Isi Artikel |
Pendidikan Era 4.0
Humanisasi Pendidikan pada Era 4.0
Tujuan pendidikan nasional bukanlah sekadar menyiapkan sumber daya manusia (SDM) untuk menghadapi tantangan ekonomi global.
Oleh Airlangga Pribadi Kusman
Tujuan pendidikan nasional bukanlah sekadar menyiapkan sumber daya manusia (SDM) untuk menghadapi tantangan ekonomi global. Hal yang lebih penting dalam rangka mengantisipasi revolusi teknologi 4.0 adalah penanaman nilai-nilai kemanusiaan yang di dalamnya pendidikan demokrasi, solidaritas terhadap yang berbeda, dan kemampuan berpikir kritis menjadi prioritas di dalamnya.
Dimensi-dimensi kemanusiaan inilah bekal utama bagi generasi mendatang mengharumkan republik dalam pergaulan warga dunia sekaligus membangun tata kelola yang beradab di negeri kita.
Seperti diutarakan Presiden Joko Widodo (Jokowi), salah satu arah utama dari pembangunan Indonesia ke depan adalah penyiapan SDM Indonesia dalam rangka mengantisipasi perubahan sosial pada era revolusi teknologi 4.0. Kebijakan pendidikan oleh Presiden diawali dengan mengangkat Nadiem Makarim, salah satu pengusaha bisnis digital yang sukses, sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud).
Sampai sejauh ini yang dipersoalkan terkait kebijakan pendidikan ini, apakah Nadiem sebagai pebisnis berbasis teknologi digital lebih pantas dibandingkan para expert ataupun pakar pendidikan lainnya untuk menduduki jabatan menteri. Dalam konteks Indonesia menyongsong era revolusi teknologi 4.0 bukan itu pokok masalahnya. Pada era digital 4.0 menurut Heimans dan Timms (2018) dalam New Power, kalangan pakar harus berbagi dalam kerja kolaborasi dengan para kreator untuk mengkreasi pengetahuan.
Hal yang lebih penting dalam rangka mengantisipasi revolusi teknologi 4.0 adalah penanaman nilai-nilai kemanusiaan yang di dalamnya pendidikan demokrasi, solidaritas terhadap yang berbeda, dan kemampuan berpikir kritis menjadi prioritas di dalamnya.
Persoalan utama terkait arah baru kebijakan pendidikan nasional dalam rangka menyongsong guncangan revolusi teknologi 4.0, apakah pendidikan nasional semata-mata hanya ditujukan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dengan SDM yang siap pakai dalam persaingan global atau ada tujuan lain yang lebih mulia.
Bahwa pokok perhatian pada pembangunan SDM pada hakikatnya adalah membangkitkan potensi kemanusiaan dari peserta didik terkait daya cipta dan imajinasi yang kaya dalam otonomi dan kemerdekaan kehendaknya. Pendidikan yang memiliki tujuan kemanusiaan yang menurut pujangga besar India, Rabindranath Tagore (1929), dalam Ideals of Education maupun Ki Hadjar Dewantara (1922) saat mendirikan Taman Siswa sebagai jalan pembebasan manusia.
KOMPAS/HENDRA AGUS SETYAWAN
Murid-murid bermain permainan kuda tomprok saat sehari belajar di luar kelas di SMA 7, Jakarta, Kamis (7/11/2019). Pelaksanaan sehari belajar di luar kelas dilakukan dalam memenuhi, menjamin dan melindungi hak anak perlu memastikan bahwa satuan pendidikan mampu mengembangkan bakat dan kemampuan anak melalui sekolah ramah anak. Kegiatan ini juga bagian dari peringatan Hari Anak Universal.
Sebagai wahana, selain memperlakukan manusia melampaui makhluk ekonomi dengan kepentingannya, juga menyentuh jiwa kemanusiaan dengan segenap daya kreasi, rasa empati, dan otonomi individu untuk terhubung dengan dunia dengan cara yang halus, kompleks dan kaya. Pendidikan yang akan membawa peserta didik memandang yang lain tidak hanya sebagai alat yang dapat dimanipulasi untuk kepentingannya, tetapi sebagai manusia merdeka yang siap berkolaborasi untuk kebaikan bersama.
Bahwa pokok perhatian pada pembangunan SDM pada hakikatnya adalah membangkitkan potensi kemanusiaan dari peserta didik terkait daya cipta dan imajinasi yang kaya dalam otonomi dan kemerdekaan kehendaknya.
