Isi Artikel |
KURIKULUM PENDIDIKAN
Penyederhanaan Kurikulum
Ada wacana merombak kurikulum secara total. Sangat bisa dipahami munculnya wacana itu mengingat betapa saratnya beban belajar siswa dan juga betapa rumitnya bagi guru melaksanakan kurikulum yang sedang berlaku saat ini.
Oleh SUYANTO
Presiden Asosiasi Guru Sejarah Indonesia Sumardiansyah Perdana Kusuma mengusulkan perumusan ulang metode pemelajaran sejarah di SMK agar sesuai dengan standar kurikulum nasional sekaligus kebutuhan bidang vokasi siswa dalam seminar “Quo Vadis Pelajaran Sejarah Indonesia di SMK?” di Universitas Negeri Jakarta, Selasa (24/9/2019).
Ada wacana untuk melakukan perombakan kurikulum secara total. Sangat bisa dipahami munculnya wacana itu mengingat betapa saratnya beban belajar para siswa dan juga betapa rumitnya bagi guru untuk melaksanakan kurikulum yang sedang berlaku saat ini.
Tidak itu saja alasan merombak total Kurikulum 2013. Tentu yang paling fundamental adalah relevansinya dengan era Revolusi Industri 4.0 yang mengharuskan semua siswa memiliki kecerdasan abad ke-21, seperti kreativitas, pemikiran kritis, komunikasi yang efektif, kolaborasi produktif, fleksibilitas kognitif, pemecahan masalah yang kompleks plus karakter yang kuat dan mulia. Pertanyaannya bisakah kurikulum dirombak secara total? Tentu bisa. Kenapa tidak?
Namun, merombak kurikulum secara total harus hati-hati karena perombakan kurikulum secara total membawa implikasi dan ikutan yang sangat rumit pada tataran implementasinya. Perombakan kurikulum secara total memerlukan waktu yang panjang, harus serial bersiklus, bukan paralel tersegmentasi. Perombakan total kurikulum memerlukan tahapan demi tahapan agar kurikulum baru lebih baik daripada yang dirombak.
Oleh karena itu, kegiatan itu memerlukan waktu paling tidak lima tahun sebagaimana juga dilakukan oleh negara-negara maju dengan tahapan-tahapan paling tidak meliputi evaluasi kurikulum yang sedang berlaku, merencanakan perubahan, menyusun isi dan struktur, uji coba, menelaah umpan balik, perbaikan draf awal, sosialisasi, implementasi terbatas, baru implementasi secara menyeluruh secara nasional.
KOMPAS/IWAN SETIYAWAN (SET)
Pelatihan Kurikulum 2013 Untuk Guru – Guru pendamping mendiskusikan buku pelajaran untuk kelas 1 SD saat pelatihan guru sasaran di Lembaga Penjamin Mutu Pendidikan DKI Jakarta di kawasan Tanjung Barat, Jakarta Selatan, Kamis (11/7/2013). Pelatihan ini merupakan persiapan implementasi kurikulum 2013 untuk tahun ajaran baru nanti.
Perombakan kurikulum secara total memerlukan waktu yang panjang, harus serial bersiklus, bukan paralel tersegmentasi. Perombakan total kurikulum memerlukan tahapan demi tahapan agar kurikulum baru lebih baik daripada yang dirombak.
Terlebih lagi dalam ekologi pendidikan kita ini di samping masif juga belum semua pemangku kepentingan (stakeholder) memiliki kultur perubahan, mampu bertindak sebagai inovator bidang pendidikan dengan cepat dan otonom sehingga hampir setiap perubahan memerlukan proses sosialisasi yang lebih intensif. Jangan mengulang pengalaman pahit pengembangan Kurikulum 2013 yang dilakukan secara paralel tersegmentasi terhadap semua tahapan dan penyiapan perangkat kurikulum sehingga terjadi ketidakpastian dalam perencanaan dan implementasinya.
