Judul | Masyarakat Perlu Memahami: Terorisme Menyebar Melalui Sekolah, Tempat Ibadah, dan Perumahan |
Tanggal | 29 Juni 2016 |
Surat Kabar | Kompas |
Halaman | 8 |
Kata Kunci | |
AKD |
- Komisi III - Komisi X |
Isi Artikel | Masyarakat Perlu Memahami Terorisme Menyebar Melalui Sekolah, Tempat Ibadah, dan Perumahan 29 Juni 2016 0 komentar JAKARTA, KOMPAS — Pemahaman masyarakat terhadap tindak terorisme perlu terus ditingkatkan. Pasalnya, pelaku teror cenderung memiliki kesan berperilaku baik di tengah masyarakat, tetapi mereka menyalahi ajaran agama dengan melakukan teror yang mengancam nyawa sesama manusia. KOMPAS/LASTI KURNIAPeneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Hermawan Sulistyo (kanan) menyampaikan pandangannya bersama anggota Komisi III DPR Sarifudin Sudding (tengah) dan Direktur Program Imparsial Al Araf (kiri) dalam diskusi di Gedung MPR/DPR, Jakarta, Selasa (28/6). Diskusi membahas RUU Antiterorisme. Terpidana kasus Bom Bali I, Ali Imron, menyatakan, masyarakat awam umumnya tidak mengetahui makna terorisme. Ia mencontohkan, ketika polisi menangkap pelaku aksi teror, para warga di lingkungan setempat justru memprotes aksi penegakan hukum itu. "Oleh karena itu, saya ingin membantu pemerintah memberikan pemahaman kepada masyarakat. Terorisme adalah tindakan yang berbahaya dan besar mudaratnya," ujar Ali dalam diskusi yang diselenggarakan Wahid Foundation berjudul "Peran Islam untuk Perdamaian Indonesia", Selasa (28/6), di Masjid Al-Fataa, Jakarta. Ali menuturkan, upaya menyebarkan paham Islam yang anti radikal merupakan caranya menebus kesalahannya di masa lalu yang terlibat dalam aksi Bom Bali I pada Oktober 2002. Lebih lanjut, ia menyadari, aksi teror itu adalah sebuah kesalahan. "Saya telah berpengalaman terlibat dalam aksi teror terbesar di Indonesia dan saya akui itu sebuah kesalahan. Karena itu, saya bertekad lebih semangat mencegah terorisme dibandingkan ketika saya melakukan jihad melalui aksi teror," kata Ali yang divonis penjara seumur hidup. Ali dititipkan penahanannya di Polda Metro Jaya. Dalam kesempatan serupa, Jumu Tuani, eks Panglima Operasi Pusat Komando Jihad Maluku, menegaskan, aksi teror yang dilakukan kelompok teroris, salah satunya NIIS, merupakan bentuk ketidaktahuan mereka terhadap ajaran Islam. Jumu menambahkan, aksi fai atau pencurian untuk mengumpulkan dana yang dilakukan terhadap mereka yang tidak sepaham ajaran agamanya adalah hal keliru. Direktur Wahid Foundation Yenny Wahid menyoroti bagian penting dari perkataan Ali Imron bahwa masyarakat sering membayangkan terorisme hadir melalui orang-orang yang berpenampilan seram dan bersenjata. Padahal, terorisme menyebar melalui diskusi di sekolah dan kampus, arisan di perumahan, dan ceramah di tempat ibadah. "Paham ekstrem berisiko berujung kepada terorisme yang menyakiti warga Indonesia dan dunia," ujar Direktur Wahid Foundation Yenny Wahid. Menurut Yenny, diperlukan juga pengupayaan pemenuhan keadilan dan kesejahteraan rakyat. Hal ini karena kedamaian tidak akan bisa tercapai tanpa ada keadilan. "Semakin rapuh masyarakat oleh kondisi sosial, ekonomi, dan politik yang tidak adil, semakin besar risiko mereka diperalat ideologi yang memecah belah bangsa," kata Yenny. Terkait hal itu, Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Luhut Binsar Pandjaitan menyebutkan, pemerintah telah menjalankan program yang bertujuan menyejahterakan dan memenuhi unsur keadilan bagi masyarakat, misalnya peningkatan kualitas pendidikan, program keluarga harapan, dan dana desa. Peran aktif masyarakat, lanjutnya, merupakan modal utama keberhasilan program pemerintah tersebut. BNPT diperkuat Sejumlah fraksi di Dewan Perwakilan Rakyat mengusulkan agar kewenangan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) diperkuat melalui pembahasan revisi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. BNPT diusulkan mendapat kewenangan mengikat mengoordinasikan semua elemen yang terlibat dalam penanganan aksi terorisme. Peran BNPT tersebut mencakup koordinasi fungsi pencegahan, penindakan, dan pasca kejadian teror. Penguatan BNPT untuk menjalankan fungsi koordinasi diharapkan dapat turut memperjelas batas keterlibatan TNI dalam upaya penanggulangan terorisme. Ketua Panitia Khusus RUU Antiterorisme Muhammad Syafii di Kompleks Parlemen, Senayan, kemarin mengatakan, saat ini, upaya pencegahan, penindakan, dan penanganan pasca aksi terorisme masih dilakukan secara terpisah-pisah oleh beberapa instansi yang berbeda. Koordinasi antarinstansi itu pun belum berlangsung dengan baik. "Selama ini, penanganan terorisme masih amburadul. Tidak ada transparansi, pertanggungjawaban, koordinasi buruk, demikian pula tidak ada mekanisme evaluasi yang terbuka. BNPT harus diperluas kewenangannya, lembaga ini dapat membantu mengoordinasikan pencegahan, penindakan, serta pasca kejadian teror," kata Syafii. BNPT menjadi garda terdepan pemberantasan terorisme dan membawahkan beberapa unit khusus, seperti Detasemen Khusus 88 (Densus 88) Polri, TNI, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, Badan Intelijen Negara, dan institusi terkait lainnya. Wakil Ketua Pansus RUU Antiterorisme Syaiful Bahri Anshori mengatakan, koordinasi penanggulangan terorisme perlu diperjelas agar tidak ada lagi egosektoral antarinstitusi. Ia mencontohkan permintaan TNI untuk lebih aktif dilibatkan dalam pemberantasan terorisme karena selama ini koordinasi dengan Polri tidak selalu berjalan dengan baik. (AGE/SAN/DNE) |
Kembali ke sebelumnya |