Isi Artikel |
Kualitas Guru
Menyuruh Guru Bermutu
Mengacu kepada Paulo Freire (Pedagogy of Opressed, 1985) dalam pendidikan yang dialogis relasi guru-murid diposisikan sebagai hubungan subyek-subyek. Sementara obyeknya adalah realitas sebagai masalah.
Oleh Mohammad Abduhzen
Pidato Mendikbud Nadiem Makarim yang singkat padat menyambut Hari Guru Nasional, 25 November 2019, menarik perhatian masyarakat, khususnya para pemangku kepentingan pendidikan.
Setelah menyebut beberapa kendala yang dihadapi guru, Nadiem mengajak para guru melakukan perubahan untuk mewujudkan kemerdekaan belajar. Guru diminta mengambil langkah pertama dan jangan menunggu perintah. Berbagai tanggapan masyarakat bermunculan baik yang optimistis, pesimistis, maupun sinis terhadap pidato Nadiem.
Kesan sinis datang dari Ketua Umum Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Unifah Rosyidi. Menurut Unifah, pidato itu bukan sesuatu yang baru karena PGRI telah berulang kali menyampaikan hal-hal yang disampaikan Mendikbud.
“Jadi mau ngomong apapun, Pak Presiden saja sudah ngomong berkali-kali. Yang kita tunggu setelah berbicara ini Pak Nadiem turun membedah, baru itu punya makna. Selama itu tidak turun membedah, itu tidak akan ada maknanya,” kata Unifah, dikutip media.
Sikap PGRI sangat dapat dipahami karena berpuluh tahun berbagai kebijakan pendidikan di Tanah Air, baik normatif apalagi sekadar artikulatif, belum berdampak pada perubahan kinerja guru secara substantif-kualitatif. UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) yang menyebutkan anggaran pendidikan minimal 20 persen dari APBN dan APBD selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan dianulir oleh Mahkamah Konstitusi.
Setelah menyebut beberapa kendala yang dihadapi guru, Nadiem mengajak para guru melakukan perubahan untuk mewujudkan kemerdekaan belajar.
Padahal, frasa “selain gaji pendidik” sengaja dicantumkan agar teralokasi dana untuk peningkatan mutu. UU No 14/2005 tentang Guru dan Dosen (UU GD) menetapkan profesionalisme guru berdasarkan empat kompetensi dan sertifikasi yang diperoleh melalui pendidikan profesi guru (PPG).
Pada praktiknya, sertifikat pendidik diberikan hanya berdasarkan penilaian berkas portofolio yang tak berimplikasi pada mutu. Kemudian guru diuji-uji, lalu sesudahnya diarahkan belajar mandiri secara online dalam program pendidikan keprofesian berkelanjutan (PKB). Begitulah upaya meningkatkan kinerja dan mutu guru yang telah dilakukan, guru sekadar diminta dan disuruh bermutu.
Namun, jangankan hanya disuruh bermutu, diberi uang pun faktanya guru tidak menjadi bermutu. Tunjangan profesi yang besarannya satu kali gaji pokok yang seyogianya selain sebagai upaya menyejahterakan kehidupan, juga dimaksudkan sebagai stimulasi peningkatan kinerja guru. Namun dari berbagai hasil penelitian, di antaranya Bank Dunia, program sertifikasi di Indonesia yang menghabiskan triliunan rupiah hanya menaikkan tingkat pendapatan guru dan membuat profesi guru secara signifikan lebih menarik.
Intervensi kualitatif
Perbedaan antara desain dan implementasi program juga telah membatasi dampak sertikasi terhadap perbaikan kualitas guru yang sangat dibutuhkan (Bank Dunia, 2012). Inilah pula yang belakangan sering dikeluhkan oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati: anggaran besar yang telah digelontorkan pemerintah untuk pendidikan masih belum signifikan tingkatkan mutu SDM.
