Selamat datang di website E-PAPER PERPUSTAKAAN DPRRI.

Koleksi Perpustakaan DPR RI

Judul Pekerjaan Layak 2030
Tanggal 09 Januari 2020
Surat Kabar Kompas
Halaman 1
Kata Kunci
AKD - Komisi IX
Isi Artikel Upaya penurunan angka kemiskinan melalui pemberdayaan tak cukup hanya melalui penciptaan lapangan kerja, tetapi perlu disertai dengan penurunan pekerja rentan. Para pekerja informal bisa memiliki penghasilan yang layak. Oleh RAZALI RITONGA   Badan Pusat Statistik (5/11) mengumumkan bahwa angka pengangguran dalam setahun terakhir mengalami penurunan dari 5,34 persen pada Agustus 2018 menjadi  5,28 persen pada Agustus 2019. Penurunan angka pengangguran itu mengindikasikan bahwa pemerintah cukup berhasil dalam menciptakan lapangan kerja baru. Sayangnya, menurunnya angka pengangguran itu belum disertai dengan penurunan pekerja rentan (vulnerable employment). Menurut  badan PBB (2012), pekerja rentan dikategorikan pada mereka yang bekerja tidak formal, tidak memiliki jaminan sosial, dan berisiko kehilangan pekerjaan ketika ekonomi memburuk. Secara faktual, pekerja rentan itu teridentifikasi pada mereka yang berusaha sendiri, pekerja bebas baik di pertanian dan non-pertanian, serta pekerja keluarga tidak dibayar. Dengan kriteria itu, terekam bahwa pekerja rentan dalam setahun terakhir justru meningkat dari 41,08 persen pada Agustus 2018 menjadi 41,17 persen pada Agustus 2019. Adapun pekerja rentan sebesar 41,08 persen pada Agustus 2018 itu merupakan agregasi dari berusaha sendiri 19,05 persen, pekerja keluarga tidak dibayar 12,21 persen, pekerja bebas di non-pertanian 5,62 persen, dan pekerja bebas di pertanian 4,20 persen.  Sementara itu, pekerja rentan sebesar 41,17 persen pada Agustus 2019 merupakan akumulasi dari berusaha sendiri 20,22 persen, pekerja keluarga tidak dibayar 11,53 persen, pekerja bebas di non-pertanian 5,32 persen, dan pekerja bebas di pertanian 4,10 persen. Masih cukup besarnya pekerja rentan, hal itu sekaligus mengindikasikan bahwa minimal dua dari lima pekerja di Tanah Air minim perlindungan sosial, ketidakpastian dalam berusaha dan bekerja, dan cenderung miskin. Dalam konteks itu, kemiskinan merupakan persoalan paling krusial dari pekerja rentan mengingat pekerja miskin  (working poor) di Indonesia masih lebih tinggi daripada sejumlah negara ASEAN. Masih cukup besarnya pekerja rentan, hal itu sekaligus mengindikasikan bahwa minimal dua dari lima pekerja di Tanah Air minim perlindungan sosial, ketidakpastian dalam berusaha dan bekerja, dan cenderung miskin. Laporan UNDP (Statistical Update, 2018) menyebutkan bahwa pekerja miskin di Tanah Air  (27,6 persen), lebih tinggi dari  Singapura (0,3 persen), Thailand (0,6 persen), Malaysia (1,1 persen), Vietnam (7,8 persen), dan Filipina (18,2 persen). Dalam konteks ini, pekerja miskin dikategorikan kepada mereka yang pendapatannya kurang dari  3,10 dollar AS per hari berdasarkan ukuran paritas daya beli (purchasing power parity/PPP). Secara faktual, hal itu sekaligus mengisyaratkan bahwa ke depan penurunan angka kemiskinan melalui pemberdayaan tidak cukup hanya melalui penciptaan lapangan kerja, tertapi perlu disertai dengan penurunan pekerja rentan. Pekerjaan layak Penurunan pekerja rentan dalam konteks ini amat bersesuaian dengan upaya mewujudkan pekerjaan layak (decent work), seperti tertuang pada goal ke-8 pembangunan berkelanjutan (sustainable development goals/SDGs).  