Selamat datang di website E-PAPER PERPUSTAKAAN DPRRI.

Koleksi Perpustakaan DPR RI

Judul Langkah Pemerintah Menanggulangi Kanker di Indonesia
Tanggal 06 Februari 2020
Surat Kabar Kompas
Halaman 10
Kata Kunci
AKD - Komisi IX
Isi Artikel Untuk menanggulangi masalah penyakit kanker akibat transisi epidemiologi di Indonesia, pemerintah senantiasa meningkatkan pengendalian penyakit kanker secara nasional. Oleh SULTANI Untuk menanggulangi masalah penyakit kanker akibat transisi epidemiologi di Indonesia, pemerintah senantiasa meningkatkan pengendalian penyakit kanker secara nasional. Pemerintah telah membuat skema untuk mengurangi angka kesakitan dan kematian akibat kanker sebagai kerangka untuk mengimplementasikan pedoman nasional penanggulangan kanker.   Transisi epidemiologi di Indonesia yang mulai terasa pada 1990-an menandai sebuah babak baru pergeseran pola kematian yang diakibatkan oleh penyakit menular. Selama dasawarsa tersebut beban penyakit menular yang selama ini menjadi pemicu kematian utama mengalami penurunan yang signifikan. Kasus infeksi saluran pernapasan akut (ISPA), tuberkulosis (TBC), dan diare yang populer ”membunuh” para penderitanya mulai berkurang. Tren penyakit dan penyebab utama kematian setelah era 1990-an menunjukkan pola baru, yaitu meningkatnya penyakit tidak menular atau penyakit kronik, seperti stroke, jantung, darah tinggi, kanker, dan diabetes. Pergeseran ini dipicu oleh perubahan gaya hidup masyarakat yang memasuki abad milenium. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengungkapkan, tahun 1999, penyakit tidak menular ini bertanggung jawab terhadap 60 persen kematian di dunia dan 43 persen dari beban penyakit dunia. Lembaga ini memprediksi, pada dasawarsa kedua milenium kedua nanti, penyakit ini akan mencapai 73 persen kematian di dunia dan 60 persen dari beban penyakit dunia. Kanker merupakan salah satu penyakit tidak menular yang pertumbuhannya konsisten dan signifikan mengancam kelangsungan hidup manusia. Fenomena ini sejalan dengan temuan WHO terkait pertumbuhan kasus baru kanker di dunia. Pada 1990, WHO mencatat 8,1 juta kasus kanker baru yang didiagnosis. Sepuluh tahun kemudian, jumlah kasusnya meningkat menjadi 10 juta. Pada 2012, WHO mencatat peningkatan yang signifikan, yaitu 14,1 juta kasus. Jumlah kematian akibat kanker juga menunjukkan gejala serupa yaitu meningkat signifikan. Menurut catatan WHO, tahun 1990 terdapat 5,2 juta orang meninggal akibat kanker. Pada 2008, angka kematian akibat kanker mencapai 7,6 juta orang dan bertambah lagi menjadi 8,2 juta orang pada 2012. Terakhir, tahun 2018, korban kematian akibat kanker tercatat 9,5 juta orang. Jika kasus kanker terus tumbuh pada tingkat yang dilaporkan, jumlah kematian di seluruh dunia akibat penyakit kronis akan meningkat melampaui 13,1 orang juta pada 2030. Fenomena transisi epidemiologi ini menjadi persoalan serius negara-negara berkembang, yaitu meningkatnya beban akibat penyakit kronis. Indonesia adalah salah satu negara yang mengalami pergeseran beban penyakit ini. Survei Kesehatan Rumah Tangga tahun 2001 menunjukkan, kanker merupakan penyebab kematian nomor lima setelah penyakit kardiovaskular, infeksi, pernapasan, dan pencernaan. Survei Kesehatan Rumah Tangga tahun 2001 menunjukkan, kanker merupakan penyebab kematian nomor lima setelah penyakit kardiovaskular, infeksi, pernapasan, dan pencernaan. Risiko kematian yang ditimbulkan kanker ini tercatat 6 persen atau meningkat signifikan dibandingkan tahun 1980 sebesar 3,4 persen. Saat ini kanker masih menjadi penyakit kronis yang berbahaya bagi para penderitanya. Riset Dasar Kesehatan tahun 2018 menunjukkan, prevalensi kanker berdasarkan diagnosis dokter pada penduduk