Selamat datang di website E-PAPER PERPUSTAKAAN DPRRI.

Koleksi Perpustakaan DPR RI

Judul PELAYANAN FARMASI: Farmasi dalam Pusaran Regulasi RS
Tanggal 06 Februari 2020
Surat Kabar Kompas
Halaman 7
Kata Kunci
AKD - Komisi IX
Isi Artikel

Peraturan Menteri Kesehatan No 3 Tahun 2020 tentang Klasifikasi dan Perizinan Rumah Sakit, mengguncang para apoteker  di rumah sakit. Apoteker masuk golongan tenaga non medik, sama dengan tenaga binatu. Oleh SAMPURNO   Peraturan Menteri Kesehatan (PMK) No 3 Tahun 2020 tentang Klasifikasi dan Perizinan Rumah Sakit, 14 Januari 2020, mengguncang para apoteker  di rumah sakit. Apoteker masuk golongan tenaga non medik, sama dengan tenaga binatu. Penggolongan itu mencederai martabat profesi apoteker. Semestinya dalam membuat regulasi, selain mengacu pada undang-undang induknya, juga agar subjek hukum dapat meningkatkan kontribusi bagi kemaslahatan. Dalam upaya menyehatkan di rumah sakit, terapi obat merupakan intervensi paling banyak. Hampir semua intervensi medik selalu menggunakan obat (lebih dari 90 persen) dengan porsi pembiayaan paling besar. Selain itu, 70 persen pendapatan RS  berasal dari aktivitas instalasi farmasi. Namun, keberadaan dan peran  apoteker/farmasi di rumah sakit di  Indonesia kini termarjinalkan. Peran kefarmasian terlokalisasi pada tugas-tugas rutin sehingga  layanan farmasi rumah sakit statis dan sulit berkembang. Keadaan ini sangat berbeda dengan negara-negara  maju dan negara tetangga seperti Singapura dan Malaysia. Peran kefarmasian terlokalisasi pada tugas-tugas rutin sehingga  layanan farmasi rumah sakit statis dan sulit berkembang.   Posisi apoteker Menurut Undang-Undang  36/2009 tentang Kesehatan, tenaga kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan, memiliki pengetahuan dan/atau keterampilan melalui pendidikan dan jenis tertentu perlu kewenangan (Pasal 1 huruf 6). Dengan  demikian profesi apoteker  yang diperoleh melalui pendidikan dan pelatihan serta tersertifikasi kompetensinya, memenuhi kriteria sebagai tenaga kesehatan. Mereka berhak bekerja di kefarmasian sebagaimana dimaksud Peraturan Pemerintah 51/2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian. Tenaga kefarmasian menurut Undang-Undang  36/2014 tentang Tenaga Kesehatan adalah jenis tenaga kesehatan tersendiri tetapi bukan tenaga non medik (Pasal 11 huruf 6). Sedangkan PMK 3/2020 mengkategorikan tenaga kefarmasian sebagai tenaga non medik. Dalam Undang Undang 44/2009 tentang Rumah Sakit ditegaskan bahwa pelayanan sediaan farmasi di rumah sakit harus mengikuti Standar Pelayanan kefarmasian dalam sistem satu pintu, dikelola oleh Instalasi Farmasi Rumah Sakit  (Pasal 15). Standar Pelayanan kefarmasian   mencakup:  (1) pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan, bahan medis habis pakai; dan  (2)  pelayanan farmasi klinik. Dalam PMK 72/2016 tentang Standar Pelayanan Farmasi di Rumah Sakit disebutkan layanan farmasi klinis mencakup 11 kegiatan  penting, antara lain: penelusuran riwayat penggunaan obat, pemantauan terapi obat, monitoring efek samping obat, evaluasi penggunaan obat, pemantauan kadar obat dalam darah, konseling dan visite. Kegiatan layanan farmasi klinis ini  umumnya belum dilakukan. Akibatnya, RS di Indonesia tertinggal jauh dari Singapura dan Malaysia. Penyebabnya, pertama; apoteker RS tidak memiliki kesiapan dalam pengetahuan/skill. Kedua; manajemen RS tidak mempunyai kemauan kuat untuk melaksanakan kegiatan farmasi klinik. Kegiatan layanan farmasi klinis ini  umumnya belum dilakukan. Akibatnya, RS di Indonesia tertinggal jauh dari Singapura dan Malaysia.   