Selamat datang di website E-PAPER PERPUSTAKAAN DPRRI.

Koleksi Perpustakaan DPR RI

Judul Harapan Pengelolaan JKN di 2020
Tanggal 16 Januari 2020
Surat Kabar Kompas
Halaman 6
Kata Kunci
AKD - Komisi IX
Isi Artikel Di 2020 ini Presiden Jokowi akan memilih panitia seleksi (pansel) pemilihan dewan direksi dan dewan pengawas BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan eriode 2021 – 2026. Maka butuh pansel berkualitas dan independen. OlehTIMBOEL SIREGAR   Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) memasuki tahun ketujuh di tahun 2020. Berbagai persoalan akan terus mewarnai pelaksanaan Program JKN, meskipun faktanya telah banyak rakyat Indonesia yang tertolong oleh program ini. Kunjungan ke fasilitas kesehatan (faskes) tingkat pertama di semester pertama 2019 mencapai 158.482.938 kunjungan, pemanfaatan rawat jalan di rumah sakit (RS) mencapai 35.583.094 kunjungan dan untuk rawat inap sebanyak 4.550.849 kunjungan. Di akhir Agustus 2019, JKN membiayai penyakit katastropik sebesar Rp 15,4 triliun. Persoalan utama JKN ada di tiga area yaitu Kepesertaan, Pelayanan dan Ketersediaan Faskes, dan Pembiayaan. Di akhir tahun 2019, polemik yang kerap muncul adalah tentang kenaikan iuran peserta bukan penerima upah atau peserta mandiri yang dilegitimasi oleh Pasal 34 Peraturan Presiden (Perpres) No 75 Tahun 2019. Persoalan utama JKN ada di tiga area yaitu Kepesertaan, Pelayanan dan Ketersediaan Faskes, dan Pembiayaan. Protes penolakan terus disampaikan masyarakat. Komisi IX DPR RI masih fokus menolak kenaikan iuran peserta kelas 3 mandiri, sementara pemerintah masih tetap kukuh dengan Pasal 34 tersebut. Kenaikan iuran tidak dapat dihindari mengingat kondisi defisit pembiayaan JKN yang tiap tahun semakin besar, sementara utilitas JKN terus meningkat dengan semakin meningkatnya kepesertaan JKN. Tercatat per 13 Desember 2019, jumlah peserta JKN sudah mencapai 224.133.671 jiwa, yang didominasi oleh peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI), yaitu peserta rakyat miskin yang iurannya dibayar oleh pemerintah, yang terdiri dari PBI APBN sebanyak 96.536.627 jiwa (43,07 persen) dan PBI APBD sebanyak 38.851.130 jiwa (17,33 persen). Persoalan di tiga area Target Universal Health Coverage (UHC) Kepesertaan di  akhir tahun 2019 dipastikan gagal tercapai. Dari target 95 persen rakyat Indonesia yang seharusnya sudah terdaftar di JKN (atau sekitar 254 juta), ternyata baru tercapai 224.133.671 jiwa. Persoalan UHC Kepesertaan ini pun sulit tercapai di 2020 karena kenaikan iuran peserta mandiri di 2020 dirasakan besar sehingga mendorong masyarakat yang belum mendaftar enggan untuk mendaftarkan dirinya sebagai peserta. Peserta mandiri yang non aktif cenderung akan meningkat dengan adanya kenaikan iuran ini. Per 30 Juni 2019 peserta mandiri yang non aktif mencapai 49 persen dari total 32 juta peserta mandiri. Demikian juga dengan kenaikan iuran PBI menjadi Rp 42.000 per orang per bulan, sudah ada pemerintah daerah yang berencana menurunkan kepesertaan PBI APBD-nya dengan alasan kemampuan APBD. Peserta PBI APBD yang dikeluarkan cenderung sulit menjadi peserta mandiri dengan iuran kelas 3 sekalipun. Dari target 95 persen rakyat Indonesia yang seharusnya sudah terdaftar di JKN (atau sekitar 254 juta), ternyata baru tercapai 224.133.671 jiwa. Mengacu pada UU No 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, kesehatan merupakan urusan pemerintahan konkuren yang wajib dan merupakan pelayanan dasar sehingga pemerintah pusat harus memastikan tidak ada peserta PBI APBD yang dikeluarkan karena alasan kemampuan APBD. Masalah pelayanan dan ketersedian faskes juga terus menjadi masalah. Persoalan yang dialami peserta di RS disebabkan oleh masih rendahnya pengetahuan peserta tentang manfaat dan prosedur JKN, sementara regulasi