Problem sosial 4.0
Pertanyaan selanjutnya apakah relevansi dari ajaran pendidikan satu abad yang lampau itu bagi penyiapan SDM Indonesia menyongsong gelombang revolusi teknologi 4.0? Di sini diskusi soal pendidikan kerap kali terjebak dalam benturan diametrikal yang membenturkan antara pendidikan untuk menyiapkan SDM dalam orientasi ekonomi vis a vis pendidikan dalam ranah sosial menuju insan paripurna.
Sesungguhnya dua hal itu bukanlah sesuatu yang harus dilihat secara kontradiktif. Pendidikan yang berorientasi pada tuntutan ekonomi pasar harus didampingi dengan pendidikan yang membangunkan kesadaran sosial peserta didik untuk memiliki kepekaan terhadap yang lain (the other), menempatkan manusia yang lain secara setara (equality) dan bersikap kritis terhadap berbagai ketimpangan di sekitar kita.
Patut direnungkan secara mendalam, bahwa seperti halnya pada awal revolusi industri 200 tahun yang lalu, maupun awal teknologi informasi sekitar setengah abad yang lalu, revolusi digital 4.0 juga membawa implikasi-implikasi sosial yang memerlukan wawasan imajinasi sosial yang kaya dan kedalaman hati manusia untuk menanggapinya. Merebaknya ujaran kebencian yang menunggangi lalu lintas informasi melalui reproduksi hoaks di media sosial adalah efek buruk dari revolusi digital 4.0.
Demikian pula disrupsi sosial berskala tektonik yang menghancurkan corak ekonomi konvensional berskala masif adalah efek dari perkembangan teknologi digital. Tantangan lain yang menyongsong kita dan menjadi keresahan dunia adalah kembalinya era authoritarian turn, ketika perkembangan teknologi digital juga menghadirkan ancaman politik, saat kontrol negara orwellian kepada masyarakat yang berpotensi melemahkan jaminan negara atas hak sipil dan politik.
Demikian pula disrupsi sosial berskala tektonik yang menghancurkan corak ekonomi konvensional berskala masif adalah efek dari perkembangan teknologi digital.
Apabila kesemua hal itu tidak diperhatikan dalam pengarusutamaan kebijakan pendidikan baru pada era revolusi teknologi 4.0, kita akan menyaksikan polarisasi sosial berbasis kebencian yang menghancurkan prinsip kolaborasi, tatanan sosial yang menghasilkan segelintir orang-orang kaya baru di tengah lautan mayoritas warga yang terpinggir atau lapisan kelas menengah yang takut jatuh ke jurang kemiskinan (precariat middle class), maupun tatanan demokrasi yang terancam goyah menuju titik nadirnya.
Sehingga, alih-alih kita menuju kejayaan negeri di tahun 2045, format pendidikan yang melupakan dimensi sosial-kemanusiaan akan membawa kita menuju negara yang gagal (failed state).
KOMPAS/BAHANA PATRIA GUPTA
Pelajar melihat Pameran Widya Wahana Pendidikan di Balai Pemuda, Surabaya, Jumat (1/11/2019). Pameran yang bertema ”Membangun Generasi Berkarakter Melalui Wahana Kreasi, Ekspresidan Inovasi” tersebut memamerkan keunggulan sekolah-sekolah yang ada di Surabaya. Banyak dari sekolah yang ikut menghadirkan tema peduli lingkungan.
Relevansi pendidikan humanis
Apabila dirumuskan secara lebih sederhana, pendidikan yang menggali kekayaan jiwa manusia adalah pendidikan yang menumbuhkan budi pekerti. Dalam pedagogi yang menyentuh jiwa, arah pendidikan nasional hendaknya membawa peserta didik untuk masuk dalam perjumpaan konkret dengan mereka yang tidak saja berbeda, tetapi juga marjinal dan terasing dalam arus perubahan. Pendidikan yang mampu mengantarkan manusia Indonesia untuk mampu mendengarkan narasi dari mereka yang miskin dan terpinggir.
Apabila dirumuskan secara lebih sederhana, pendidikan yang menggali kekayaan jiwa manusia adalah pendidikan yang menumbuhkan budi pekerti.
Dalam pendidikan yang menyentuh jiwa, keilmuan tidak saja menjadi penting karena menawarkan sisi kepraktisannya, tetapi juga mempertajam nalar kritis-analitik yang mampu mengoreksi problem pengelolaan negara, maupun masuk pada penghalusan adab dan rasa melalui pendalaman seni dan sastra.
Sehingga, menyongsong era revolusi teknologi 4.0, negeri ini mampu tetap mengaktualkan seruan Ki Hadjar Dewantara bahwa tujuan pendidikan adalah membuka batin untuk merasa, menyalakan rasio untuk mencipta dan memerdekakan diri untuk bertindak.
(Airlangga Pribadi Kusman, Pengajar Departemen Politik FISIP Universitas Airlangga, CEO Initiative Institute)
|