Isi Artikel |
Di tengah gencarnya pemerintah menggaungkan wisata 10 Bali Baru dengan lima destinasi sebagai superprioritasnya, ada desa-desa yang viral dan berpotensi menjadi obyek wisata unggulan.
Oleh BIMA BASKARA
Sejumlah desa di Indonesia, khususnya di Jawa, semakin dikenal sebagai tujuan orang berwisata. Sejauh mana kekuatan desa-desa itu menyokong pariwisata nasional?
Desa wisata, merujuk definisi dari pendataan Statistik Potensi Desa 2018 oleh Badan Pusat Statistik (BPS), adalah sebuah kawasan perdesaan yang memiliki sejumlah karakteristik khusus menjadi daerah tujuan wisata. Pada umumnya, penduduk di kawasan desa wisata memiliki tradisi dan budaya yang khas serta alam dan lingkungan yang masih terjaga.
Publikasi BPS tersebut menunjukkan, ada 1.734 desa yang memiliki potensi wisata di seluruh Indonesia. Lebih kurang separuh desa yang terdata memiliki potensi wisata ada di wilayah Pulau Jawa dan Bali.
Selain memiliki keunggulan potensi wisata, hampir semua desa itu juga berpeluang tumbuh besar dengan dukungan anggaran pemerintah pusat dan organisasi pengelolaan di tingkat lokal.
Hingga 2018, sebanyak 61 persen desa di Indonesia telah memiliki BUMDes. Total ada 45.459 BUMDes tersebar di seluruh Indonesia. Hampir sepertiga dari total BUMDes itu berkembang di Pulau Jawa, khususnya Provinsi Jawa Timur, Jawa Barat, dan Jawa Tengah.
Namun, BUMDes juga tumbuh hingga di provinsi-provinsi tepi wilayah Indonesia, seperti Provinsi Maluku, Maluku Utara, Papua Barat, dan Provinsi Papua, sampai dengan provinsi termuda, yakni Kalimantan Utara. Kehadiran BUMDes telah tersebar merata di 33 provinsi kecuali DKI Jakarta.
Pemerintah, melalui program alokasi dana desa, juga konsisten menggelontorkan anggaran untuk pengembangan desa sejak 2015. Besaran anggaran yang dikucurkan pemerintah pusat juga konsisten meningkat. Pada 2015, pemerintah pusat mengucurkan dana desa senilai Rp 280 juta per desa, meningkat dua kali lipat lebih di tahun berikutnya.
Dalam tiga tahun belakangan, anggaran dana desa konsisten meningkat rata-rata 13 persen per tahun. Alokasi untuk dana desa tahun 2016 berada di kisaran Rp 640 juta per desa, kemudian menjadi Rp 933 juta untuk setiap desa pada tahun lalu.
Jumlah desa penerima dana tersebut konsisten pada kisaran 74.000 desa setiap tahun dalam empat tahun terakhir. Dengan jumlah total 83.931 daerah desa atau setingkat desa yang ada di seluruh Indonesia, artinya sembilan dari 10 desa sudah menerima dana pengembangan desa.
Peluang wisata
Melihat tumbuhnya pengelolaan di tingkat lokal, dukungan dari anggaran pemerintah pusat dan potensi yang dimiliki, desa-desa yang berpotensi menjadi desa wisata idealnya mampu menjadi sumber baru penyokong perekonomian nasional.
Sayang, belum banyak desa yang teridentifikasi memiliki potensi wisata memulai pertumbuhan ke arah sana. Data yang dipublikasikan Direktorat Jenderal Perbendaharaan Kementerian Keuangan RI melalui buku Kisah Sukses Dana Desa: Lilin-lilin Cahaya di Ufuk Fajar Nusantara menggambarkan hal tersebut.
Dalam publikasi tahun 2017 tersebut, hanya ada 37 desa yang teridentifikasi memanfaatkan dana desa untuk pengembangan pariwisata. Sementara publikasi pemberitaan Kompas juga menunjukkan ada dua desa lain yang memperkuat pariwisatanya dengan dukungan dana pemerintah pusat tersebut.
Simak saja dua kisah sukses desa yang berkembang menjadi obyek wisata baru sebagai contohnya. Catatan Badan Usaha Milik Desa Tirta Mandiri Desa Ponggok, tahun 2016 saja angka kunjungan wisatawan ke Umbul Ponggok sudah mencapai hampir lebih dari 495.000 orang.
Dari sisi pengunjung, angka kunjungan wisatawan ke Desa Ponggok saja sudah mencapai lebih dari 11 persen dari total kunjungan wisatawan ke wilayah tetangganya, yakni Provinsi DI Yogyakarta, pada tahun yang sama. Dari sisi perputaran uang, sampai pertengahan 2017 tercatat pendapatan dari wisata Umbul Ponggok mencapai Rp 8,3 miliar. Bahkan, pendapatan dari obyek wisata ini pernah mencapai lebih dari Rp 10 miliar pada tahun sebelumnya.
