Isi Artikel |
Orde Reformasi melahirkan oligarki, kelompok elite mapan, dan pasar bebas. Di sisi lain menguat pula politik identitas, fundamentalisme, dan radikalisme serta kelompok intoleran. Kebudayaan belum diurus optimal.
Oleh INDRA TRANGGONO
Haul kesepuluh Abdurrahman Wahid atau Gus Dur pada 28 Desember 2019 melahirkan sepuluh rekomendasi untuk pemerintah terkait peran kebudayaan dalam kehidupan berkonstitusi (berbangsa dan bernegara). Sepuluh rekomendasi itu ingin menjawab problem hak asasi manusia, terpinggirnya masyarakat sebagai aktor kebudayaan, belum maksimalnya peran negara sebagai fasilitator dan regulator kebudayaan, dan ekonomi yang belum menyejahterakan publik.
Sari pati sepuluh rekomendasi itu adalah kebudayaan harus melestarikan kemanusiaan, ekosistem budaya yang partisipatoris, pengelolaan keberagaman, kewajiban negara sebagai fasilitator kebudayaan, strategi kebudayaan dalam paradigma pembangunan, perlindungan dan fasilitas negara untuk aktivitas budaya, praktik keberagaman terkait agama dan budaya, sistem pendidikan yang mengembangkan potensi manusia, kebudayaan yang menumbuhkan daya kritis atas kekuasaan, serta pengetahuan tradisional/kearifan lokal untuk menggali ekonomi yang tidak mengorbankan ekologi.
Mimpi besar bangsa perihal ”kebudayaan sebagai panglima” memang belum terwujud.
Orde Lama lebih memilih politik sebagai panglima. Orde Baru memosisikan politik (represif) dan ekonomi (yang dikontrol negara) jadi panglima. Sementara rezim-rezim era Reformasi memanglimakan politik dan ekonomi liberal.
Orde Lama melahirkan multipartai dan aliran politik/ideologi. Meski sering tabrakan politik antarpartai politik, cita-cita mereka sama: menjadikan Indonesia lebih baik. Selain itu, Orde Lama menghasilkan pembangunan dan karakter bangsa. Kelemahannya adalah tidak berhasil membangun ekonomi.
Orde Baru melahirkan perbaikan ekonomi dan kepatuhan kolektif. Namun, karakter bangsa kurang tumbuh. Orde Reformasi melahirkan multipartai—berakhir dengan sedikit partai milik tokoh-tokoh populer. Juga melahirkan kebebasan pers dan kebebasan berpendapat/berserikat. Rakyat boleh bebas, tetapi harus bisa cari makan sendiri.
Langgam kapital
Orde Reformasi juga melahirkan oligarki, kelompok elite mapan/kaya dan pasar bebas. Di sisi lain menguat pula politik identitas, fundamentalisme, dan radikalisme serta kelompok-kelompok intoleran. Kebudayaan belum diurus secara optimal.
Tak ada negara yang bisa membebaskan diri dari kekuatan ekonomi dan politik global yang berlanggam kapital. Begitu pula Indonesia. Ketergantungan ini menjadikan negara kita lebih sibuk mengurusi ekonomi daripada kebudayaan. Sementara itu, para elite politik dan ekonomi lebih sibuk berkontestasi politik dan berebut peluang jadi penguasa pasar bebas.
Umumnya, para penguasa politik di negeri ini lebih memilih jadi politikus karier daripada politikus berkapasitas budaya (pemikir, ideolog, inisiator pengembangan budaya masyarakat, dan pejuang peradaban). Ketika kaya, mereka tidak mendirikan dan mengaktifkan lembaga-lembaga budaya, tetapi melipatgandakan keuntungan melalui berbagai perusahaan.
Kadar filantropi belum tinggi. Masih melihat uang sebagai kapital ekonomi politik, bukan modal untuk investasi kultural. Belum ada kesadaran bahwa kebudayaan merupakan laboratorium nilai dan penciptaan budaya intagible dan tangible yang sangat penting bagi perkembangan peradaban bangsa.
