Isi Artikel |
Pendidikan Masyarakat
Inkonsistensi Arah Kebijakan Pendidikan
Kerisauan atas hilangnya Pendidikan Masyarakat dalam struktur organisasi Kemendikbud yang didasarkan atas Perpres No 82 Tahun 2019 mengingatkan penulis pada kerisauan serupa dari Paulo Freire.
Oleh Hafid Abbas
Akhir-akhir ini, masyarakat kampus, pakar dan praktisi pendidikan masyarakat dan pendidikan non-formal, ramai memperbincangkan berbagai kebijakan yang terkait dengan arah pendidikan masyarakat, yang dinilai bertentangan satu sama lain.
Inkonsistensi itu terutama setelah diterbitkannya Peraturan Presiden tentang Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) pada akhir Desember lalu. Pada Pasal 6 Ayat c, Perpres No 72 Tahun 2019 tentang Kemendikbud yang mulai diundangkan 24 Oktober 2019 ini memuat tentang Direktorat Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini dan Pendidikan Masyarakat.
Selanjutnya pada Pasal 14 perpres tersebut disebutkan bahwa Direktorat Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini dan Pendidikan Masyarakat mempunyai tugas menyelenggarakan perumusan dan pelaksanaan kebijakan di bidang pendidikan anak usia dini dan pendidikan masyarakat. Namun, pada 16 Desember 2019, Presiden Jokowi menerbitkan lagi Perpres No 82 Tahun 2019 yang menganulir peraturan sebelumnya tentang Kemendikbud yang sudah menghilangkan direktorat jenderal yang menangani urusan Pendidikan Masyarakat.
Mengingkari sejarah dan tak realistik
Kebijakan baru ini telah melahirkan berbagai polemik dan isu mendasar. Pertama, kebijakan ini terlihat seakan mengingkari perjalanan sejarah panjang (a denial of history) pembangunan pendidikan di negeri ini. Jauh sebelum Indonesia merdeka, pada era pemerintahan kolonial, pada era Angkatan Boedi Oetomo, 20 Mei 1908, misalnya, Pendidikan Masyarakat telah dijadikan pijakan pada seluruh upaya pencerdasan kehidupan bangsa untuk membebaskan diri dari belenggu penjajahan yang sudah berabad-abad lamanya.
Kebijakan baru ini telah melahirkan berbagai polemik dan isu mendasar. Pertama, kebijakan ini terlihat seakan mengingkari perjalanan sejarah panjang (a denial of history) pembangunan pendidikan di negeri ini.
Pada Pasal 3 Anggaran Dasar Boedi Oetomo dinyatakan secara tegas arah kebangkitan perjuangan pendidikan adalah pada: (1) usaha pendidikan dalam arti seluas-luasnya, (2) peningkatan keterampilan pertanian, peternakan dan perdagangan, (3) kemajuan teknik dan kerajinan, (4) menghidupkan kembali kesenian pribumi dan tradisi, (5) menjunjung tinggi cita-cita kemanusiaan, dan (6) hal-hal yang bisa membantu meningkatkan kesejahteraan bangsa.
Kesadaran yang sama juga terlihat pula pada kelahiran Taman Siswa oleh Ki Hajar Dewantara pada 1922, yang berkembang pesat karena landasan filosofinya berbasis masyarakat sehingga mendapat dukungan luas dari para pemuka pejuang kemerdekaan bangsa untuk mengangkat martabat, memajukan dan melindungi hak-hak asasi bangsa yang terjajah.
Demikian pula ketika Indonesia sudah merdeka, dari periode ke periode pemerintahan, sejak era awal kemerdekaan hingga ke periode Kabinet Kerja Jokowi-Jusuf Kalla 2014-2019, urusan pendidikan masyarakat selalu dapat tempat dalam setiap kebijakan pendidikan nasional. Barulah, pada periode pemerintahan ini, urusan pendidikan masyarakat dalam struktur organisasi Kemendikbud terabaikan.
Kedua, kebijakan ini terlihat tidak realistik, tidak sesuai dengan kebutuhan nyata masyarakat dan tidak konsisten. Pada 6 Maret 2019, Wakil Presiden Jusuf Kalla di Istana Wakil Presiden meluncurkan Agenda Strategis Pendidikan Masyarakat di seluruh Indonesia dengan berfokus pada 18 kelompok sasaran masyarakat yang dinilai memiliki tingkat kerawanan sosial dan ekonomi yang tinggi, seperti petani miskin, masyarakat adat, pengungsi, buruh migran, anak dengan gizi buruk (stunting), dan sebagainya.
Barulah, pada periode pemerintahan ini, urusan pendidikan masyarakat dalam struktur organisasi Kemendikbud terabaikan.
Dari jumlah itu terdapat 128 agenda strategis nyata yang amat dibutuhkan masyarakat dan mendesak segera dilaksanakan di berbagai kegiatan Tri Dharma perguruan tinggi untuk membebaskan masyarakat dari keterbelakangannya.
