Isi Artikel |
PEMBANGUNAN KEBUDAYAAN
Beban Kebudayaan di Bahu Nadiem
Kehadiran Nadiem diapresiasi dan digadang-gadang lebih revolusioner. Akan tetapi, revolusi pendidikan Nadiem akan berimplikasi pada pemajuan peradaban jika berfokus pada revolusi mental pemelajar masyarakat kita.
Oleh HARYADI BASKORO
Kurator Borobudur Writers & Cultural Festival (BWCF), Mudji Sutrisno (paling kanan), berbincang dengan sejumlah tokoh dalam acara pembukaan BWCF 2019, Kamis (21/11/2019), di salah satu hotel di Yogyakarta. BWCF merupakan festival tahunan yang mempertemukan para penulis, intelektual, seniman, pekerja kreatif, dan aktivis budaya. Tahun ini, BWCF mengambil tema “Tuhan dan Alam: Membaca Ulang Panteisme dan Tantrayana dalam Kakawin dan Manuskrip-manuskrip Kuno Nusantara”.
Nadiem Makarim diharapkan bukan hanya memajukan pendidikan, melainkan juga kebudayaan Indonesia.
Wacana dan upaya pembaruan pendidikan selalu menyeruak setiap kali muncul menteri baru. Kurikulum 2013, misalnya, diklaim banyak pihak merupakan inovasi pendidikan yang mampu mencetak anak didik siap pakai, scientific base yang lahirkan generasi positivis dan fungsionalis, active learning yang melahirkan generasi teknologis-informatif (Naufil Istikhari, Kompas, 24/3/2014). Artinya, tiap kepemimpinan pendidikan di negeri ini punya upaya pembaruan dan pemajuan.
Kehadiran Nadiem diapresiasi dan digadang-gadang lebih revolusioner. Kepiawaiannya sebagai entrepreneur digital, ketokohannya dalam revolusi Industri 4.0, dan sosoknya sebagai ikon milenial berprestasi global membangkitkan banyak optimisme. Revolusi pendidikan Nadiem diharapkan bukan sebatas wacana, tetapi gerakan radikal nyata. Tugas Nadiem tak hanya merevolusi pendidikan, tetapi juga memajukan kebudayaan.
Mental pemelajar
Keterpaduan pembangunan pendidikan-kebudayaan adalah visi orisinal kita sejak Ki Hadjar Dewantara menjabat Menteri Pengajaran. Dari rezim ke rezim, keterpaduan itu terus digarap. Era Orde Lama, kementeriannya bernama Departemen Pengajaran (1945- 1948), Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1948-1955), Departemen Pengajaran, Pendidikan, dan Kebudayaan (1955-1956). Sejak 1956 dan era Orde Baru, namanya Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1956-1999). Pascareformasi, meski sempat diubah menjadi Departemen Pendidikan Nasional (1999-2009) dan Kementerian Pendidikan Nasional (2009-2011), akhirnya dikembalikan menjadi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (2011-sekarang).
Keterpaduan pembangunan pendidikan-kebudayaan adalah visi orisinal kita sejak Ki Hadjar Dewantara menjabat Menteri Pengajaran.
Revolusi pendidikan Nadiem perlu dilandasi konsep visioner terkait keterpaduan pembangunan pendidikan dan kebudayaan. Jika tidak, kompleksitas masalah kebudayaan, mulai dari dekadensi nilai, delinkuensi norma, konflik multikulturalisme, hingga radikalisme, justru akan menjadi beban tersendiri. Dalam praktik, pendidikan dituntut bukan hanya untuk cerdaskan bangsa, tetapi juga membangun generasi lebih berbudaya.
Pendekatan antropologis membantu kita menemukan benang merah antara pendidikan dan kebudayaan. Mengacu konsep Koentjaraningrat (1986), kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri melalui proses belajar. Manusia jadi berbudaya lewat proses belajar yang dalam konteks kehidupan bermasyarakat dikenal dengan sosialisasi, enkulturasi, dan internalisasi.
KOMPAS/ANGGER PUTRANTO
Sejumlah pemuda berlatih membaca aksara pegon dari cukilan naskah Lontar Yusuf.
Belajar melalui lembaga pendidikan formal hanya salah satu metodenya. Itulah sebabnya pada era Ki Hadjar Dewantara dibedakan antara pengajaran dan pendidikan, karena proses belajar itu lebih luas dan kompleks daripada sekolah dan kuliah.
Revolusi pendidikan Nadiem akan berimplikasi pada pemajuan peradaban jika berfokus pada revolusi mental pemelajar. Apalah artinya kurikulum baru jika siswa dan guru tak punya mental pemelajar. Fasilitas dan fulus pendidikan tak berdampak pencerdasan manakala kita tak punya sikap kritis, minat meneliti, menemukan inovasi, dan tak berjiwa kreatif. Itulah sebabnya digitalisasi terkadang justru berujung pembodohan. Indonesia sebagai salah satu pengguna internet terbesar dunia jadi terbodohkan secara digital oleh rupa-rupa hoaks, ujaran kebencian, perundungan, radikalisme siber (cyber radicalism), terorisme siber (cyber terrorism).