Politik kebudayaan
Kebudayaan sebagai panglima adalah keniscayaan. Maknanya adalah strategi politik membangun peradaban bangsa melalui jalan kebudayaan, dengan memanfaatkan nilai-nilai (kearifan lokal dan nilai-nilai dari luar), akal budi (pikiran, sikap, gagasan), tradisi, sejarah, nasionalisme, patriotisme, sistem perilaku etis, ekspresi estetis, ekspresi non-estetis, serta karya budaya yang bermuara pada penguatan karakter bangsa.
Di sini, kebudayaan menyifati dinamika politik, ekonomi, sosial, dan budaya bangsa sehingga produknya selalu bernilai dan bermanfaat bagi kehidupan bangsa.
Kehidupan berbangsa dan bernegara kita semakin membutuhkan oksigen budaya, yakni nilai-nilai budaya yang memberi napas untuk membangun peradaban, disangga sistem nilai, gagasan, kemajuan ekonomi, penegakan hukum, dan kualitas karya budaya bangsa, baik tangible maupun intangible. Masyarakat pun mampu mencapai kemajuan dalam kebudayaan dan kesejahteraan sosial-ekonomi.
Sebelum mampu mewujudkan ide-ide besar, dibutuhkan langkah-langkah konkret untuk membangun kehidupan yang berbudaya. Salah satunya menciptakan atau membuka ruang-ruang budaya demi membangun karakter dan harmoni kehidupan bangsa. Untuk itu, dibutuhkan langkah-langkah.
Pertama, politik kebudayaan di tingkat negara, yaitu orientasi nilai bagi negara dalam kebijakan politik yang berpihak pada budaya bangsa dan kepentingan warga negara. Di dalamnya terkandung kewajiban negara untuk melestarikan, melindungi, mengembangkan, dan memanfaatkan kekayaan budaya bangsa demi terwujudnya masyarakat yang berperilaku etis, solider, kreatif, dan mandiri.
Kedua, regulasi yang menjadi payung hukum bagi kehidupan berkebudayaan. Menjamin hak setiap individu dan kelompok mengembangkan budayanya baik budaya dalam arti kreativitas pemikiran dan karya-karya budaya maupun budaya spiritual yang berkaitan dengan agama atau sistem kepercayaan. Tidak ada lagi kelompok dominan menindas kelompok minoritas. Para penegak hukum tegas menindak kelompok intoleran.
Ketiga, membangun kesadaran atas budaya toleran dan kesetaraan melalui literasi atau melek budaya. Bisa dilakukan di sekolah, kampus, kantong-kantong budaya, komunitas keagamaan, karang taruna, dan lainnya.
Literasi budaya mendorong masyarakat untuk paham bahwa hidup bersama orang lain yang berbeda budaya dan keyakinan merupakan takdir sejarah. Dari awal, Negara Kesatuan Republik Indonesia bermodal keragaman suku bangsa dan agama. Memahami perbedaan menumbuhkan empati dan toleransi.
Literasi budaya mendorong masyarakat untuk paham bahwa hidup bersama orang lain yang berbeda budaya dan keyakinan merupakan takdir sejarah.
Keempat, keteladanan dalam toleransi. Tokoh-tokoh publik wajib mewujudkannya. Mereka memiliki peluang hadir melalui media demi berbagai narasi dan tindakan nyata yang toleran.
Setiap manusia adalah makhluk kebudayaan. Konsekuensinya, harus berpikir, berperilaku, dan berkarya secara budaya. Menciptakan ruang budaya pada dasarnya membuka banyak kemungkinan bagi peningkatan mutu peradaban bangsa.
Dalam hal ini, negara perlu menjadikan kebudayaan sebagai orientasi nilai bagi strategi pembangunan. Jangan sampai bangsa ini berubah jadi mesin materialisme yang masa bodoh dengan sejarah dan kebangsaannya sendiri.
(Indra Tranggono, Praktisi Kebudayaan)
|