Isi Artikel |
Pembangunan SDM
Nadiem dalam Platform Pendidikan Jokowi-Ma’ruf
Pemerintahan Jokowi-Ma’ruf Amin menjadikan pembangunan sumber daya manusia (SDM) prioritas utama.
Oleh Mohammad Abduhzen
Pelajar menulis surat kepada Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim di dekat selembar kertas bergambar menteri tersebut di SMP Muhammadiyah 1 Alternatif, Kota Magelang, Jawa Tengah, Kamis (24/10/2019). Surat tersebut berisi berbagai pesan dan harapan kepada menteri yang baru saja dilantik sehari sebelumnya tersebut. Sebagian dari 345 murid yang mengikuti kegiatan tersebut menulis harapan agar Pemerintah meninjau kembali sistem zonasi dalam pendaftaran sekolah.
Pemerintahan Jokowi-Ma’ruf Amin menjadikan pembangunan sumber daya manusia (SDM) prioritas utama.
Peningkatan kualitas manusia Indonesia” yang dalam Nawacita I sebagai misi kelima, kini, dalam (sebut saja) Nawacita II, menjadi platform pertama.
Sejatinya, sejak awal pemerintahannya Jokowi mendefinisikan faktor ”manusia” sebagai masalah utama bangsa Indonesia. Pembangunan selama ini, menurut dia, tak menyentuh paradigma, pola pikir, atau budaya politik dari manusia yang menjalankan sistem sehingga nation building tak mengantarkan Indonesia pada cita-citanya (Kompas, 10/5/2014). Oleh sebab itu, Jokowi mencanangkan Revolusi Mental. Meski demikian, seperti diakuinya, selama periode pertama pemerintahannya, ia lebih memusatkan perhatian pada infrastruktur.
Masalah SDM yang kita hadapi, tak terletak pada jumlahnya yang besar, melainkan kualitasnya yang rendah sehingga selain jadi beban negara/bangsa, juga jadi faktor destruktif dan sumber berbagai masalah. Terlebih bagi mereka yang memiliki akses terhadap kekuasaan yang seyogianya jadi solusi dan motor pembangunan, justru seperti berlomba ambil bagian merongrong kehidupan berbangsa dan bernegara. Secara sederhana, ada dua pokok persoalan SDM kita.
Pertama, terkait integritas, yaitu persoalan mentalitas-budaya seperti pola pikir dan nalar, kepatuhan pada nilai-nilai moral, serta masalah komitmen kebangsaan.
Kedua, persoalan produktivitas, yaitu kemampuan SDM dalam menghasilkan sesuatu yang bermanfaat bagi kehidupan dirinya dan orang lain. Amartya Sen, penerima Nobel ilmu ekonomi 1998 (Development as Freedom, 1998) menandai SDM yang tidak mendukung kemajuan di antaranya adalah yang memiliki kemampuan produksi rendah berkelindan dengan pertambahan penduduk yang tinggi sehingga tingkat pengangguran dan setengah pengangguran tinggi.
Bagaimana upaya membangun SDM dan mengatasi dua masalah ini tergambar di antaranya dari cara pemerintah mendesain, mengelola, dan menyelenggarakan sistem pendidikan nasional.
KOMPAS/MELATI MEWANGI
Para siswa mengikuti kegiatan belajar-mengajar (KBM) di ruang kelas peninggalan zaman kolonial di SDN Pisangsambo 1, Desa Pisangsambo, Kecamatan Tirtajaya, Karawang, Jawa Barat, Rabu (13/11/2019) siang. Sekolah masih mempertahankan lantai kayu pada bangunan ini. Para siswa pun diimbau untuk tidak berlarian karena khawatir jika lantai jebol sewaktu-waktu.
Masalah SDM yang kita hadapi tak terletak pada jumlahnya yang besar, tetapi kualitasnya yang rendah sehingga selain jadi beban negara/bangsa, juga jadi faktor destruktif dan sumber berbagai masalah.