Adapun aspek penting untuk mewujudkan pekerjaan layak, menurut Badan Perburuhan Internasional (ILO), ialah kesempatan kerja produktif dengan upah memadai, keamanan bekerja, proteksi sosial, prospek pengembangan diri, kebebasan beraspirasi, serta turut berpartisipasi  dalam pengambilan keputusan  untuk kehidupan pekerja. Secara faktual, pekerjaan layak mengerucut pada empat aspek, yaitu 1) penghargaan atas hak dasar, 2) kesempatan kerja, 3) perlindungan sosial, dan 4) dialog sosial. Pada aspek penghargaan atas hak dasar  yang terkait dengan upah layak eloknya kini  tengah diupayakan untuk disempurnakan.  Dalam konteks itu, Presiden Joko Widodo telah merestui untuk melakukan revisi terhadap PP Nomor 78 tahun 2015 tentang pengupahan. Namun, domain terhadap revisi PP itu ialah pada pekerjaan formal, yang jumlah pekerja hanya dua perlima (44,28 persen)  dari seluruh tenaga kerja di Tanah Air. Sementara mayoritas sisanya (55,72 persen) bekerja di sektor informal yang upah pekerjanya ditentukan secara bilateral antara pengusaha dan pekerja. Hal ini sekaligus mengisyaratkan perlu upaya pemerintah untuk memperbaiki iklim berusaha dan bekerja agar pekerja sektor informal juga dapat menikmati penghasilan layak. Selanjutnya, pada aspek kesempatan kerja meski telah banyak kemajuan, dengan terus turunnya angka pengangguran, tetapi masih cukup banyak pekerja di Tanah Air yang jam kerjanya di bawah jam kerja normal.  Hasil Sakernas Agustus 2019 menunjukkan sekitar 28,8 persen pekerja  bekerja kurang dari jam kerja normal atau kurang dari 35 jam seminggu. Bagi mereka yang bekerja dengan jam kerja kurang tampaknya perlu peningkatan pengetahuan dan keterampilan agar lebih produktif. Dalam konteks itu, program pemerintah yang kini diselenggarakan untuk meningkatkan keterampilan pencari kerja dengan pendidikan vokasi dan jaminan kartu prakerja sepatutnya juga menyasar pekerja usia muda yang minim keterampilan kerja. Kolaborasi dunia usaha dan pemerintah tampaknya perlu diperkuat untuk secara kontinu meningkatkan kualitas pekerja di Tanah Air. Aspek  terakhir untuk mewujudkan pekerjaan layak ialah dialog sosial, yang bermakna sebagai kebebasan pekerja mengeluarkan pendapat tentang hak dasar dan pengembangan diri. Aspek  terakhir untuk mewujudkan pekerjaan layak ialah dialog sosial, yang bermakna sebagai kebebasan pekerja mengeluarkan pendapat tentang hak dasar dan pengembangan diri. Aspek ini amat berkaitan dengan aspek pertama tentang upah dan aspek ketiga tentang perlindungani sosial.  Diperkirakan, dialog sosial bisa menjadi instrumen efektif guna mengurangi ketidakpuasan buruh yang kerap berujung pada unjuk rasa dan demonstrasi. Bahkan, dialog sosial juga bisa dimanfaatkan untuk mencari masukan guna pengembangan usaha. Momentum untuk mewujudkan pekerjaan layak barang kali bisa diperkuat satu paket dengan pemangkasan regulasi dengan omnibus law, seperti diinginkan Presiden Joko Widodo. Namun, untuk mewujudkan pekerjaan layak pada 2030 sesuai tujuan 8 SDGs, barangkali yang diperlukan bukan pemangkasan, tetapi penyempurnaan regulasi, terutama tentang pelaksanaan dan pengawasan yang berkaitan dengan penghargaan atas hak dasar pekerja, kesempatan kerja, perlindungan sosial, dan dialog sosial. (Razali Ritonga, Pemerhati Fenomena Sosial-Kependudukan. Alumnus Georgetown University, AS)
  Kembali ke sebelumnya