Mental pemelajar itu harus seluas samudra. Tak hanya belajar di ruang kelas. Tak hanya belajar untuk cari ijazah, gelar, karier, dan jabatan. Tak hanya belajar teknologi secara pragmatis. Kita belajar secara kompleks untuk menjadi manusia berbudaya dalam semua dimensinya: sistem gagasan (nilai, filosofi, ideologi, pengetahuan), tindakan (sikap, perilaku), dan benda hasil karya (teknologi).
Revolusi pendidikan Nadiem akan berimplikasi pada pemajuan peradaban jika berfokus pada revolusi mental pemelajar. Apalah artinya kurikulum baru jika siswa dan guru tak punya mental pemelajar.
Pembodohan terjadi manakala proses belajar kebudayaan tak holistik dan tak komplet. Contohnya, blunder dalam pemelajaran budaya digital. Kita hanya mempelajarinya sebagai benda hasil karya manusia (wujud budaya materi) tanpa pelajari sistem gagasan dan perilaku yang harus melandasinya. Akibatnya, penguasaan teknologi cerdas tak dilandasi multi-kecerdasan insani. Medsos membuat kita narsis karena kita tak punya kecerdasan intrapersonal, memicu konflik karena kita tak punya kecerdasan interpersonal, memerosotkan moralitas karena kita miskin kecerdasan spiritual.
Mental pemelajar dalam konteks kebudayaan Indonesia itulah yang kita butuhkan. Kita bersyukur karena telah punya rumusan tentang substansi kebudayaan nasional yang dirangkumkan dalam filsafat Pancasila. Kelima silanya jadi dasar pembangunan mentalitas pemelajar kita. Belajar berketuhanan bukan hanya belajar beriman dan bermoral, melainkan juga berinovasi dan berkreasi sebab Tuhan adalah Sang Pencipta.
ARSIP PERPUS KARANGASEM
Suasana luar ruang di Perpustakaan Umum Karangasem, Bali, September 2019.
Belajar berkemanusiaan adalah belajar mengembangkan multikapasitas diri dalam kerangka cinta sesama. Belajar bersatu adalah belajar berbineka, bersinergi, berkolaborasi, berjiwa negarawan. Belajar berdemokrasi adalah belajar berpikiran kritis, berani berbeda pendapat, berdiskusi, bermusyawarah. Belajar berkeadilan adalah belajar kejar kemakmuran dengan semangat dan kompetensi kewirausahaan sosial.
Inovasi dan kreasi
Karena Pancasila digali dari kebudayaan Nusantara, maka itu mengindikasikan betapa kayanya kearifan asli kita. Kita sangat berlimpah sistem gagasan (nilai, filosofi, ideologi, sistem pengetahuan). Namun, anehnya, kita tak banyak tahu dan malahan sibuk impor kebudayaan asing. Kita kagum dengan konsep multikulturalisme, padahal kita punya konsep Bhinneka Tunggal Ika. Kita terhipnotis konsep kebangsaan dan kenegaraan asing, padahal kerajaan-kerajaan Nusantara kaya akan warisan sistem nilai kenegaraan dan kenegarawanan.
Kebodohan ini terjadi lagi-lagi karena mental pemelajar kita jeblok. Kita punya sumber energi, tetapi tak mampu menambang, mengolah, dan mengemasnya. Kita seolah kekurangan energi kultural untuk gerakkan roda peradaban. Di sinilah fungsi pendidikan sebagai generator pembangkit energi itu.
Pendidikan harus berkekuatan inovasi dan kreasi untuk merevitalisasi kebudayaan sendiri. Kemendikbud punya Balai Pelestariam Nilai Budaya (BPNB) yang bisa dikolaborasikan dengan kegiatan pendidikan. Hasil tambang budaya dari BPNB perlu diolah dan dikemas lebih lanjut. Melalui kegiatan pendidikan formal, nonformal, dan informal, nilai-nilai budaya itu dapat diajarkan ke generasi milenial secara kreatif. Hasil galian budaya jangan hanya teronggok sebagai barang-barang antik di gudang kebudayaan, tetapi jadi energi penggerak perubahan.
Pendidikan harus berkekuatan inovasi dan kreasi untuk merevitalisasi kebudayaan sendiri.
BJ Habibie memberikan contoh bagaimana mengoperasikan nilai budaya Nusantara itu sebagai energi inspirasi dan motivasi untuk pembangunan peradaban modern. Pesawat terbang karyanya diberi nama Gatotkaca dan beberapa versinya juga memakai nama-nama tokoh pewayangan. Di sinilah nilai budaya Nusantara diolah dan dikemas sebagai energi pemelajaran yang menggerakkan roda peradaban Indonesia masa kini.
(Haryadi Baskoro, Pendiri Indonesia Rumah Kebhinnekaan (Inruka); Antropolog-Teolog)
|