Pendidikan, Nawacita, dan RPJPM
Dalam Nawacita II, pendidikan merupakan program aksi ketiga dan keempat dari misi pertama: peningkatan kualitas manusia Indonesia. Pertama, pemerintah akan mereformasi sistem pendidikan dengan memperluas akses masyarakat terhadap pendidikan. Di antaranya mempercepat wajib belajar 12 tahun, membangun infrastruktur pendukung, dan memberikan beasiswa. Selebihnya akan mempercepat pemerataan kualitas pendidikan melalui peningkatan standar pendidikan, peningkatan kesejahteraan dosen dan guru serta meningkatkan pendidikan mental, karakter, dan peningkatan literasi.
Kedua, pemerintah akan merevitalisasi pendidikan dan pelatihan vokasi untuk menyiapkan SDM terampil disesuaikan dengan kebutuhan dunia industri dan perkembangan teknologi. Selain itu akan memperluas akses buruh dan santri mendapatkan pendidikan dan pelatihan keterampilan/kewirausahaan.
Berbeda dengan Nawacita, dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) 2020-2024, peningkatan SDM berkualitas dan berdaya saing bukan yang utama, tetapi program ketiga dari tujuh agenda pembangunan.
Dalam arah kebijakan pembangunan SDM terkait pendidikan, fokus kegiatan pada meningkatkan pemerataan layanan pendidikan berkualitas melalui peningkatan kualitas pengajaran dan pembelajaran; peningkatan pemerataan akses layanan pendidikan dengan percepatan Wajib Belajar 12 Tahun; peningkatan profesionalisme, kualitas, pengelolaan, dan penempatan pendidik/tenaga kependidikan yang merata; penguatan penjaminan mutu pendidikan untuk meningkatkan pemerataan kualitas layanan antar-satuan pendidikan dan antar-wilayah; peningkatan tata kelola pendidikan, strategi pembiayaan, peningkatan efektivitas pemanfaatan anggaran.
Dari kedua dasar platform pembangunan SDM ini, selain tak tampak adanya sensitivitas yang sama soal pentingnya pengembangan SDM, keduanya tak menunjukkan arus utama yang akan dilakukan pemerintah dalam dunia pendidikan. Dengan ide revolusi mental dan pembangunan SDM sebagai prioritas, seharusnya tergambar jelas poros perubahan operasi pendidikan, seperti jelasnya fokus membangun jalan tol pada pembangunan infrastruktur periode lalu. Mencermati tema RPJM IV 2020- 2024, ”Indonesia Berpenghasilan Menengah-Tinggi yang Sejahtera, Adil, dan Berkesinambungan”, juga dari berbagai pidato Jokowi—di antaranya dalam penjelasan RAPBN 2020 di rapat paripurna DPR—yang senantiasa mengaitkan pembangunan SDM dengan peningkatan daya saing dalam konteks perekonomian, sepertinya ide utama dalam benak pemerintah adalah pembangunan ekonomi, bukan pembangunan SDM.
Sayangnya, model berpikir ekonomis seperti itu telah mendasari pembangunan SDM semasa Orde Baru, alhasil paradigma dan pola pikir belum tersentuh pembangunan seperti tersebut di atas.
KOMPAS/RHAMA PURNA JATI
Siti Komariah bersama murid-muridnya di SD Muhammadiyah 4 Palembang Filial Desa Saluran, Kabupaten Banyuasin, Sumatera Selatan, Rabu (13/11/2019). Siti adalah satu-satunya guru yang mengajar di sekolah itu.
Dengan ide revolusi mental dan pembangunan SDM sebagai prioritas seharusnya tergambar jelas poros perubahan operasi pendidikan, seperti jelasnya fokus membangun jalan tol pada pembangunan infrastruktur periode lalu.
