Isi Artikel |
BPK menyebutkan, akuntansi Jiwasraya tidak dapat diandalkan untuk mendukung kewajiban manfaat. Jiwasraya dihadapkan pada kondisi keuangan yang buruk dan terbelit masalah hukum. Lima orang ditetapkan menjadi tersangka.
Oleh SULTANI
Permasalahan PT Asuransi Jiwasraya (Persero) mulai memasuki babak baru ketika Kejaksaan Agung menahan lima tersangka. Pelan-pelan tabir misteri yang menutupi kasus perusahaan asuransi milik negara ini mulai tersibak.
Kasus Jiwasraya sendiri mencuat setelah salah satu anak usaha BUMN ini mengalami masalah keuangan sehingga tidak mampu membayar klaim jatuh tempo nasabah.
Permasalahan likuiditas PT Asuransi Jiwasraya (Persero) sejatinya sudah terjadi sejak 2006. Pada April 2008, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengeluarkan laporan audit terhadap Jiwasraya untuk laporan keuangan tahun 2006 dan 2007.
BPK berpendapat, akuntansi Jiwasraya tidak dapat diandalkan untuk mendukung kewajiban manfaat polis (cadangan). Penyajian informasi cadangan Jiwasraya tidak dapat diyakini kebenarannya. Pendapat BPK ini didasarkan pada ekuitas Jiwasraya yang tercatat Rp 3,29 triliun pada Desember 2006. Ekuitas ini sendiri dianggap negatif.
Persoalan ekuitas ini lalu menjadi isu utama di Jiwasraya karena nilainya terus membengkak dari tahun ke tahun. Artinya, ekuitas Jiwasraya ini mengalami defisit sangat serius. Tahun 2008, ekuitas Jiwasraya Rp 5,27 triliun dan bertambah menjadi Rp 6,3 triliun pada tahun berikutnya. Hingga November 2018, ekuitas Jiwasraya bertambah drastis menjadi Rp 10,24 triliun. Ekuitas Jiwasraya meningkat dua kali lipat pada kuartal tahun 2019 menjadi Rp 23,92 triliun.
Menghadapi krisis keuangan tersebut, Menteri BUMN saat itu, Sofyan Djalil, sempat meminta bantuan likuiditas kepada Menteri Keuangan Sri Mulyani demi menyelamatkan Jiwasraya. Bantuan yang diminta Djalil berupa pinjaman subordinasi sebesar Rp 6 triliun atau tambahan modal berupa 100 persen Zero Coupon Bond sebesar Rp 6 triliun.
Sri Mulyani menolak pemberian Penyertaan Modal Negara (PMN) kepada Jiwasraya lantaran kondisi keuangannya yang semakin tidak sehat. Defisit ekuitas Jiwasraya pada saat itu (Juli 2009) tercatat Rp 6,3 triliun. Karena itu, Jiwasraya harus diaudit terlebih dahulu oleh auditor independen.
Jiwasraya kemudian melakukan terobosan dengan kebijakan reasuransi dan revaluasi aset yang bisa memberikan efek surplus ekuitas sebesar Rp 800 miliar. Namun, langkah ini mendapat sorotan karena peningkatan tersebut menggambarkan keuntungan yang semu. Konsekuensinya, usulan perpanjangan reasuransi dan revaluasi aset yang diajukan Direksi Jiwasraya pada April 2010 ditolak oleh Kepala Biro Perasuransian pada Mei 2012.
Selain reasuransi, Jiwasraya juga menjalankan bisnis saham untuk memulihkan krisis keuangan yang diderita. Tahun 2011, Jiwasraya mengalokasikan 60 persen bisnis investasinya ke reksa dana. Selain itu, Jiwasraya juga berinvestasi pada deposito, obligasi, saham, dan surat utang negara.
Setahun kemudian, Jiwasraya melebarkan sayap bisnisnya dengan menerbitkan JS Saving Plan dengan bunga 9 persen hingga 13 persen. Seiring dengan langkah bisnis tersebut, pada 2013 Jiwasraya memindahkan sebagian portofolio investasi reksa dananya ke saham.
Merasa tarikan dana dari bisnis keuangan belum memadai, tahun 2014 Jiwasraya menjadi sponsor klub sepak bola Liga Inggris, Manchester City. Dalam kurun waktu dua tahun, Jiwasraya menggelontorkan dana hingga Rp 13,5 miliar.
Sayangnya, semua langkah bisnis yang ditempuh Jiwasraya tidak bisa mendatangkan keuntungan yang bisa menutupi masalah keuangannya.
Semua langkah bisnis yang ditempuh Jiwasraya tidak bisa mendatangkan keuntungan yang bisa menutupi masalah keuangannya.
Tahun 2016, BPK memberikan peringatan gagal bayar pembelian surat utang jangka menengah (medium term note/MTN) milik PT Hanson International Tbk (MYRX) yang mayoritas sahamnya dikuasai Benny Tjokrosaputro. Jiwasraya memborong obligasi MYRX senilai Rp 680 miliar tanpa memperhitungkan aspek legal lantaran tidak tercatat di Bursa Efek Indonesia.
Kegagalan ini kemudian diikuti dengan menyusutnya aset saham Jiwasraya hingga 62,6 persen, dari Rp 6,63 triliun pada Desember 2017 menjadi Rp 2,48 triliun pada September 2019. Selain itu, aset Jiwasraya yang ditempatkan di reksa dana menyusut hingga 65,4 persen, dari Rp 19,17 triliun pada Desember 2017 menjadi Rp 6,64 triliun pada September 2019.
Krisis keuangan yang melanda Jiwasraya secara berturut-turut tersebut membuat perusahaan asuransi pelat merah ini gagal bayar polis JS Saving Plan sebesar Rp 802 miliar. Juni 2019, kasus gagal bayar ini memasuki ranah hukum ketika Kejaksaan Tinggi Jakarta mulai mendalaminya. Enam bulan kemudian, Kejaksaan Agung mengambil alih penanganan kasus ini karena ada indikasi korupsi yang merugikan negara hingga Rp 13,7 triliun. (Sultani/Litbang Kompas)
|