Isi Artikel |
Podcast sebagai strategi untuk merebut hati pelanggan dan pembaca muda. Dominasi konsumen podcast dari kalangan muda diharapkan terbentuk kebiasaan baru untuk mau berlangganan pada bisnis inti produsen konten berita.
Oleh MAHATMA CHRYSHNA
Tahun 2020 dianggap sebagai awal kebangkitan ”new golden age of audio” dengan meluasnya konsumsi ”podcast”. Fenomena itu dimanfaatkan media berita digital untuk mendekatkan diri pada pelanggan muda.
Reuters Institute, lembaga penelitian media digital, kembali merilis ramalan tren jurnalisme 10 tahun ke depan. Salah satunya, pendapatan dari pembaca dan strategi diversifikasi produk dari media berita digital akan mulai menanjak sepanjang 2020. Selain itu, 2020 juga dianggap sebagai kebangkitan new golden age of audio.
Reuters Institute mengidentifikasi munculnya 60 podcast berita harian di lima negara dalam 18 bulan terakhir hingga Desember 2019. Selain itu, dari sisi jumlah pendengar, The Infinite Dial 2019 melaporkan bahwa pada 2019 terdapat 51 persen penduduk berusia 12 tahun ke atas di AS yang mendengarkan podcast.
Jumlah ini meningkat hampir dua kali lipat dari survei yang mereka lakukan pada 2012. Bagaimana peluang bisnis podcast, terutama bagi produsen konten berita digital?
Pertunjukan audio
Sebagai sebuah istilah, podcast muncul bersamaan dengan perkembangan Ipod. Istilah podcasting pertama kali muncul dalam artikel Ben Hammersley di The Guardian pada 12 Februari 2004. Awalnya, istilah podcast digunakan untuk menamai broadcasting yang dapat diakses dan diunduh melalui perangkat Ipod.
Selanjutnya, istilah podcast digunakan untuk menyebut semua serial audio digital dalam bentuk file yang dapat didengarkan, diunduh, ataupun dilanggani. Singkatnya, mengikuti definisi John Gruber, podcast tak lain pertunjukan audio (audio show) bagi semua orang. Semua podcast merupakan suatu pertunjukan (show) meski tak semua pertunjukan adalah podcast.
Podcast dapat dibedakan dari ”saudara”-nya, yakni native podcast dan radio catch-up. Istilah native podcast merujuk pada program audio yang sejak awal didesain sebagai program on demand, tanpa terkait jadwal siaran TV atau radio tertentu. Adapun radio catch-up dipahami program audio yang sebelumnya memang telah disiarkan di radio (atau bahkan di TV) yang lalu dapat dinikmati sesuai keinginan pendengar (on demand).
Dari penggolongan di atas, native podcast menjadi podcast paling banyak dikonsumsi di Amerika Serikat (AS), Inggris Raya, dan Australia, lebih daripada radio catch-up. Hanya di Perancis-lah jenis radio catch-up lebih dinikmati daripada jenis native podcast. Meningkatnya akses dan produksi podcast salah satunya dipengaruhi keunggulan podcast dibandingkan dengan radio. Podcast memiliki semua keunggulan radio, seperti multitasking dan mudah digunakan.
Akan tetapi, podcast punya ciri khas, yakni melibatkan kelompok-kelompok minat baru serta mampu menembus daerah-daerah yang tak tersentuh oleh sinyal radio. Berbagai keunggulan podcast yang membuatnya semakin digunakan luas menyisakan pertanyaan tentang keuntungan bisnis podcast.
Belum untung
Di Amerika Serikat, pendapatan podcast dari sisi iklan naik dari tahun ke tahun. Pada 2015, pendapatan iklan di podcast yang dilaporkan mencapai 105,7 juta dollar AS (Rp 1,4 miliar). Jumlah tersebut meningkat menjadi 678,7 juta dollar AS pada 2019 dan diperkirakan terus meningkat menjadi 1.044,8 juta dollar AS pada 2021.
Dari sisi perkembangan, terdapat kenaikan pendapatan podcast dari iklan sebesar 84 persen dari 2015 hingga 2019 dengan kenaikan rata-rata 37 persen per tahun. Namun, melihat jumlahnya di angka jutaan dollar AS, pasar iklan dari sisi podcast ini masih sangat kecil dibandingkan dengan pasar iklan semua media digital yang berada di angka ratusan miliar dollar AS per tahun.
Perkembangan pangsa podcast yang semakin besar ternyata belum sejalan dengan pendapatan langsung yang dapat diraih. Hal ini menunjukkan bahwa bisnis podcast tak dapat semata menggantungkan pendapatan dari sisi iklan. Model bisnis alternatif selain iklan adalah mengunggah podcast ke platform distributor konten, seperti Google dan Spotify.
Akan tetapi, beberapa produsen konten berita sudah mulai mengambil jarak dan cenderung melakukan boikot konten audio dari tawaran Google’s Audio News Aggregation dan Spotify Drive. Mereka khawatir bahwa konten mereka akan digunakan oleh kedua platform tersebut dan mengurangi koneksi langsung dengan konsumen.