Faktor Nadiem Makarim
Meski platform pendidikan pemerintah tampak biasa saja, penunjukan Nadiem sebagai Mendikbud menjadikan kebijakan Jokowi terasa tak biasa. Pengangkatan Nadiem merupakan sebuah ”disrupsi”, dan tampaknya Presiden mengharapkan Nadiem juga melakukan ”disrupsi” dalam dunia pendidikan kita yang stagnan. Berulang kali Presiden mengatakan, pendidikan kita begitu-begitu saja, tanpa kemajuan berarti. Sementara dunia berubah sangat cepat. Nadiem sepertinya dijadikan ”faktor” pengubah dan akselerator dalam platform pendidikan Jokowi Ma’ruf.
Pesan Presiden kepada Mendikbud baru itu, buatlah pendidikan kita fleksibel, simpel, dan tidak as usual. Presiden meminta Nadiem mengaplikasikan teknologi pada sistem pendidikan kita agar terjadi ”lompatan dalam kualitas SDM kita”. Nadiem, dengan kapabilitas dan spirit milenialnya tampak percaya diri dan siap mengelola sekitar 300.000-an sekolah, 50 jutaan murid, dan sekitar 3,5 jutaan guru. Namun, seperti dikatakannya, urusan memajukan pendidikan bukan sebatas mendigitalisasi dan mengaplikasikan teknologi ke dalam sistem yang ada. Terdapat problem konstitusional dan fundamental terkait realitas budaya dan realitas alamiah yang harus disusun menjadi obyektif dan arah operasional pendidikan nasional. Maka, Nadiem pun siap mendengar dan belajar.
Kita berharap, Nadiem mengembangkan perspektif baru yang lebih ”pragmatis” sehingga pendidikan memberikan kegunaan nyata, relevan, dan signifikan bagi kehidupan individu, bangsa, dan kemanusiaan. Jelasnya, pendidikan kita menghasilkan pekerja yang baik (good worker), warga negara dan insan yang baik (good citizen, good man).
Kita berharap, Nadiem mengembangkan perspektif baru yang lebih ”pragmatis” sehingga pendidikan memberikan kegunaan nyata, relevan, dan signifikan bagi kehidupan individu, bangsa, dan kemanusiaan.
Beberapa agenda
Beberapa agenda mendasar yang patut dikaji dan dilakukan Mendikbud, pertama, mereformasi pendidikan karakter. Pendidikan karakter hendaknya tak dijadikan suatu program atau beban (beberapa) mata pelajaran sehingga terjadi dikotomi di antara mata pelajaran. Dalam UU Sisdiknas No 20/2003 Pasal 3, ”membentuk watak” (tak ada kata ”karakter” di UU ini) merupakan fungsi pendidikan. Artinya, terbentuknya ”karakter” adalah efek kumulatif seluruh proses pendidikan. Nadiem kiranya tak perlu direpotkan oleh gagasan pendidikan karakter sebagai program tersendiri seperti selama ini. Rancang saja sistem operasional pendidikan yang komprehensif, efektif, dan fungsional.
Kompas/Hendra A Setyawan
Murid-murid kelas V menampilkan pantomim saat mengikuti pentas seni di SD Al Azhar 15 Pamulang, Tangerang Selatan, Banten, Rabu (20/11/2019). Selain pantomim, ditampilkan juga pertunjukan drama, baca puisi, dan tari. Kegiatan yang dilakukan setiap tahun ini bertujuan menggali bakat dan minat siswa dalam berkesenian. Selain itu, juga memperkenalkan keragaman budaya Nusantara sejak dini kepada anak-anak.
Kedua, mengubah pendekatan dan metode pemelajaran agar lebih dialogis sebagaimana diamanatkan UU Sisdiknas Pasal (1) dan Pasal 40 Ayat (2a). Pemelajaran dialogis sangat penting bagi pengembangan keterampilan berpikir tingkat tinggi (higher order thinking skills/HOTS) sebagai basis pembentukan karakter. Dengan suasana dialogis para murid diwongke, diberikan ruang mengartikulasikan pikiran dan perasaannya melalui kata-kata sehingga menumbuhkan harga serta kepercayaan diri yang diperlukan dalam berkomunikasi.
