. Rata-rata nilai ujian nasional ini lebih rendah dibandingkan rata-rata nasional 49,20. NTT menjadi daerah dengan nilai UN terendah keenam di Indonesia pada jenjang SMA tahun ajaran 2017/2018.
Hal ini berbanding terbalik dengan Jakarta, daerah dengan angka kerusakan ruang kelas terendah di Indonesia. Rata-rata nilai UN jenjang SMA di Jakarta pada tahun yang sama mencapai 63,21. Jakarta menjadi daerah dengan nilai UN tertinggi di Indonesia untuk jenjang SMA tahun ajaran 2017/2018.
Kenaikan anggaran
Tingginya kerusakan ruang kelas ini justru terjadi di tengah meningkatnya anggaran pendidikan di Indonesia. Menurut catatan Kementerian Keuangan, anggaran pendidikan meningkat 13,8 persen dalam kurun waktu empat tahun terakhir. Pada tahun 2015, anggaran pendidikan mencapai Rp 390,1 triliun. Anggaran ini meningkat hingga mencapai Rp 444,1 triliun pada tahun anggaran 2018.
Salah satu pos anggaran yang digunakan untuk perbaikan ruang kelas adalah dana alokasi khusus (DAK) fisik bidang pendidikan. Menurut Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2018 tentang Petunjuk Teknis Dana Alokasi Khusus Fisik, DAK fisik ini bertujuan untuk pemenuhan sarana dan prasarana pendidikan.
Pada tahun 2018, anggaran DAK fisik bidang pendidikan mencapai Rp 9,1 triliun. Anggaran ini terdiri dari DAK reguler sebesar Rp 6,6 triliun, DAK penugasan Rp 1,7 triliun, dan DAK afirmasi Rp 0,8 triliun.
Baca Juga: Anggaran Rp 65 Triliun untuk Perbaikan Sekolah dan Madrasah
Program rehabilitasi ruang kelas memang membutuhkan biaya yang sangat besar. Sebagai gambaran, pada tahun 2010, Pemerintah Kota Palembang pernah memperbaiki lebih dari 400 ruang kelas dengan anggaran sekitar Rp 79 miliar (Kompas, 2 Februari 2010).
Tentu dengan total kerusakan 1,2 juta ruang kelas saat ini dibutuhkan biaya yang tak sedikit untuk memperbaikinya. Jika diasumsikan setiap ruang kelas membutuhkan anggaran minimal Rp 20 juta untuk perbaikan, dibutuhkan dana Rp 24,3 triliun untuk memperbaiki seluruh ruang kelas di Indonesia yang mengalami kerusakan. Hal ini sangat mungkin untuk dilakukan mengingat anggaran pendidikan yang mencapai Rp 444,1 triliun pada tahun 2018.
Kerusakan ruang kelas ini berdampak pada kualitas pendidikan di suatu daerah.
Salah satu kendala dalam program rehabilitasi ruang kelas adalah faktor geografis. Dalam Kilasan Kinerja Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan tahun 2018, disebutkan bahwa faktor geografis menjadi salah satu hambatan pembangunan sarana dan prasarana pendidikan pada daerah terdepan, terluar, dan tertinggal.
Namun, setiap peserta didik berhak memperoleh fasilitas terbaik, termasuk yang berada di pelosok negeri. Untuk itu, perbaikan infrastruktur perlu segera dilakukan agar pendidikan tetap menjadi medan juang yang nyaman bagi anak bangsa untuk meraih cita-cita. (LITBANG KOMPAS)
|