semua umur mencapai 1.017.290 jiwa. Indonesia juga mencatat jumlah penderita baru kanker tertinggi di kawasan Asia Tenggara. Badan Internasional untuk Riset Kanker (International Agency for Research on Cancer) mengungkapkan, tahun 2018 jumlah penderita kanker baru di Indonesia tercatat 348.809 orang. Lembaga ini juga mencatat jumlah kematian akibat kanker di Indonesia tahun 2018 sebesar 207.210 jiwa yang merupakan angka tertinggi se-Asia Tenggara. Skema penanggulangan Permasalahan kanker sudah lama menjadi isu vital bagi pemerintah dalam penanganan masalah sosial, khususnya kesehatan masyarakat. Declaration of Human Right tahun 1948 menyatakan bahwa kesehatan merupakan hak asasi manusia yang harus dipenuhi oleh setiap negara. Deklarasi ini menjadi acuan bagi negara-negara di dunia dalam mengembangkan jaminan kesehatan kepada seluruh penduduk (Universal Health Coverage). Sebagai warga dunia, Pemerintah Indonesia juga berkewajiban untuk menjamin terpenuhinya hak-hak kesehatan warga negara sebagai refleksi penghormatan atas deklarasi HAM tersebut. Program-program kesehatan yang ada sekarang merupakan kesinambungan dari program-program terdahulu sejak negara ini lahir. Untuk penanggulangan kanker, pemerintah selalu berupaya untuk memperbaiki program-program pengobatan yang sudah berjalan selama ini. Sasarannya adalah mengurangi angka kesakitan dan kematian akibat penyakit ganas ini. Menurut WHO, peluang untuk mencegah kematian karena kanker relatif besar meskipun penyakit ini sulit disembuhkan. Selain dengan pengobatan, risiko kanker juga bisa diperkecil dengan meningkatkan kesadaran masyarakat akan pencegahan kanker. Program penanggulangan kanker pemerintah sekarang menyasar pada kedua aspek tersebut, yaitu pengobatan dan penyuluhan masyarakat. Pemerintah ingin mengintegrasikan kedua aspek ini ke dalam sebuah skema besar agar implementasi penanggulangan kanker berjalan serentak di seluruh Indonesia. Kendala terbesar yang dihadapi pemerintah selama ini adalah soal pembiayaan karena biaya pengobatan kanker itu sendiri sangat mahal. Karena itulah persoalan kanker ini berdampak kepada masalah ekonomi negara, yang secara langsung memengaruhi tanggungan pembiayaan kesehatan. Sementara, anggaran yang dialokasikan untuk sektor kesehatan sangat terbatas dan harus didistribusikan juga kepada penanganan masalah kesehatan yang lain. Sistem Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang diperkenalkan pada 2014 merupakan terobosan penting untuk solusi penanggulangan kanker. JKN merupakan integrasi semua pelayanan kesehatan dengan sistem rujukan pelayanan yang berjenjang, yang dimulai dari fasilitas kesehatan primer atau tingkat I ke fasilitas sekunder hingga tersier. Pelayanan kesehatan terpadu ini akan membuat penanggulangan kanker sesuai standar mutu nasional dan keselamatan pasien. Terintegrasinya kanker ke dalam JKN merupakan sebuah skema yang melibatkan semua unsur dari pemerintah, swasta, dan masyarakat untuk menurunkan angka kesakitan dan meningkatkan kualitas hidup penderita. Skema tersebut diterjemahkan ke dalam beberapa kerangka yang menjadi acuan kerja, yaitu kelembagaan, pendanaan, regulasi, serta fasilitas dan sumber daya manusia. Skema kelembagaan dalam penanggulangan kanker merupakan pengorganisasian sistem kerja yang mengintegrasikan semua pemangku kepentingan dalam penanggulangan kanker. Tahun 2017, Menteri Kesehatan membentuk Komite Penanggulangan Kanker Nasional sebagai lembaga yang mengoordinasi kegiatan-kegiatan terkait dengan penanggulangan kanker. Komite ini diberi wewenang untuk menjalankan tugas terkait aksi penanggulangan kanker nasional, mengumpulkan masukan dari publik, mengawasi implementasi dan mengevaluasi