Narasi penulis ini bukan bermaksud menakut-nakuti, melainkan hanya ingin mengajak berpikir jernih berbasis teori dan praksis terhadap dampak dan ikutan yang akan dan pasti terjadi ketika kita akan merombak kurikulum secara total. Bersyukur Mendikbud Nadiem Makarim telah menyampaikan bahwa kurikulum kita akan hanya disederhanakan. Artinya, tidak jadi dirombak secara total. Lalu pertanyaannya haramkah menyederhanakan kurikulum? Jawab singkatnya tentu tidak dan bahkan harus dilakukan agar pendidikan kita tetap relevan dengan tantangan zaman.
Prinsip penyederhanaan
Tujuan utama menyederhanakan kurikulum adalah untuk membuat pendidikan lebih relevan sehingga kompetensi lulusan semua satuan pendidikan sesuai dengan tuntutan zaman, kini dan mendatang. Kita mempersiapkan para siswa untuk kehidupan masa depan, bukan kehidupan masa lampau. Oleh karena itu, penyederhanaan kurikulum harus berorientasi dan bervisi masa depan yang semakin disruptif di semua lini kehidupan.
Nadiem berencana akan memperkuat kompetensi lulusan siswa supaya relevan dengan tuntutan Revolusi Industri 4.0 dengan memasukkan mata pelajaran baru: Coding, Statistik, Psikologi, dan memperkuat pelajaran lama yang sudah ada Bahasa Inggris. Bahkan, Bahasa Inggris diminta supaya diberikan sejak sekolah dasar, kalau penulis tidak salah tangkap. Memasukkan mata pelajaran baru itu ke dalam kurikulum yang disederhanakan sangat mudah jika kita berpikir kurikulum hanya sebagai produk dan dokumen semata, tidak berpikir kurikulum sebagai proses, program dan praksis pendidikan dan pemelajaran.
KOMPAS/RADITYA HELABUMI (RAD)
Ujian Akhir Semester – Siswa mengerjakan soal ujian tema dua saat mengikuti ujian akhir semester di SDN Duri Kosambi 11, Jakarta Barat, Rabu (3/12). Para guru masih kesulitan memberikan nilai untuk siswa berdasarkan penerapan kurikulum 2013. Kompas/Raditya Helabumi (RAD) 03-12-2014
Cara berpikir pertama cukup dengan tindakan pangkas mata pelajaran yang lama yang dianggap tidak perlu lalu ganti dengan yang baru. Sangat mudah bukan. Akan tetapi, cara berpikir yang kedua memerlukan kajian yang komprehensif agar mata pelajaran baru itu tidak saja menjanjikan kompetensi masa depan yang benar-benar relevan, tetapi kita juga harus berencana bagaimana semua mata pelajaran yang dimasukkan bisa dilaksanakan di sekolah-sekolah secara efektif dan berdaya guna bagi siswa.
Narasi penulis ini bukan bermaksud menakut-nakuti, melainkan hanya ingin mengajak berpikir jernih berbasis teori dan praksis terhadap dampak dan ikutan yang akan dan pasti terjadi ketika kita akan merombak kurikulum secara total.
Untuk keperluan itu mungkin kita perlu mempertimbangkan resep Ralph Tyler dalam mengembangkan kurikulum untuk pemelajaran. Ada empat pesan substantif dalam bentuk pertanyaan yang harus dijawab, yaitu (1) apa tujuan pendidikan yang sekolah harus memiliki dan mencapainya?, (2) pengalaman belajar apa saja yang harus dipilih untuk mencapai tujuan pendidikan di sekolah itu?, (3) bagaimana pengalaman belajar itu harus diorganisasikan (dikemas) untuk mencapai tujuan pendidikan yang telah ditetapkan?, dan (4) teknik evaluasi dan penilaian (assessment) seperti apa yang dapat digunakan untuk mengetahui keberhasilan pemelajaran dalam mencapai tujuan?