Di hadapan sekitar 300 peserta Kongres Asosiasi Pendidikan Masyarakat Indonesia (APENMASI) yang terdiri dari para pimpinan perguruan tinggi negeri (PTN), perguruan tinggi swasta (PTS), dosen, peneliti, pengelola Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) dan praktisi Penmas dari seluruh tanah air, Wapres menyampaikan urgensi Pendidikan Masyarakat untuk menjawab isu kemiskinan, pengangguran, kesenjangan sosial dan keterbelakangan, termasuk gizi buruk pada anak (stunting), buruh migran, anak putus sekolah, dan sebagainya.
Wapres mendorong PTN, PTS dan semua pihak terkait membentuk desa-desa vokasi yang sesuai dengan koridor ekonomi dan sumber daya dukung setempat, dan mengembangkan berbagai program pemberdayaan bagi warga tertinggal sesuai dengan misi pendidikan untuk semua (education for all). Dengan diberlakukannya perpres di atas terlihat jelas inkonsistensi arah pendidikan masyarakat dari sebelumnya.
Dengan diberlakukannya perpres di atas terlihat jelas inkonsistensi arah pendidikan masyarakat dari sebelumnya.
Tak berorientasi masa depan
Ketiga, kebijakan ini terlihat tak berorientasi pada kepentingan masa depan. Kenyataan menunjukkan saat ini tingkat kesenjangan sosial di Tanah Air masih amat tinggi, bahkan dilaporkan oleh Global Wealth Databooks (2016), Indonesia berada di urutan keempat terburuk di dunia, setelah Rusia, India, dan Thailand. Dari perspektif pendidikan, kesenjangan ini sesungguhnya disebabkan kesenjangan pengetahuan (knowledge gap) antarwarga masyarakat baik di kota ataupun di desa, di Jawa atau di luar Jawa.
Dari sudut pandang pendidikan, kesenjangan pengetahuan dan keterampilan ini dinilai jauh lebih berbahaya daripada kurangnya keseimbangan keuangan pusat-daerah karena pendidikan adalah satu-satunya “jalur pemerata” (the great equalizer) yang didambakan kelompok masyarakat yang tertinggal.
Solusinya, ke depan harus semakin diperkuat institusi-institusi pendidikan yang sudah mengakar di masyarakat seperti PKBM, pesantren, kursus-kursus, Kejar Usaha, dan kelompok minat, yang akan saling memperkuat, dan saling melengkapi dengan institusi pendidikan persekolahan, sebagai agen perubahan yang akan membawa perubahan peningkatan kualitas hidup masyarakat yang lebih baik di masa depan.
Parsial dan terisolasi
Ke empat, kebijakan ini terlihat amat parsial, terisolasi dari kepentingan masyarakat secara keseluruhan. Ini kebijakan yang mereduksi kepentingan pendidikan masyarakat ke hanya urusan kursus, keaksaraan dan kesetaraan yang pijakannya berbasis sekolah (Pasal 15).
Ini kebijakan yang mereduksi kepentingan pendidikan masyarakat ke hanya urusan kursus, keaksaraan dan kesetaraan yang pijakannya berbasis sekolah (Pasal 15).
Ini amat berbeda dengan mandat UNESCO (1995) yang spektrumnya lebih luas, meliputi: keaksaraan, kesetaraan, peningkatan kualitas hidup, memberikan pendapatan (income generating), pengembangan minat dan bakat, dan pembekalan kepentingan masa depan (future oriented program). Sebagai anggota PBB, semestinya kebijakan pendidikan yang diambil Indonesia harus selaras dengan kesepakatan-kesepakatan internasional.
Terakhir, kerisauan atas hilangnya Pendidikan Masyarakat dalam struktur organisasi Kemendikbud mengingatkan saya pada kerisauan serupa dari Paulo Freire, enam dekade lampau di negaranya ketika ia masih bekerja sebagai dosen dan Ketua Jurusan Pendidikan Masyarakat dan Budaya di Universitas Recife, Brasil.
Di awal 60-an, Paulo menyoroti bahwa sumber kesenjangan sosial, kemiskinan dan keterbelakangan Brasil adalah karena kesalahan mengelola pendidikan yang kering dengan penyadaran fundamental dan terisolasi dari kehidupan nyata masyarakatnya. Paulo sesungguhnya berharap jangan pernah lagi ada pemimpin yang main-main dengan pendidikan, menyerahkan urusan pendidikan ke orang yang tidak mengerti pendidikan karena pendidikan akan menentukan hidup matinya satu bangsa atau satu peradaban.
(Hafid Abbas Guru Besar FIP Universitas Negeri Jakarta, Konsultan Internasional UNESCO untuk Kawasan Asia-Pasifik 1992-1995)
|