pelaksanaan program penanggulangan kanker nasional. Komite juga berwenang untuk melakukan telaah kritis atas teknologi kesehatan (HTA) bidang kanker dan memberikan rekomendasi kepada Kementerian Kesehatan. Selain itu, Komite juga bisa mengumpulkan data untuk mengembangkan penanggulangan kanker. Tugas yang tidak kalah penting adalah menyebarkan informasi kepada masyarakat dan pemangku kepentingan lainya. Terakhir, lembaga ini bisa memberikan rekomendasi dalam penanganan masalah penanggulangan kanker dan pembuatan kebijakan terkait dengan penanggulangan kanker. Skema pendanaan berorientasi pada optimalisasi pemanfaatan sumber-sumber pembiayaan baik dari negara, swasta, maupun sumber-sumber lain yang sesuai dengan ketentuan undang-undang. Sumber pendanaan ini mengacu pada alokasi anggaran dari APBN, APBD, swasta, atau jaminan kesehatan yang didistribusikan untuk penanggulangan kanker. Faktanya, angka penderita kanker terus bertambah dan kematian karena kanker pun semakin banyak berjatuhan. Selanjutnya, alokasi dana tersebut dimanfaatkan dengan model tuntas penyelenggaraan program berupa koordinasi dan integrasi sarana, prasarana, alat, dan tenaga kesehatan. Model tuntas ini secara operasional akan membuat penanggulangan kanker menjadi efisien dan efektif dalam pendanaan. Meski demikian, program ini belum berhasil menyelesaikan persoalan utama pendanaan karena realitas biaya yang harus dikeluarkan pasien kanker untuk berobat sangat mahal. Alokasi APBN, APBD, dan jaminan sosial kesehatan yang ada selama ini sangat tidak memadai untuk menanggulangi kanker. Faktanya, angka penderita kanker terus bertambah dan kematian karena kanker pun semakin banyak berjatuhan. Hal ini menunjukkan bahwa persoalan penyakit kronis, seperti kanker, memiliki kompleksitas tersendiri. JKN yang diterapkan sejak 2014 sejauh ini masih dianggap sebagai solusi terbaik untuk mengurai kompleksitas penanganan kanker. Integrasi pelayanan kesehatan secara berjenjang dalam JKN tidak hanya memberi solusi dalam soal pendanaan, tetapi juga skema kelembagaan yang mampu menjangkau secara nasional. Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan mengakui bahwa kanker merupakan salah penyakit katastropik dengan penyerapan biaya terbesar dalam program Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS). Berdasarkan data BPJS Kesehatan, biaya pengobatan penyakit kanker sebesar 17 persen dari total biaya katastropik atau menempati posisi ketiga terbesar setelah penyakit jantung dan gagal ginjal sepanjang 2014 hingga 2018. ”Khusus untuk kanker, dari 2014-2018, penyakit tersebut sudah menghabiskan biaya Rp 13,3 triliun dari total biaya penyakit katastropik sebesar Rp 78,3 triliun,” kata Kepala Humas BPJS Kesehatan M Iqbal Anas Ma’ruf di Jakarta, Kamis (5/9/2019). Skema regulasi berorientasi pada jaminan atau perlindungan terhadap hak dan kewajiban yang diberikan oleh negara kepada para pihak atau pemangku kepentingan yang terlibat dalam penanggulangan kanker. Selain jaminan atau perlindungan, skema regulasi juga menjadi acuan standar dalam aksi penanggulangan kanker. Peran regulasi dalam penanganan kanker sangat vital karena menjadi bukti tanggung jawab negara dalam menjamin pelayanan kesehatan rakyat. Sebagai produk negara, regulasi dalam penanganan kanker menempati hierarki pada level peraturan atau keputusan Menteri Kesehatan yang lebih operasional. Setidaknya ada empat undang-undang di bidang kesehatan yang selalu dijadikan acuan oleh Menteri Kesehatan dalam mengeluarkan regulasi terkait penanganan kanker. Undang-undang tersebut antara lain, Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit, Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan. Undang-undang tersebut menjadi payung hukum yang mengatur hak dan kewajiban serta mekanisme perlindungan dalam proses pelayanan kesehatan. Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit, misalnya, sangat menekankan pentingnya hak pasien dalam memperoleh layanan kesehatan yang bermutu, efektif, dan efisien. Artinya, setiap rumah sakit yang melayani pasien, termasuk pasien kanker, wajib mementingkan hak pasien seperti yang sudah digariskan UU. Fasilitas kesehatan Penyediaan fasilitas kesehatan yang layak bagi pasien kanker merupakan salah satu misi pemerintah dalam penanggulangan kanker. Saat ini pemerintah mulai membuat peta integrasi regionalisasi sistem rujukan kanker berbasis rumah sakit. Rumah sakit yang ada di kabupaten/kota atau regional menjadi fasilitas pelayanan kesehatan primer bagi pasien kanker. Dalam ”Roadmap Pembinaan Rumah Sakit Dengan Unggulan Kanker” oleh Kementerian Kesehatan disebutkan, fasilitas pelayanan kesehatan primer hanya berada pada rumah sakit yang berada di kabupaten/kota atau regional. Namun, ada 110 rumah sakit di tingkat regional diseleksi sebagai rujukan. Sementara di tingkat provinsi, pemerintah sudah menyiapkan 20 rumah sakit sebagai rujukan kanker untuk provinsi. Sementara untuk rujukan nasional sudah ada 14 rumah sakit yang disiapkan pemerintah. Terakhir, yang menjadi rujukan kanker nasional hanya Rumah Sakit Kanker Dharmais. Artinya, RS Dharmais menjadi rujukan tertinggi bagi seluruh pasien kanker yang berstatus sebagai warga negara Indonesia. Sebagai rujukan kanker tertinggi, RS Dharmais memainkan fungsi sebagai pelayanan kanker komprehensif rujukan nasional, pusat data dan riset kanker nasional, serta pusat pendidikan dan informasi kanker nasional. Penetapan rumah sakit rujukan dari tingkat regional hingga nasional ini ternyata mengikuti sistem rujukan pelayanan kesehatan yang berjenjang yang dimulai dari fasilitas kesehatan primer atau tingkat I ke fasilitas sekunder hingga tersier. Sistem ini diharapkan bisa mengurangi panjangnya antrean pasien di fasiltas kesehatan tingkat lanjut dan pemerataan distribusi penanganan medis berdasarkan kompetensi. Persoalannya, pelayanan berjenjang ini ternyata belum berhasil menanggulangi keterlambatan atau penundaan tindakan medis. Keterlambatan penanganan medis terhadap pasien biasanya dipicu oleh tiga hal, yaitu keterlambatan pasien, keterlambatan rujukan, dan keterlambatan penanganan pasien. Keterlambatan rujukan pada pasien kanker menjadi faktor penentu keterlambatan pasien dalam mendapatkan akses pengobatan kanker yang memadai dari dokter yang berkompeten. Persoalan lain dalam sistem rujukan ini adalah kebiasaan pasien kanker yang berobat pada tingkat stadium lanjut (stadium II dan III) yang cenderung memiliki peluang sembuh yang kecil dan angka harapan hidup yang sangat rendah. Persoalan ini kemudian berkelindan dengan rantai evaluasi klinis terhadap kondisi pasien kanker yang berjenjang. Akibatnya, penumpukan penyakit kanker dengan kondisi lanjut di fasilitas kesehatan rujukan lanjutan (terutama tersier) tidak bisa dihindari. Kondisi inilah yang membuat RS Dharmais sering mengalami kelebihan beban karena semua pasien kanker dari seluruh Indonesia yang tidak bisa ditangani ditampung di sini. Meskipun pemerintah selalu mendampingi proses penanggulangan kanker secara nasional, masyarakat harus mulai menanamkan kesadaran untuk mencegah pertumbuhan kanker sedini mungkin. Bisa dimulai dengan pola hidup sehat. Kanker bukanlah penyakit menular sehingga potensi untuk terserang penyakit ini bisa dialami oleh siapa saja. Faktor risiko pemicu kanker bersumber pada gaya hidup modern dan pola makan yang tidak sehat. (LITBANG KOMPAS)
  Kembali ke sebelumnya