Selamat datang di website E-PAPER PERPUSTAKAAN DPRRI.

Koleksi Perpustakaan DPR RI

Judul Peraturan Buruh di Era Industri Digital
Tanggal 06 Desember 2019
Surat Kabar Kompas
Halaman 1
Kata Kunci
AKD - Komisi IX
Isi Artikel Jangan dilupakan tangisan buruh yang belum dapat mencicipi keadilan sebagaimana diatur oleh hukum. Mereka masih mencoba bertahan hidup dengan upah minimum di bawah batas minimal yang ditentukan. Oleh ANTONIUS PURWANTO     Bank Dunia menilai peraturan ketenagakerjaan yang tidak terlalu membebani pemberi kerja dapat menjadi peluang bagi perusahaan dan berdampak baik bagi keseluruhan iklim ketenagakerjaan. Mengacu rekomendasi yang dikeluarkan oleh Bank Dunia. Dalam laporan World Development Report 2019 disebutkan negara-negara miskin dan berkembang perlu merevisi sejumlah peraturan ketenagakerjaan supaya hubungan industrial menjadi lebih fleksibel. Pasar tenaga kerja yang lebih fleksibel akan menciptakan lapangan kerja. Menurut laporan itu, kasus peraturan ketenagakerjaan seperti upah minimum, perekrutan dan pemecatan, dan uang pesangon membuat perusahaan terlalu mahal dalam menyesuaikan tenaga kerjanya untuk mengakomodasi perubahan teknologi. Catatan dari Bank Dunia ini menjadi sinyal bahwa gagasan hubungan industrial yang menyesuaikan dengan perkembangan teknologi tampaknya sedang berlangsung di dunia. Usulan tersebut dimaksudkan untuk menyiapkan negara-negara miskin dan berkembang dalam menghadapi perubahan iklim pada industri kerja seiring meningkatnya  penerapan teknologi yang kerap disebut Revolusi Industri 4.0. Dalam lanskap revolusi ini, penggunaan kecerdasan buatan atau artificial intelligence dan otomatisasi meningkat sehingga tenaga kerja manusia semakin tak dibutuhkan secara langsung untuk menggerakkan mesin-mesin pabrik. Teknologi digital juga memungkinkan orang bekerja di mana saja tanpa keterbatasan ruang dan waktu. Beberapa perusahaan, seperti usaha rintisan teknologi, bahkan mengandalkan kemitraan daripada ikatan kerja untuk menggerakkan usaha mereka. Merevisi aturan Sejalan dengan fenomena global, Indonesia juga berencana merevisi peraturan ketenagakerjaan. Wacana revisi UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UUK) sebenarnya sudah mulai bergulir sejak tiga tahun diundangkan. Pada 2006, rencana revisi UUK melibatkan dukungan analisis dari lima universitas negeri di Indonesia, yaitu Universitas Gadjah Mada, Universitas Indonesia, Universitas Hasanuddin, Universitas Padjadjaran, dan Universitas Sumatera Utara. Upaya kedua dilakukan pada 2010, kemudian 2017 dan 2018. Tahun ini upaya merevisi UUK merupakan usaha kelima kalinya. Di masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, draf perubahan UUK pernah diajukan ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2011. Namun, anggota DPR menolaknya. Revisi UU Ketenagakerjaan masuk kembali ke agenda Prolegnas 2012, tetapi DPR mencabutnya melalui sidang paripurna. Alasannya, revisi UUK dianggap lebih menguntungkan pengusaha dan merugikan pekerja. Sejak saat itu, draf revisi UUK tidak pernah lagi masuk ke Senayan. Menjelang berakhirnya periode pertama pemerintahan Presiden Joko Widodo, upaya revisi UUK kembali digaungkan. Pemerintah menyatakan, setelah 16 tahun diberlakukan, UUK yang dibuat pada masa pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri itu dianggap usang dan tidak bisa lagi menjawab tantangan di dunia ketenagakerjaan saat ini. Aturan ketenagakerjaan disebut mantan Menteri Hanif Dhakiri sebagai kanebo kering  yang  diasosiasikan sebagai ”kaku” dan jauh dari kata fleksibel. Selain soal fleksibilitas, pembaruan UUK diperlukan karena sejumlah ketentuan dinilai kurang relevan dengan perkembangan zaman. Sudah lebih dari 30 kali UU Ketenagakerjaan diuji materi di Mahkamah Konstitusi (MK). Bahkan, tidak sedikit juga ketentuan dalam UU Ketenagakerjaan yang dibatalkan oleh MK. Banyaknya percobaan judicial review, setidaknya