Narasi penulis ini bukan bermaksud menakut-nakuti, melainkan hanya ingin mengajak berpikir jernih berbasis teori dan praksis terhadap dampak dan ikutan yang akan dan pasti terjadi ketika kita akan merombak kurikulum secara total.
Ketika kita harus menjawab pertanyaan itu, persoalan SDM pendidikan kita (guru) sangat penting peranannya. John Goodlad dalam bukunya Looking Behind the Classroom Door mengatakan ketika kelas sekolah telah ditutup pintunya oleh guru, keberhasilan proses pemelajaran di kelas dalam mencapai tujuannya akan ditentukan oleh guru. Oleh karena itu, ketika kurikulum kita nanti disederhanakan, guru harus siap dan disiapkan untuk melaksanakan dengan profesional.
Adopsi inovasi
Bahasa Nadiem, penyederhanaan kurikulum. Namun, dari segi perencanaan dan implementasi, ungkapan itu sebenarnya merupakan inovasi. Oleh karena itu, suka tidak suka apa yang akan dilakukan akan berhadapan dengan karakter guru yang akan melaksanakannya.
Menurut teori difusi inovasi Rogers, tidak semua orang siap menerima dan mengadopsi inovasi. Yang siap benar dan langsung mengadopsi hanya 2,5 persen. Kelompok ini disebut inovator. Kemudian yang mengadopsi pada kesempatan pertama 13,5 persen, disebut early adaptors. Kelompok berikutnya sebanyak 34 persen adalah orang-orang yang menunggu bukti hebatnya sebuah inovasi, baru mau mengadopsinya, disebut early majority. Kemudian disusul kelompok late majority sebanyak 34 persen. Kelompok ini terdiri dari orang-orang yang skeptis terhadap perubahan. Mereka baru mau mengadopsi inovasi ketika mayoritas orang lain telah melakukannya. Akhirnya, dalam sebuah inovasi akan dijumpai kelompok yang susah diajak berubah, sangat konservatif, sebanyak 16 persen, yang kemudian disebutnya dengan laggards.
Akhirnya, dalam sebuah inovasi akan dijumpai kelompok yang susah diajak berubah, sangat konservatif, sebanyak 16 persen, yang kemudian disebutnya dengan laggards.
Dalam implementasi penyederhanaan kurikulum nanti, guru dan tenaga kependidikan kita juga kurang lebih memiliki karakteristik, seperti teori difusi inovasi itu. Apalagi ketika mereka bertanya mengenai sertifikat pendidik untuk mata pelajaran baru, akan ada bahaya mereka masuk ke kelompok laggards atau late majority. Mengapa begitu? Karena terkait dengan pengakuan beban mengajar oleh UU Guru dan Dosen yang mengharuskan minimum beban mengajar 24 jam/minggu sesuai sertifikasinya.
Ketika mereka mengajar tanpa legitimasi sertifikat profesi, jam mengajar mereka tidak diakui untuk mendapatkan tunjangan profesi. Solusinya perlu diterbitkan peraturan menteri mengenai ekuivalensi beban mengajar agar guru-guru mau mengajar mata pelajaran baru di mana mereka belum memiliki sertifikat pendidik sebagai guru mata pelajaran. Solusi lainnya bisa juga aspek legal ini dijadikan sebagai agenda untuk dimasukkan ke dalam materi pembentukan omnibus law yang akan dibuat oleh pemerintah untuk menghindari tumpang tindihnya aturan.
Di samping itu, tentu Nadiem akan menggunakan teknologi digital untuk mempercepat proses sosialisasi, edukasi, dan afirmasi bagi implementasi penyederhanaan kurikulum.
(Suyanto, Guru Besar Universitas Negeri Yogyakarta; Dirjen Mandikdasmen Kemdiknas 2005-2013; Anggota Badan Standar Nasional Pendidikan 2019-2023)
|