Isi Artikel |
Apabila borok Jiwasraya sudah ada sejak lama, apakah selama ini terjadi pembiaraan atau tak ada kepemimpinan di tingkat manapun, yang berani bersikap, terbuka, merembukkan solusi terbaik di saat masalah belum kian buruk.
Oleh JUNAEDY GANIE
Bisnis asuransi adalah bisnis kepercayaan yang produknya masih harus dijual, ditawarkan melalui berbagai strategi dengan perjuangan berat. Belum didatangi pembeli. Perusahaan asuransi harus berjuang keras memperoleh kepercayaan masyarakat atas kemampuannya memenuhi janji di masa depan, yaitu ketika klaim diajukan. Di sinilah, faktor modal, reputasi, produk dan kualitas layanan, kompetensi manajemen, pengawasan internal dan eksternal, teknologi, serta SDM berperan sangat besar.
Didirikan pada 1859 bernama NILLMIJ, Nederlandsch Indiesche Levensverzekering en Liffrente Maatchappij van 1859 menjadikan Jiwasraya perusahaan asuransi tertua di Indonesia. Sebagai BUMN, Jiwasraya menikmati sejumlah privilese yang tak dimiliki pesaing non BUMN, antara lain tingginya kepercayaan dari BUMN lain untuk melakukan sinergi penempatan asuransi dengan Jiwasraya. Modal, bukan soal sebab di mata masyarakat luas, kedudukan sebagai BUMN memberikan jaminan pemerintah: tak akan pernah bangkrut!
Banyak faktor daya saing tadi bukan beban bagi Jiwasraya dalam persaingan. Terbukti, pembeli polis Jiwasraya melalui tujuh bank termasuk bank BUMN dan bank-bank asing yang memercayakan keamanan dana mereka per Desember 2019 mencapai 17.000 pemegang polis dari 7 juta nasabah Jiwasraya, termasuk 470 warga Korea Selatan.
Namun, BUMN ini telah menimbulkan nestapa kepada para nasabah yang ditunggak klaimnya, yang mencapai Rp 802 miliar per Oktober 2018 dan Rp 12,4 triliun per Desember 2019. Menurut Jaksa Agung ST Burhanuddin, kerugian negara mencapai Rp 13,7 triliun per September 2019, dan bahkan sebenarnya lebih besar lagi. Rekor tersendiri.
Sebagai BUMN, Jiwasraya menikmati sejumlah privilese yang tak dimiliki pesaing non BUMN, antara lain tingginya kepercayaan dari BUMN lain untuk melakukan sinergi penempatan asuransi dengan Jiwasraya.
Dalam 10-15 tahun terakhir, industri asuransi jiwa mengalami pertumbuhan fenomenal, bahkan sempat bertahun-tahun tumbuh dua digit, terutama didukung saluran bancassurance dan sejumlah produk yang mengandung komponen investasi, bukan polis proteksi umumnya.
Pertumbuhan yang tinggi, peningkatan kemakmuran agen-agen asuransi seiring meningkatnya minat masyarakat membeli asuransi membuat profesi agen asuransi berhasil menarik berbagai lapisan masyarakat. Potensi bisnis asuransi jiwa yang sangat menjanjikan di Indonesia membuat investor dari berbagai negara berlomba-lomba membawa dana besar memasuki sektor asuransi Indonesia.
Perusahaan asuransi jiwa, seperti tak ada matinya dan selalu cepat bangkit kembali dari dampak penurunan mengekor gejolak ekonomi. Lalu, apa yang terjadi dengan Jiwasraya yang perusahaan dan direksinya bertabur penghargaan? Keberhasilan Jiwasraya menjual polis JS Saving Plan sempat membuat pesaing kelabakan dan mungkin menyimpulkan adanya strategi yang hanya Jiwasraya sebagai BUMN yang dapat melakukannya!
Seperti selimut pelindung yang hanya BUMN beruntung memiliki. Menoleh ke belakang, sebagai orang yang ketika memimpin transformasi korporasi menyeluruh di sebuah perusahaan asuransi jiwa anak BUMN, menghentikan penjualan baru atas 38 produk, terutama yang beri jaminan keuntungan tinggi, sebagai antisipasi atas ketakpastian dan tren penurunan suku bunga global, terkuaknya kegagalan Jiwasraya membayar klaim jatuh tempo Rp 802 miliar pada Oktober 2018, memberikan jawaban. Menyedihkan nasib Jiwasraya yang konon nilai ekuitasnya negatif Rp 2,92 triliun kuartal III-2019, menyusul kegagalan Asuransi Jiwa Bumiputera 1912, pelopor asuransi jiwa anak bangsa.