Model bisnis podcast pun memasuki model langganan. Luminary, salah satu contoh usaha rintisan yang menerapkan model langganan bebas iklan, bahkan menyatakan bahwa podcast don’t need ads. Kembali, model itu pun dikritik. Menurut host dan pendiri Radiotopia, Roman Mars, hingga 2019, model berlangganan belum layak untuk podcast. Menurut dia, ekosistem podcast sedang dibangun dan belum menciptakan pendengar yang mau membayar untuk layanan podcast.
Karena itu, model bisnis podcast masih terus berkembang. Kemungkinan penggabungan model bisnis pun terbuka untuk dijalankan. Yang menjadi pertanyaan, ketika podcast belum memberikan keuntungan yang besar, mengapa sejumlah media besar seakan tak mau ketinggalan ikut serta memproduksi podcast?
Kalangan muda
Dari sisi usia pendengar, kalangan usia 18-24 tahun menjadi konsumen podcast terbesar. Sebesar 54 persen dari kalangan usia tersebut menyatakan, mereka konsumen podcast. Persentase tersebut menjadi yang terbesar ketimbang golongan usia lain. Dominasi konsumen podcast dari kalangan muda itu menjadi salah satu alasan bagi berbagai media yang sebelumnya memproduksi konten yang memuaskan mata untuk ikut serta memproduksi podcast.
Mereka memproduksi podcast bernuansa berita guna menjangkau generasi muda. Tantangan terbesar bagi produsen konten berita adalah meraih kedekatan dengan pembaca muda. Dalam hal ini, podcast memiliki kelebihan, yakni menjadi jembatan untuk menghubungkan kebutuhan akan hiburan dan kebutuhan akan berita. Podcast berita harian dapat menjawab kebutuhan tentang produk menarik, mendorong keterlibatan, sekaligus menyenangkan.
Sebut saja The New York Times yang punya beberapa podcast, seperti The Daily, Still Processing, The Argument, The Book Review, dan Popcast. Beberapa media besar, seperti The Washington Post, The Times, Sunday Times, dan Financial Times, serius memproduksi podcast demi pelanggan baru.
Selain media yang berbasis koran cetak, media yang sejak lahir hadir di ranah digital juga menjadikan podcast salah satu produknya. Di golongan ini terdapat Slate dengan podcast seperti Trumpcast, What Next, dan Whistlestop. Ada juga Vox Media yang memproduksi podcast antara lain Switched on Pop, The Ezra Klein Show, dan Today Explained.
Produsen podcast berita yang lain adalah mereka yang sejak awal memproduksi tayangan visual dan siaran audio. Dengan pengalaman di bidang penyiaran, National Public Radio (NPR), BBC, serta ABC memproduksi puluhan podcast yang dapat dinikmati kapan pun, baik native podcast maupun radio catch-up.
Kesuksesan strategi podcast untuk menarik pelanggan dapat dilihat dari Le Monde. Mereka memproduksi tiga serial podcast yang diadaptasi dari artikel investigatif mereka yang sukses menarik pelanggan baru. Kisah lain dialami oleh The Athletic, yang mencatatkan perkembangan pelanggan digital tertinggi di dunia sebesar lebih dari 500 persen, dari 100.000 menjadi 600.000 pelanggan, sepanjang tahun 2018-2019.
Menurut mereka, calon pelanggan yang terlibat dengan salah satu dari program podcast mereka selama program tujuh hari langganan gratis jauh lebih mungkin untuk kemudian mau membayar langganan tahunan The Athletic. Produksi podcast oleh sejumlah media besar di atas ternyata tidak langsung demi podcast itu sendiri. Podcast melayani kebutuhan pembaca muda.
Inilah strategi memutar yang sedang dijalankan oleh para produsen konten berita untuk mendekatkan diri dengan pelanggan, terutama pelanggan muda. Selain itu, diharapkan para pelanggan terus terikat dan terbentuk kebiasaan baru untuk mau berlangganan pada bisnis inti media-media besar tersebut, konten berita.
Strategi di luar berita
Podcast sebagai strategi untuk merebut hati pelanggan dan kemungkinan menambah pendapatan hanya salah satu cara. Strategi diversifikasi lain dapat ditempuh untuk mendongkrak pendapatan di luar berita.
The New York Times punya portal masak, pengasuhan anak (parenting), dan teka-teki silang. Majalah Men’s Health memiliki aplikasi fitnes all out studio, Telegraph memiliki portal prediksi pertandingan, bahkan Vice menyediakan aplikasi astrologi.
Berbagai strategi di luar berita tersebut ditempuh agar pembaca semakin mengenal dan merasa terikat dengan sebuah merek. Hal ini juga menunjukkan kerendahan hati produsen berita mengakui fakta bahwa konsumen masih lebih tertarik untuk membayar hal-hal hiburan dan gaya hidup daripada untuk membayar berita. (Litbang Kompas)
|