Contoh sukses lain adalah Desa Wisata Pujon Kidul, Kecamatan Pujon, Kabupaten Malang, Jawa Timur. Salah satu desa wisata di timur Pulau Jawa ini telah resmi menjadi desa wisata sejak 2014, melibatkan beberapa masyarakat dalam bentuk usaha pengembangan desa wisata. Dalam beberapa tahun, terbukti kunjungan wisatawan ke desa wisata ini naik signifikan.
Angka kunjungan wisatawan tahun 2016 tercatat baru 26.133 orang. Tahun 2018 angka kunjungan wisatawan ke Pujon Kidul naik 19 kali lipat menjadi 497.654 orang. Itu artinya, sekitar 7 persen dari total 7,2 juta wisatawan yang berkunjung ke Kabupaten Malang pada 2018 mengunjungi satu desa, yakni Pujon Kidul.
Memperkuat keunggulan
Tentu saja, beragam faktor dapat dikemukakan di balik perkembangan desa wisata. Sejumlah desa wisata masih berproses memetakan atau membangun sarana dan prasarana yang mendukung kekuatan desanya.
Dalam konteks wisata, kekhasan suatu obyek agaknya menjadi sebuah keniscayaan. Philip Kottler (2006), ekonom yang juga maestro pemasaran, menerjemahkan kekhasan obyek wisata sebagai bagian dari keunggulan kompetitif.
Atraksi dan aktivitas yang ada di sebuah obyek wisata merupakan bagian dari keunggulan kompetitif ini. Desa yang telah memulai pembangunan wisatanya sejauh ini berhadapan pada tantangan di kedua sisi tersebut.
Banyak desa wisata yang masih dikembangkan dengan kerangka berpikir lokal. Maka, tidak mengherankan jika produk daya tarik wisata yang dijual hanya sebatas menjadi daya tarik yang terbilang sangat lokal, hanya dikenal dan dikunjungi warga sekitar obyek bersangkutan.
Obyek wisata yang tumbuh semacam ini belum memiliki kekhasan yang cukup kuat menarik wisatawan, baik dari sejumlah daerah di Indonesia maupun menjangkau skala global.
Gambaran yang dipublikasikan Dirjen Perbendaharaan Kementerian Keuangan sebelumnya menjadi cerminan persoalan kekhasan obyek wisata. Sebagian besar obyek wisata yang memanfaatkan dana desa dikembangkan ke arah wisata air. Namun, mendeklarasikan diri sebagai desa yang mempunyai daya tarik wisata air tidaklah cukup karena banyak desa yang menawarkan wisata sejenis.
Lagi-lagi, Desa Ponggok menjadi contoh yang cukup baik untuk menggambarkan kemampuan mengemas kekhasan dari sebuah hal umum. Wisata air dari mata air, boleh jadi banyak ditemukan di daerah lain di Pulau Jawa atau bahkan seluruh Indonesia.
Namun, apa yang dilakukan Umbul Ponggok berbeda. Dengan modal mata air alam, Ponggok mengemas wisatanya dalam kemasan snorkeling dan foto bawah air di kolam air tawar.
Beragam potensi wisata di Pujon Kidul tak hanya dibiarkan menarik apa adanya. Warga juga mengemas wisata ini dalam bentuk aktivitas petik sayur, arena outbound, dan kamping. Pujon Kidul juga menyediakan sarana belajar membuat biogas, mengolah susu, beternak, dan berkuda. Suasana makan pun detail, dikemas menjadi kafe sawah dan kolam ikan.
Jika saja ada 10 desa yang bisa mengembangkan wisata seperti Ponggok dan Pujon Kidul, seberapa besar efisiensi sekaligus potensi yang bisa diraih? Kalkulasi sederhana, untuk membangun lima destinasi wisata prioritas, pemerintah mengucurkan setidaknya Rp 10,1 triliun pada 2020. Seandainya 10 desa wisata mendapatkan anggaran masing-masing Rp 5 miliar untuk lima tahun, maka anggaran yang diperlukan cukup Rp 50 miliar.
Kalkulasi lainnya, anggaran Rp 10 triliun untuk pengembangan destinasi wisata prioritas setara dengan alokasi dana untuk 10.000 desa dengan asumsi setiap desa mendapatkan dana Rp 1 miliar. Jumlah desa yang tersentuh anggaran itu hampir enam kali lipat dari jumlah desa yang terpetakan memiliki potensi wisata.
Tentu saja, perhitungan kasar ini perlu digarisbawahi. Bagaimanapun, pengembangan destinasi wisata prioritas berbeda karena potensi obyek tersebut adalah wisata minat khusus, bukan wisata yang bersifat massal seperti potensi di desa-desa wisata.
Terlepas dari itu, memaksimalkan pengembangan desa wisata sangat layak dipertimbangkan karena besarnya keterlibatan penduduk lokal dalam pengembangannya. Keterlibatan warga dalam pengembangan wisata sekaligus mendukung juga kelestarian lingkungan.
Sisi ini rasanya akan berbeda dengan pengembangan obyek wisata minat khusus yang memerlukan pemodal besar dan bukan tak mungkin menepikan peran masyarakat lokal. Jika benar demikian yang terjadi, mengapa tidak jika pemerintah pun mulai serius mengembangkan 10 ponggok baru? (Litbang Kompas)
|