Dewasa ini apoteker dan kefarmasian di RS terkurung pada tugas-tugas rutin administrasi farmasi, logistik dan dispensing, tidak dapat visite yang terintegrasi dalam tim medik RS. Komite Farmasi dan Terapi Formal di RS mati suri. Masalah kritikal obat Permasalahan terkait obat dikenal sebagai Drug Related Problems (DRPs). Ini isu signifikan dalam sistem pelayanan kesehatan di banyak negara.  DRPs terjadi pada banyak pasien di RS. Permasalahan menjadi kritikal karena penggunaan polifarmasi, adanya penyakit penyerta, penurunan fungsi organ, perubahan farmakokinetik dan farmakodinamik karena usia, efek samping obat dan medication errors. DRPs dapat mengganggu hasil klinis. Kesalahan terapi medikasi  berkontribusi terhadap meningkatnya jumlah kasus efek samping obat yaitu Adverse Drugs Event (ADEs). Di Amerika Serikat dilaporkan setiap tahun terjadi 1,5 juta kasus ADEs yang menyebabkan kematian dan morbiditas dengan biaya 177 miliar dollar AS. Pasien usia lanjut berisiko tinggi terjadi ADEs karena mereka mempunyai prevalensi  penyakit kronik tinggi dan umumnya menggunakan polifarmasi. Dilaporkan 82 persen populasi Program Medicare di Amerika Serikat, 2/3 dari populasi itu memiliki lebih dari 1 kondisi kronik dan 20 persen memiliki 5 atau lebih kondisi kronik. Pasien usia lanjut berisiko tinggi terjadi ADEs karena mereka mempunyai prevalensi  penyakit kronik tinggi dan umumnya menggunakan polifarmasi.   Bagaimana DRPs di Indonesia? Belum ada penelitian nasional, tetapi bisa dipastikan kasus yang terjadi di Indonesia lebih jelek dibandingkan di Amerika Serikat. Namun, beberapa penelitian dengan  lingkup terbatas  telah dilakukan. Sebuah penelitian yang dilakukan di RSU Anutapura Palu pada tahun 2014-2015 menemukan 87 pasien DRPs karena interaksi obat 41,33 persen,  dosis obat kurang 45,33 persen, obat tidak tepat 8 persen  dan obat kurang 5,34 persen. Penelitian pada pasien geriatri  rawat inap di RS Sanglah, Maret-April 2017,  menemukan dari 142 resep yang direview terjadi DRPs . Meliputi kategori pemilihan obat 54 persen; durasi pemberian 22 persen; interaksi 19 persen; dosis 4 persen dan efek samping 2 persen. Penelitian lain di RSUD Kota Semarang  terhadap penggunaan antibiotik pada 128 pasien  pediatrik, menemukan 68 pasien mengalami kejadian DRPs dengan kasus terbesar adalah interaksi obat 42,32 persen, dosis kurang 21,79 persen dan efek samping obat 17,95 persen. Adanya fenomena kasus DRPs dengan skala luas mendorong banyak negara memperbaiki sistem pelayanan kesehatannya. Mereka kemudian menerapkan Medication Therapy Management(MTM), yaitu  layanan medikasi kepada pasien untuk memperoleh  outcome yang optimal dalam pengobatan sekaligus mendeteksi dan mencegah risiko yang berbahaya. MTM didesain untuk memperbaiki hubungan antara apoteker dan dokter serta tenaga profesional kesehatan lain.  Kualitas  layanan sangat tergantung pada komunikasi dan kerja sama antara dokter, apoteker dan tenaga  profesional  lain dalam kesatuan team work di rumah sakit. Layanan kefarmasian di Rumah Sakit di Indonesia masih jauh dari ekspektasi. Apoteker yang ada kurang dapat mengembangkan kolaborasi untuk bersinergi dengan tenaga ahli lain di rumah sakit.  Standar pelayanan farmasi RS terutama layanan farmasi klinis yang sudah ada dalam regulasi, perlu action plan dan road map jelas. Kualitas  layanan sangat tergantung pada komunikasi dan kerja sama antara dokter, apoteker dan tenaga  profesional  lain dalam kesatuan team work di rumah sakit. Pemberian obat kepada pasien harus dicatat dan dievaluasi termasuk pemantauan terapi obat, efek samping obat dan  kadar obat dalam darah. Kolaborasi dan sinergi dokter dan apoteker akan meningkatkan kualitas hidup pasien. (Sampurno Direktur Jenderal POM Kemenkes  1998-2001, Kepala Badan POM 2001-2006)

  Kembali ke sebelumnya