Isi Artikel |
MB DEWI PANCAWATI
Mendalami dan menggunakan bahasa Indonesia dengan kaidah baku dianggap cukup ketika berada di forum-forum resmi. Demikianlah kecenderungan yang mengemuka di sebagian kalangan muda kita.
Mendalami dan menggunakan bahasa Indonesia dengan kaidah baku dianggap cukup ketika berada di forum-forum resmi. Demikianlah kecenderungan yang mengemuka di sebagian kalangan muda kita. Dalam percakapan sehari-hari, penggunaan bahasa Indonesia bercampur dengan khazanah bahasa lain, antara lain bahasa daerah.
Beragamnya bahasa daerah membuat penggunaan bahasa Indonesia dalam percakapan sehari-hari sering kali ”dilokalkan” dengan mengikuti logat dan dialek daerah masing-masing dan memasukkan idiom-idiom bahasa daerah.
Tidak dapat dimungkiri, penggunaan bahasa Indonesia semacam itu tidak hanya dipengaruhi oleh masuknya berbagai bahasa asing, tetapi juga oleh adanya beragam kekayaan bahasa daerah di bumi Indonesia yang kaya akan budaya dan etnis.
Sebagai salah satu gambaran, simak saja contoh bertutur bahasa Indonesia yang ”dilokalkan” berikut. ”Sa mo pi kampus sekarang. Dong menyusul nanti siang”. Kosakata yang disingkat-singkat seperti itu sudah jamak kita dengar dalam percakapan masyarakat Indonesia timur seperti di Kupang, Ambon, dan Papua.
Kalimat tersebut yang artinya ”Saya mau pergi ke kampus. Dia orang (mereka) menyusul nanti siang”. Dalam konteks tersebut, bahasa Indonesia yang disingkat-singkat dan kosakata bahasa daerah yang dimasukkan dalam percakapan sehari-hari digabung dengan bahasa Indonesia.
Masyarakat daerah lain yang baru mendengar cara bertutur semacam ini minimal akan dipaksa mengernyitkan dahi untuk mencerna maksud dari kalimat semacam itu.
KOMPAS/SOELASTRI SOEKIRNO
Dua guru SMA Negeri 2 Kalabahi Kabupaten Alor, Timur, Agustina Susan Sina (baju coklat) dan Teroci Agustina Padakama (baju pink), Selasa (15/10/2019), sedang berbincang dengan para siswanya. Bahasa Indonesia menjadi jembatan bagi masyarakat Alor yang berbeda-beda suku dan bahasa untuk berkomunikasi.
Ini barulah salah satu contoh dari sekian banyak lagi penggunaan bahasa Indonesia yang melokal antardaerah di Indonesia. Bisa dibayangkan bagaimana bahasa Indonesia mempertahankan identitasnya di antara ratusan suku dan bahasa dari Sabang sampai Merauke.
Ada lebih dari ratusan bahasa dan dialek yang tersebar di seluruh pulau di Nusantara. Bukan hanya dalam satu pulau, bahkan di dalam satu desa pun bisa berbeda-beda bahasa daerahnya.
Jajak pendapat Kompas pada medio Oktober lalu juga memotret gambaran serupa. Dari total 591 mahasiswa yang disurvei di 34 provinsi, hampir 27 persennya mengaku bahwa mereka terbiasa mencampur aduk bahasa Indonesia dengan bahasa daerahnya dalam percakapan sehari-hari.
Sementara itu, lebih kurang seperlima kalangan intelektual muda ini mengaku lebih senang berbahasa daerah. Separuh responden menggunakan bahasa Indonesia. Namun, mereka juga mengakui menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar saat berada dalam forum resmi seperti seminar atau diskusi dan saat mengikuti kuliah.
Salah paham
Bahasa merupakan kunci dalam berkomunikasi dan bertukar informasi. Kita dapat memahami maksud lawan bicara jika yang disampaikan menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar.
Penggunaan kalimat yang tidak baku pada bahasa, termasuk bahasa Indonesia, sangat mudah berujung pada kesalahpahaman karena sulit dipahami oleh lawan bicara. Pengaruh bahasa daerah sedikit banyak juga memengaruhi pemahaman, dialeknya pun tak jarang memengaruhi kerancuan dalam berbahasa Indonesia.
Banyaknya mahasiswa dari daerah-daerah yang menuntut ilmu di kota memungkinkan seringnya terjadi interaksi antarteman yang berbeda suku. Delapan dari 10 responden mengaku sering mengalaminya. Sebanyak 44,2 persen responden mengaku pernah mendapat masalah dalam berkomunikasi dengan teman-teman yang berbeda suku. Kesalahpahaman acap kali timbul akibat penggunaan bahasa Indonesia yang ”dilokalkan” itu.
Timbulnya kesalahpahaman itu tidak dapat dimungkiri merupakan salah satu dampak negatif pelokalan penggunaan bahasa Indonesia. Hal itu diamini oleh hampir separuh dari responden (47,5 persen). Ketika masyarakat terbiasa menggunakan bahasa daerah masing-masing, memungkinkan banyak terjadi kesalahan dalam pengucapan bahasa Indonesia yang baku.