JKN kerap kali berubah, dan rendahnya akses peserta kepada BPJS Kesehatan. Unit Pengaduan JKN di RS-RS yang menjadi mitra BPJS Kesehatan seharusnya hadir setiap hari guna membantu peserta. Khusus untuk peserta dalam kategori rentan seperti orang lanjut usia, anak-anak, fakir miskin, wanita hamil, dan penyandang cacat, mengacu pada Pasal 5 Ayat (3) UU No 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM), seharusnya pemerintah dan BPJS Kesehatan membuat regulasi dengan perlakuan dan perlindungan lebih berkenaan dengan kekhususannya. Riset Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) di 2019, memaparkan dimensi aksesibilitas peserta JKN ke layanan kesehatan, yaitu, pertama, jarak tempat tinggal ke faskes relatif jauh di mana jarak ke puskesmas berkisar 1 – 4 kilometer dan jarak ke RS pemerintah berkisar 4 -16 kilometer. Kedua, waktu tunggu cenderung panjang berkisar dua jam (di puskesmas) sampai dengan lima jam (di RS pemerintah). Ketiga, biaya non medis seperti biaya transportasi, makan dan lain-lain berkisar Rp 15.000 (kunjungan ke puskesmas) hingga Rp 250.000 (ke RS pemerintah). Tentunya dengan fakta ini peserta JKN dengan kategori rentan akan relatif sulit untuk mengakses pelayanan kesehatan. Tentunya dengan fakta ini peserta JKN dengan kategori rentan akan relatif sulit untuk mengakses pelayanan kesehatan. Kualitas pelayanan kesehatan juga sangat ditentukan oleh jumlah RS yang bekerja sama dengan BPJS Kesehatan. Per 31 Oktober 2019, jumlah RS yang bekerja sama mencapai  2.519 RS dari 2.813 RS yang ada di Indonesia. Tentunya dengan semakin banyaknya RS yang bekerja sama akan semakin banyak ketersediaan ruang perawatan bagi peserta JKN. Mengacu pada Pasal 29 Ayat (1e) dan (1p) UU No 44 Tahun 2009 tentang RS seharusnya seluruh RS swasta pun diwajibkan menjadi mitra BPJS Kesehatan. Tentang pembiayaan JKN, kenaikan iuran di 2020 tidak akan mampu mengatasi defisit di 2020 bila utang ke RS tidak diselesaikan pemerintah di 2019. Utang ke RS di akhir Oktober 2019 sangat besar yaitu utang yang sudah jatuh tempo sebesar Rp 21,16 triliun, utang dalam status outstanding claim Rp 2,76 triliun dan utang akan jatuh tempo Rp 1,71 triliun. Sementara itu, pemasukan iuran tambahan atas kenaikan iuran PBI per 1 Agustus 2019 dan kenaikan batas upah PNS per 1 Oktober 2019 hanya sekitar Rp 14 triliun, sehingga defisit 2019 yang diperkirakan Rp 32 triliun akan terbawa sebesar Rp 18 triliun ke 2020. Utang yang belum terbayarkan ke RS akan mengganggu arus kas RS, dan akhirnya RS akan kembali mengalami persoalan dalam melayani peserta JKN, karena kesulitan untuk membeli obat, alat kesehatan dan membayar tenaga medis dan non medis. Kenaikan iuran harus diikuti perbaikan layanan JKN secara signifikan. Kunci perbaikan layanan JKN ada di regulasi, dukungan dan keserasian kerja seluruh kementerian dan lembaga serta pemangku kepentingan JKN lainnya termasuk direksi BPJS Kesehatan, serta penegakan hukum. Kunci perbaikan layanan JKN ada di regulasi, dukungan dan keserasian kerja seluruh kementerian dan lembaga serta pemangku kepentingan JKN lainnya termasuk direksi BPJS Kesehatan, serta penegakan hukum. Di 2020 ini Presiden Jokowi akan memilih panitia seleksi (pansel) pemilihan dewan direksi dan dewan pengawas BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan untuk periode 2021 – 2026. Pansel yang berkualitas dan independen akan mampu memilih direksi dan dewan pengawas BPJS Kesehatan yang mumpuni ke depan. Persoalan di tiga area tersebut akan tetap ada ke depan, khususnya defisit pembiayaan JKN yang terus membayangi operasionalisasi JKN. Semoga di tahun ketujuh ini JKN mampu dibenahi secara signifikan untuk kesejahteraan rakyat Indonesia. (Timboel Siregar Koordinator Advokasi BPJS Watch dan Sekjen OPSI-KRPI)
  Kembali ke sebelumnya