Menurut beberapa teori klasik (Plato dan Aristoteles) dan modern (JB Watson dan Ludwig Wittgenstein) antara berpikir dan berbahasa memiliki keterkaitan yang saling menguatkan. Berdialog dan menata ungkapan dalam bahasa dapat berarti menajamkan dan mengonstruksi pikiran. ”Bahasa didirikan berdasarkan pikiran,” kata Wittgenstein.
Ketiga, atur kembali Ujian Nasional (UN). Proyek UN kolosal dan mahal yang berlangsung selama ini bukan saja tak terbukti meningkatkan mutu, malah merusak mentalitas murid karena pada praktiknya menyisipkan nilai-nilai koruptif. Kembalikan saja UN sesuai UU Sisdiknas Pasal 57 dan 58. Evaluasi hasil belajar dilakukan guru, sementara untuk pengendalian mutu dilakukan lembaga independen yang penyelenggaraannya tak perlu setiap tahun dan bahkan dapat tanpa melibatkan seluruh murid.
Keempat, sederhanakan kurikulum (jumlah mata pelajaran). Untuk tingkat sekolah dasar (SD) gunakan pengantar bahasa ibu (bahasa daerah). Pada kelas I hingga kelas III cukup satu atau dua mata pelajaran saja, yaitu pelajaran Bahasa dan Matematika. Pelajaran Agama, Pancasila, Sains, Bahasa Inggris, dan Seni diintegrasikan sebagai konten. Pada kelas berikutnya beberapa mata pelajaran seperti Agama dan Pancasila dijadikan tersendiri. Di tingkat SMP dan SMA murid cukup belajar empat atau lima mata pelajaran dengan penekanan pada matematika terapan dan sains. Perlu ada reorientasi pada pendidikan agama dan kebangsaan agar keberagamaan dan kebangsaan menjadi kekuatan konstruktif.
Kompas/Hendra A Setyawan
Sebanyak tiga ruang kelas SD Malangnengah II, Pagedangan, Kabupaten Tangerang, Baten, yang ambruk pada Senin (11/11/2019), masih belum dilakukan pembenahan, Rabu (13/11/2019). Bangunan yang terakhir direnovasi pada 2012 itu roboh setelah hujan deras menguyur kawasan ini. Pihak sekolah mengosongkan tiga ruang kelas itu seminggu sebelum kejadian untuk mengantisipasi hal-hal yang tidak diinginkan. Akibat robohnya bangunan ini, proses belajar-mengajar dilakukan pagi dan siang hari.
Nadiem kiranya tak perlu direpotkan oleh gagasan pendidikan karakter sebagai program tersendiri seperti selama ini. Rancang saja sistem operasional pendidikan yang komprehensif, efektif, dan fungsional.
Kelima, pengarusutamaan pendidikan vokasional dengan melakukan: 1) Restrukturisasi persekolahan, yaitu SMA cukup dua tahun. Tahun ketiga murid sudah dipilah ke jalur akademi dan vokasi. 2) Sekolah kejuruan (SMK) disatu-jalurkan dengan akademi komunitas, dan Politeknik. Perlu spesifikasi dan diversifikasi penjurusan dan masa pendidikan/pelatihan. Misalnya cukup enam bulan untuk jurusan tukang cukur dan tukang las, satu tahun untuk pengasuh jompo. 3) Revitalisasi jalur vokasi juga dilakukan dengan mengoptimalkan fungsi Balai Latihan Kerja (BLK), terutama bagi mereka yang putus sekolah (DO) dan tidak melanjutkan di tingkat SD – SMP.
Kompleksitas masalah pendidikan kita telah melampaui kapasitas departemental/kementerian sehingga untuk memajukannya selain memerlukan curahan perhatian dan komitmen penuh Presiden, juga perlu dukungan masyarakat.
(Mohammad Abduhzen, Advisor Paramadina Institute for Education Reform, Universitas Paramadina)
|