Akuntabilitas kepemimpinan dan pengawasan
Sementara menunggu langkah otoritas terkait nasib klaim nasabah dan masa depan Jiwasraya, mudah-mudahan pemikiran dari penulis yang lebih dari 30 tahun mendalami bidang perasuransian, dapat menjadi masukan bagi semua pemangku kepentingan.
Pertama, seleksi jajaran manajemen BUMN. Seringnya gonta-ganti kepemimpinan BUMN terutama BUMN besar, baik saat di bawah menteri BUMN yang sama maupun setelah terjadi penggantian menteri, menimbulkan tanda tanya, selain soal kesinambungan strategi korporasi, apakah seleksi telah dilakukan secara benar? Apakah kesuksesan usaha saja tak cukup, apakah kesalahan, kegagalan menyingkirkan? Adakah peran tekanan politik atas seleksi dan kebijakan dan pengelolaan usaha. Tanpa mengecilkan arti keberhasilan kepemimpinan beberapa BUMN.
Kedua, efektivitas peran dewan komisaris yang bertugas memberi nasihat dan mengawasi pengelolaan oleh direksi sangat tergantung latar belakang dan adanya kompetensi yang saling melengkapi di antara dewan komisaris.
Jika didominasi penunjukan yang bersifat politis semata, perannya sulit berjalan baik. Peran dewan komisaris yang adakalanya jadi “pengetuk pintu” hubungan dengan pihak ketiga mungkin tetap diperlukan, namun kesesuaian atas kebutuhan perseroan dan keseimbangan fungsi adalah keniscayaan.
Seringnya gonta-ganti kepemimpinan BUMN terutama BUMN besar, baik saat di bawah menteri BUMN yang sama maupun setelah terjadi penggantian menteri, menimbulkan tanda tanya, selain soal kesinambungan strategi korporasi, apakah seleksi telah dilakukan secara benar?
Tanpa kombinasi itu, rapat direksi dan dewan komisaris dapat menjadi formalitas semata. Dalam kasus Garuda, apa yang akan terjadi pada pembukuan labanya dan bonus pengurus jika dua anggota dewan komisaris tidak menolak laporan keuangan perseroan tahun buku 2018. Bagaimana pula akuntabilitas penurunan laba Jiwasraya tahun 2017 yang dari 2.4 triliun turun drastis menjadi Rp 360 miliar?
Ketiga, komite perangkat direksi dan perangkat dewan komisaris yang berfungsi. Dalam kasus Jiwasraya, patut dipertanyakan apakah tiga komite direksi, yaitu Produk, Investasi dan Risiko, telah berperan efektif. Demikian juga halnya peran tiga komite perangkat dewan komisaris, yaitu Audit, Pemantau Risiko dan Komite Remunerasi & Nominasi, termasuk pendekatan six eyes dengan adanya anggota komite qualified dari eksternal.
Keempat, pertemuan antara kebutuhan pelaku usaha, konsumen dengan peran regulasi dan peran pengawasan Otoritas Jasa Keuangan dengan tujuan sama, yaitu kemajuan usaha, keseimbangan kepentingan bagi semua pelaku usaha terkait, akuntabilitas direksi, dewan komisaris dan komite pendukungnya, akuntabilitas lembaga pendukung termasuk aktuaris dan Kantor Akuntan Publik, perlindungan konsumen, jaminan keandalan produk, kecukupan cadangan, ketegasan sanksi atas keterlambatan atau gagal bayar, dan kepentingan nasional.
Adalah penting memastikan kompetensi, pengalaman dan kelengkapan infrastruktur SDM otoritas terkait tak kalah dengan kemampuan pelaku industri yang diawasi. Peran DPR yang dari waktu ke waktu memanggil pengurus BUMN, interaksi langsung Kementerian BUMN dan peran pengawasan oleh pemegang saham, keberadaan BPKP dan BPK, sebenarnya membuat infrastruktur pengawasan BUMN telah berlapis.