mencerminkan opini rakyat perihal kualitas UUK. Merespons tantangan Revisi UUK juga dibutuhkan menghadapi pesatnya perkembangan teknologi yang mengubah pola kerja dan industri. Revisi dibutuhkan agar Indonesia bisa gesit merespons dinamika pasar kerja. Hal tersebut berkaitan juga dengan tantangan yang dihadapi pengusaha untuk menekan ongkos produksi. Perusahaan juga perlu berekspansi supaya tenaga kerja yang belum terserap dunia usaha itu bisa tetap bekerja dengan adanya pembukaan lapangan-lapangan kerja baru. SUKERNAS, BPS Komposisi penduduk bekerja menurut generasi dan lapangan usaha.   Meski demikian, rencana merevisi UU No 13/2003 tentang Ketenagakerjaan masih menyisakan persoalan kompleks hubungan industrial. Ketika aturan ketenagakerjaan di sejumlah negara telah sampai pada pertimbangan felsibilitas menghadapi kemajuan pesat teknologi, peraturan pekerja di Indonesia terkendala dengan dilema era industri lama. Dilema ini ada pada persoalan jumlah dan mutu pekerja Indonesia. Kondisi demikian antara lain tecermin dari potret ketenagakerjaan di sisi hilir. Angka pengangguran di Indonesia menjadi persoalan pelik hingga kini. Di atas kertas, angka pengangguran cenderung turun. Namun, angka tersebut tidak memperlihatkan perbaikan yang signifikan. Soalnya, tingkat pengangguran yang disebabkan oleh ketidakcocokan kualifikasi pendidikan dengan kebutuhan pasar tenaga kerja juga masih cukup besar. Hanya dua dari 10 orang angkatan kerja di Indonesia yang terserap sesuai dengan latar belakang pendidikannya. Persentase penganggur muda justru cenderung meningkat, khususnya kalangan muda berpendidikan menengah atas. Sebagai gambaran, pengangguran berpendidikan SMA ke atas mengalami kenaikan dari 60 persen di tahun 2014, menjadi 74 Persen pada tahun lalu.   Daya tawar Masih rendahnya mutu sebagian besar pekerja diperkuat oleh ketidakseimbangan pasar tenaga kerja. Suplai tenaga kerja Indonesia jauh lebih besar ketimbang permintaannya. Posisi tawar buruh menjadi lemah di mata perusahaan. Sementara usulan revisi yang ada juga potensial memperlemah posisi pekerja. Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) Kementerian Hukum dan HAM telah mengeluarkan laporan dan analisis hukum ketenagakerjaan 2018. Dalam laporan tersebut, sejumlah usulan revisi disebutkan antara lain pencabutan upah minimum sektoral, penghilangan hak cuti haid, membatasi hak mogok, dan memasukkan kembali pasal-pasal kesalahan berat. Usulan lain, yakni menghilangkan uang penghargaan masa kerja dalam PHK dan menetapkan jumlah uang pesangon dalam undang-undang sebagai jumlah maksimum. Di samping itu, pengusaha juga mengusulkan untuk merevisi ketentuan kontrak kerja dari tiga menjadi lima tahun. Pengusaha juga menginginkan adanya perubahan sistem alih daya dari yang sebelumnya hanya untuk pekerja dasar ke beberapa jenis posisi pekerjaan yang lebih luas. Semua usulan tersebut berpotensi menurunkan perlindungan dan kesejahteraan buruh. Padahal, dasar regulasi ketenagakerjaan semestinya melindungi kepentingan kesejahteraan pekerja. Menghadapi rencana revisi UUK tersebut, berbagai kalangan serikat pekerja dan organisasi buruh memilih untuk menentang. Massa pekerja berunjuk rasa menolak revisi UUK pada Agustus dan Oktober lalu. Titik temu Mengatur kembali tatanan ketenagakerjaan menjadi pekerjaan rumah ke depan. Para pemangku kepentingan atau stakeholders perlu sama-sama melakukan evaluasi untuk menentukan apa yang harus direvisi dan merekomendasikan penyempurnaannya. Namun, di sisi lain, jangan dilupakan pula akan tangisan buruh yang masih belum dapat mencicipi keadilan sebagaimana diatur oleh hukum. Mereka masih mencoba untuk bertahan hidup dengan upah minimum di bawah batas minimal yang ditentukan. Akhirnya, revisi UU Ketenagakerjaan hanya bisa diselesaikan jika pengusaha, buruh, dan pemerintah mau duduk bersama dan berdialog untuk mencari titik temu. (LITBANG KOMPAS)
  Kembali ke sebelumnya