“Kita sudah 10 tahun menganggarkan 20 persen untuk pendidikan, tapi output-nya tidak bagus, tidak sememuaskan sebagaimana kita harapkan,” kata Menkeu dalam seminar bertajuk “Transformasi Ekonomi untuk Indonesia Maju”.
Menkeu mengatakan skor Programme for International Student Assesment (PISA) siswa Indonesia masih kalah dibanding Vietnam yang menganggarkan dana pendidikan kurang lebih sama. Seperti nasib manusia pada umumnya, kualitas guru tak akan berubah jika kita tidak mengubahnya. Untuk mengubah kualitas guru diperlukan berbagai upaya nyata atau intervensi rasional, efektif, dan langsung menyentuh faktor mutu.
Pertama, peningkatan mutu guru dalam jabatan dapat dilakukan terutama melalui pelatihan sebagai titik mulai (starting point) perubahan. Mengacu ide Mendikbud tentang guru yang mampu mewujudkan kemerdekaan belajar dan guru penggerak, maka yang diperlukan adalah pelatihan yang “membebaskan” dan sekaligus memotivasi agar para guru jadi lebih fleksibel dan lebih aktif.
Pelatihan ini penting karena selain memperjelas arah dan cara melakukan perubahan yang diinginkan, problem terbesar guru kita adalah rendahnya motivasi. Pelatihan ini harus dirancang berbeda dengan kebanyakan pelatihan selama ini yang lebih bersifat penataran dan sosialisasi daripada upaya mengubah pola pikir (mindset) dan performa guru.
Mengacu ide Mendikbud tentang guru yang mampu mewujudkan kemerdekaan belajar dan guru penggerak, maka yang diperlukan adalah pelatihan yang “membebaskan” dan sekaligus memotivasi agar para guru jadi lebih fleksibel dan lebih aktif.
Para peserta pelatihan ini nantinya dijadikan influencer perubahan atau menurut teori David McClelland penyebar virus N-Ach (need of achievement). Oleh sebab itu, agar efektif pelatihan harus didasarkan pada asumsi-asumsi teoretis tentang pembelajaran orang dewasa (adult learning) dan dijalankan dengan pendekatan dan metode “belajar dari pengalaman” (experiencial learning).
Sesuai dengan tuntutan UU GD tentang kompetensi guru, tepatnya pelatihan ini dikemas sebagai pelatihan peningkatan kompetensi kepribadian dan kompetensi sosial guru yang dibiayai oleh pemerintah daerah. Pemda harus disadarkan dan ditetapkan tanggung jawabnya terhadap pengalokasian anggaran untuk meningkatkan mutu pendidikan melalui peningkatan mutu guru.
Kedua, redesain Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) dan PPG. LPTK dan PPG yang mendidik calon guru harus dibenahi baik institusi, konten/kurikulum, dan pendekatan pembelajarannya. Perlu dikaji kemungkinan merger LPTK dengan PPG sehingga masa persiapan seseorang untuk jadi guru melalui jalur konkuren (terintegrasi) lebih pendek, misalnya maksimal 4 tahun (2,5 tahun teori/praktikum dan 1,5 tahun praktik magang).
Sementara untuk calon guru dari S1/D4 yang non kependidikan atau jalur konsekutif perlu menjalani masa PPG selama 2,5 tahun, terdiri dari matrikulasi teori kependidikan satu tahun dan sisanya praktik/magang. Dengan demikian PPG diposisikan seperti model pendidikan kepaniteraan (coass) pada pendidikan kedokteran.
Ketiga, pembaruan kurikulum, pendekatan, dan metode pendidikan guru dan calon guru. Ide Mendikbud tentang guru yang mewujudkan “kemerdekaan belajar” dan “guru penggerak“ perlu diberikan definisi operasional yang lebih jelas sehingga bisa jadi pedoman dalam memperbarui profil guru yang diinginkan.
Sebaiknya, ide Mendikbud itu dibahasakan sesuai UU Sisdiknas Pasal 40 Ayat (2a) yaitu “Guru Dialogis.” Guru dialogis adalah guru yang secara praksis mampu menciptakan suasana dan proses pembelajaran yang memungkinkan murid mengembangkan potensi dirinya.