Dalam kasus Jiwasraya, patut dipertanyakan apakah tiga komite direksi, yaitu Produk, Investasi dan Risiko, telah berperan efektif.
Pembiaran?
Kelima, apabila borok Jiwasraya sebenarnya sudah ada sejak lama, apakah selama ini terjadi pembiaraan atau tak ada kepemimpinan di tingkat manapun, yang berani bersikap, membuka permasalahan yang ada, merembukkan solusi terbaik yang tersedia ketika masalah masih belum sebesar sekarang? Akan lebih celaka lagi apabila, solusi yang dipilih justru mengandung risiko yang lebih besar yang di mata ahli hanya akan menjadi bom waktu yang akan memperbesar petaka. Bagaimana kegagalan dalam rangkaian proses perencanaan, pengelolaan, rencana usaha dan pengawasan atau sejak dari desain produk sampai ke pengawasan akhir terjadi?
Keenam, tindakan nyata lahir dari kemauan politik yang kuat untuk mengharmonisasi perbedaaan ketentuan antara UU BUMN dan UU Kekayaan Negara tentang status penyertaan modal dari kekayaan negara, kapan dianggap sebagai tindak pidana dan murni strategi korporasi yang prudent berdasar standar, kondisi dan nilai-nilai saat keputusan korporasi diambil. Tanpa kepastian, pengurus BUMN akan tetap dihantui risiko merugikan kekayaan negara yang timbul dari tindakan kebijakan korporasi atau, sebaliknya, terjadi kerugian negara tanpa pertanggungjawaban.
Langkah pemerintah menangani kasus BUMN ini akan memengaruhi kepercayaan masyarakat atas jaminan asuransi secara umum dan tanggung jawab pemerintah sebagai pemegang saham. Masyarakat Indonesia telah dewasa dan mampu memilah bahwa kegagalan Jiwasraya tak serta-merta mencerminkan risiko kegagalan pada sektor asuransi jiwa secara umum, namun belum adanya pembentukan Perusahaan Penjamin Polis sebagaimana Lembaga Penjamin Simpanan pada perbankan, dan apapun penyebab gagal bayar Jiwasraya, jelas bukan karena kesalahan nasabah telah memercayakan uang mereka pada Jiwasraya sebagaimana nasabah menyimpan uang di bank BUMN, hak nasabah perlu diutamakan.
Entah apakah ada kelalaian bank penjual dalam memberikan penjelasan ke calon nasabah. Jika pilihannya likuidasi, tentu setelah dipikirkan secara matang. Dalam upaya penyelamatan AJB Bumiputera, bentuknya sebagai Usaha Bersama (Mutual) dapat dianggap sebagai hambatan, Jiwasraya yang bukan sebuah Usaha Bersama mungkin menyembunyikan tantangan tersendiri.
Langkah pemerintah menangani kasus BUMN ini akan memengaruhi kepercayaan masyarakat atas jaminan asuransi secara umum dan tanggung jawab pemerintah sebagai pemegang saham.
Pemberian bunga berjalan sebuah langkah antara yang baik. Akan menarik bentuk tanggung jawab terhadap klaim yang timbul, sekaligus atau bertahap sesuai kemampuan dan pilihan terbaik yang tersedia, termasuk melahirkan Jiwasraya Putera. Jika holding asuransi, apakah sebatas sesama BUMN atau melangkah jauh melibatkan berbagai perusahaan asuransi jiwa, anak BUMN, seperti BNI Life, BRI Life, Axa Mandiri, Inhealth.
Apapun, kini Jiwasraya di tangan kepemimpinan jago-jago merger dan akuisis (M&A) dan Rectructuring yang tentu sangat menghargai efektivitas kepemimpinan, pengawasan dan peraturan. Pemerintah pernah melahirkan Reindo menggantikan IndoRe yang mengalami kesulitan keuangan, sesama perusahaan reasuransi BUMN. Ketika itu tak melibatkan nasabah secara langsung dan perusahaan-perusahaan asuransi yang mereasuransikan kepada IndoRe tak diketahui gagal bayar kepada nasabah akibat non aktifnya IndoRe. Wallahualam.
(Junaedy Ganie Pengamat Kebijakan Publik, Pakar Hukum dam Asuransi, Praktisi Bisnis)
|