Bahkan, sebanyak 22,2 persen responden menilai cara berbahasa semacam itu bisa merusak tatanan berbahasa Indonesia yang baik dan benar, atau dinilai bisa mengikis rasa keindonesiaan. Dari sisi bahasa daerah, penggunaan bahasa Indonesia yang campur aduk itu lambat laun bisa menyebabkan bahasa daerah punah karena penuturnya semakin berkurang. Hal itu menjadi kekhawatiran 15 persen responden.
Memahami perbedaan
Kendati demikian, masalah kekeliruan komunikasi seperti itu bisa diselesaikan jika tiap-tiap individu mau memahami perbedaan yang ada. Dari hasil jajak pendapat, sebanyak hampir empat dari 10 mahasiswa sependapat untuk memilih menggunakan bahasa Indonesia baku yang dipahami bersama.
Karena sudah menjadi gaya berbahasa yang sudah melekat dan susah untuk diubah, 13,5 persen lainnya memilih tetap menggunakan pola bahasanya sendiri, tetapi tetap menjelaskan maksudnya kepada lawan bicara. Mereka melakukan hal itu untuk menghindari terjadinya kesalahpahaman.
Namun, ada juga lebih kurang seperlima responden mahasiswa lainnya lebih memilih menyesuaikan diri dengan bahasa teman lain atau bahasa setempat tempat mereka tinggal saat ini. Bahkan, ada juga sekitar seperlima intelektual muda ini yang juga berusaha mempelajari bahasa yang digunakan kawan mereka.
Menariknya, sebanyak delapan dari 10 responden sebenarnya juga tertarik mempelajari gaya bahasa Indonesia yang ”dilokalkan” tersebut. Hal itu sedikit banyak memberikan gambaran kalangan muda Indonesia yang sebenarnya juga berupaya dengan cara mereka sendiri untuk menerima keragaman secara konkret dengan memahami perbedaan bahasa.
KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO
Para penari membawakan tarian kontemporer bertema keragaman suku bangsa saat pembukaan Kongres Bahasa Daerah Nusantara 2016 di Gedung Merdeka, Bandung, Jawa Barat, Selasa (2/8). Hingga kini di Indonesia ditemukan sekitar 139 bahasa daerah yang terancam punah.
Kekayaan budaya
Upaya kalangan muda memahami penggunaan bahasa Indonesia kepada sesama mereka yang berbeda etnis tak lepas dari sejumlah alasan. Penggunaan bahasa Indonesia yang melokal itu dinilai akan memperkaya keragaman berbahasa menurut lebih kurang 43 persen responden.
Sementara itu, sebanyak 28,9 persen lainnya berpendapat bahwa pengucapan bahasa Indonesia versi lokal itu menunjukkan kekhasan daerah dalam berbahasa. Idiom bahasa menunjukkan bangsa boleh jadi tepat disematkan dalam konteks ini. Bahasa Indonesia dengan karakter yang berasal dari kearifan daerah masing-masing merupakan cerminan dari identitas beragam etnis yang menyatu menjadi Indonesia.
Keberagaman bahasa itu akan membentuk bangsa Indonesia dengan berbagai latar belakang yang berbeda dan ciri khas daerah masing-masing, tidak lain tidak bukan adalah budaya daerah setempat. Dengan kata lain, bahasa menjadi alat penyebaran budaya. Hal itu sesuai dengan pendapat 23,7 persen responden. Oleh karena itu, para penutur asli bahasa daerah tetap mempertahankannya karena di sanalah terdapat identitas dan karakter sebuah masyarakat.
Keanekaragaman bahasa yang ada di Indonesia mulai dari Sabang sampai Merauke itu perlu dijadikan pemacu bangsa Indonesia untuk melestarikan budayanya sendiri. Hal tersebut harus dibarengi dengan penanaman rasa kecintaan terhadap bahasa Indonesia melalui penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar dengan cara pendekatan dan metode yang sesuai dengan perkembangan zaman agar lebih mudah diterima.
Patut diapresiasi, lebih dari separuh responden mengaku paling bangga jika berkomunikasi menggunakan bahasa Indonesia. Bahkan, 93,2 persen anak muda yakin, meski banyak bahasa Indonesia versi lokal, bahasa Indonesia akan tetap menjadi jembatan pemersatu bangsa. Hal itu menunjukkan nasionalisme dan kecintaan kepada Tanah Air tak akan luntur. (Litbang Kompas)
KOMPAS/JANNES EUDES WAWA
Sebagian besar nama jalan di Sungailiat, Kabupaten Bangka, Provinsi Bangka Belitung, ditulis dalam tiga bahasa: Indonesia, Arab, dan Mandarin (22/11/2011). Hal itu menunjukkan keragaman dan keharmonisan etnis di wilayah itu.
|