Mengacu kepada Paulo Freire (Pedagogy of Opressed, 1985) dalam pendidikan yang dialogis relasi guru-murid diposisikan sebagai hubungan subyek-subyek. Sementara obyeknya adalah realitas sebagai masalah. Maka guru dan murid terlibat dalam proses pemelajaran bersama secara dialogis menghadapi masalah yang oleh Freire disebut sebagai model “Pendidikan hadap Masalah” (problem posing education).
Dalam bidang kedokteran model pembelajaran seperti ini dikembangkan Barrows di Sekolah Kedokteran McMaster University di Hamilton , Ontario, Kanada, 1960-an. Di Indonesia, sebagian fakultas kedokteran masih/pernah—bahkan dikembangkan di bidang pendidikan lain—menerapkan pemelajaran seperti ini, yang disebut pembelajaran berbasis masalah/PBM (problem based learning/PBL).
Mengacu kepada Paulo Freire (Pedagogy of Opressed, 1985) dalam pendidikan yang dialogis relasi guru-murid diposisikan sebagai hubungan subyek-subyek.
Pemelajaran dialogis mengutamakan keterlibatan aksi dan refleksi sebagai antitesis pembelajaran model “banking” yang pada praktiknya “antidialog” sehingga lebih pada mengisi pikiran dan kurang mengajarkan berpikir. Praktik pemelajaran seperti ini yang diterapkan dalam kebanyakan sekolah kita selama ini, alhasil melemahkan kemampuan bernalar yang tercermin dalam berbagai hasil capaian kita dalam PISA.
Pemelajaran dialogis mensyaratkan adanya “rasa merdeka” baik pada guru maupun pada murid. Selain melalui pelatihan di atas, untuk menghadirkan rasa merdeka, perlakuan para aparatur/birokrat yang menaungi pendidikan juga perlu diubah.
Harus diakui, selain berbagai regulasi yang membelenggu guru, sikap pongah, korup, dan mengada-ada dari kebanyakan pejabat dan pegawai pada institusi pengelola pendidikan turut memperbodoh dan membirokratisasi mentalitas guru. Guru pun lebih berlagak birokrat dengan seragam dinas bak demang kolonial ketimbang seorang pendidik dengan pembawaan teduh.
Keempat, membangun sekolah laboratorium (labschool) sebagai sekolah acuan. Seperti dalam pendidikan kedokteran, para sarjana kedokteran belajar praktik kedokteran di rumah sakit pendidikan di bawah bimbingan para konsulen.
Mereka belajar bagaimana prosedur menangani pasien secara benar berdasar teori, pengalaman, dan praktik. Dalam pendidikan calon guru di LPTK maupun PPG, setelah mendapatkan pelatihan dalam “micro teaching” di kampus, mereka harus belajar praktik guru profesional di labschool.
Masalahnya, beberapa labschool yang dimiliki LPTK sekarang ini yang seyogianya menjadi “sekolah pendidikan” calon guru “pembebas” dan “penggerak”, tak berbeda dengan sekolah lain, sehingga dari tahun ke tahun hanya menghasilkan guru-guru konvensional.
Jika kita ingin menghasilkan guru generasi baru, performa guru yang diinginkan harus mulai diperbarui dari praktik di labschool. Masyarakat tentu mengharapkan dan memberikan kepercayaan kepada guru untuk mau dan dapat mengembangkan pola pemelajaran terbaik masing-masing.
Namun, pemerintah (Kemdikbud) setelah memberikan otonomi yang lebih besar, melakukan deregulasi dan debirokratisasi, diharapkan pula tidak berhenti pada menyuruh guru, tetapi melakukan berbagai upaya yang menyebabkan guru jadi bermutu.
(Mohammad Abduhzen Advisor Paramadina Institute for Education Reform, Universitas Paramadina)
|