Isi Artikel |
Rendahnya tingkat literasi di Indonesia terekam dari indeks aktivitas literasi membaca yang dirilis Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pada April 2019 lalu. Ini menunjukkan, tak banyak orang Indonesia terbiasa membaca.
Oleh DEDY AFRIANTO
”Sebuah ’demokrasi’ hanya akan berkembang sekaligus berkelanjutan di suatu masyarakat yang para warganya adalah pembaca, adalah individu-individu yang merasa perlu untuk membaca, bukan sekadar pendengar dan berbicara,” (Daoed Joesoef, 2004)
Petikan tulisan Daoed Joesoef, menteri pendidikan dan kebudayaan era pemerintahan Soeharto dalam Bukuku (2004) itu menegaskan, membaca adalah salah satu syarat mutlak yang harus dipenuhi Indonesia jika ingin melangkah lebih jauh sebagai negara demokrasi.
Namun, persyaratan tersebut hingga kini belum seutuhnya terpenuhi. Jika merujuk pada publikasi sejumlah lembaga dalam beberapa tahun terakhir, terlihat rendahnya minat orang Indonesia untuk membaca. UNESCO, misalnya, pada 2012 mencatat hanya terdapat satu dari 1.000 penduduk di Indonesia yang memiliki minat tinggi untuk membaca. Setelah UNESCO, empat tahun berselang giliran Central Connecticut State University, Amerika Serikat, yang memotret rendahnya minat baca di Indonesia.
Berdasarkan survei yang dilakukan terkait tingkat literasi, RI menduduki peringkat ke-60 dari 61 negara. Terbaru, potret rendahnya tingkat literasi di Indonesia juga terekam dari indeks aktivitas literasi membaca yang dirilis Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pada April 2019 lalu. Dari nilai maksimal 100, indeks aktivitas literasi membaca Indonesia hanya mencapai 37,32, dan termasuk dalam kategori rendah.Ini menunjukkan, tak banyak orang Indonesia yang terbiasa membaca.
Dalam indeks aktivitas literasi membaca terdapat beberapa indikator yang digunakan, yakni kecakapan membaca, budaya membaca, akses internet, dan akses perpustakaan. Semakin tinggi indeks, akan semakin baik tingkat literasi. Menurut catatan Badan Pusat Statistik, angka melek huruf pada 2019 lalu mencapai 95,9 persen, meningkat dibandingkan 2011 yang sebesar 92,44 persen. Kenaikan terjadi secara merata baik pada penduduk laki-laki maupun perempuan.
Meski demikian, kecakapan membaca berbanding terbalik dengan budaya membaca di Indonesia yang masih berada pada kategori rendah. Rendahnya budaya membaca ini salah satunya terlihat dari kebiasaan membaca media massa, baik media cetak maupun elektronik, yang masuk pada kategori sedang dan rendah. Ini mengartikan tidak begitu banyak orang Indonesia yang mengonsumsi pemberitaan di media dalam kehidupan sehari-hari.
Kekurangan perpustakaan
Selain budaya, rendahnya indeks literasi juga terdapat pada dimensi akses, utamanya akses perpustakaan. Dalam dimensi ini, Indonesia hanya mencapai angka 23,09 dan menjadi indikator terendah ketimbang bidang lainnya dalam indeks aktivitas literasi membaca. Kondisi ini berbanding lurus dengan minimnya akses perpustakaan di berbagai daerah.
Minimnya akses perpustakaan memang masih menjadi salah satu hambatan dalam meningkatkan budaya membaca di Indonesia. Jika merujuk pada laporan perpustakaan nasional pada 2016, Indonesia masih membutuhkan banyak perpustakaan. Dari total kebutuhan 767.951 perpustakaan, hanya tersedia 154.359 perpustakaan, atau hanya sekitar 20 persen dari kebutuhan.
Kekurangan perpustakaan umum dialami segala tingkatan daerah, mulai kabupaten dan kota, kecamatan, hingga tingkat desa. Pada tingkat kecamatan, misalnya, hanya ada 600 perpustakaan dari total kebutuhan 7.094 perpustakaan. Artinya, Indonesia masih kekurangan lebih dari 6.000 perpustakaan di tingkat kecamatan.
Pada tingkat desa, Indonesia juga masih membutuhkan banyak perpustakaan. Dari total 82.505 kebutuhan perpustakaan di tingkat desa, hanya terdapat 21.467 perpustakaan atau sekitar 26 persen dari total kebutuhan. Kekurangan perpustakaan juga terjadi di jenjang pendidikan formal. Misalnya, jenjang sekolah dasar yang masih membutuhkan hingga lebih dari 74.000 perpustakaan, hingga 2016.
Kekurangan perpustakaan juga dialami jenjang pendidikan SMP, SMA, ataupun pesantren. Kini, kekurangan perpustakaan juga masih terjadi di jenjang pendidikan formal. Menurut catatan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang dirilis awal 2019, semua jenjang pendidikan di Indonesia masih kekurangan hingga ribuan perpustakaan.
Dari total 216.066 sekolah dari jenjang pendidikan dasar dan menengah, hanya terdapat 152.064 perpustakaan atau 70 persen dari jumlah sekolah. Artinya, Indonesia masih kekurangan 64.002 perpustakaan sekolah. Sekolah dasar menjadi jenjang pendidikan terbanyak yang kekurangan sekolah dasar. Jika diasumsikan tiap SD harus memiliki minimal satu perpustakaan, ada kekurangan lebih dari 50.000 perpustakaan hingga awal 2019.
Sebaran wilayah
Minimnya fasilitas untuk menggenjot budaya membaca juga dialami setiap provinsi di Indonesia. Menilik per sebaran wilayah, tak satu pun provinsi di Indonesia yang berhasil mencapai tingkat kategori tinggi dalam indeks literasi. Dari 34 provinsi, sembilan di antaranya termasuk kategori sedang. Sementara 24 provinsi lainnya masuk kategori rendah dan 1 provinsi masuk kategori sangat rendah.
DKI Jakarta menjadi provinsi dengan indeks aktivitas literasi tertinggi di Indonesia. Kondisi ini cukup wajar jika melihat berbagai fasilitas yang dimiliki. Dari sisi akses, misalnya, Jakarta menjadi daerah kedua di Indonesia dengan akses literasi terbaik setelah Daerah Istimewa Yogyakarta.
Pada 2018 terdapat 185 taman bacaan dan 7 perpustakaan berbasis teknologi informasi di Jakarta. Perpustakaan ini juga cukup banyak diakses masyarakat. Jika pada tahun 2016 terdapat 1,2 juta pengunjung perpustakaan, maka tahun 2018 meningkat menjadi 3,5 juta pengunjung. Jumlah pengunjung ini setara dengan sepertiga dari total penduduk di Jakarta.
Kondisi ini jauh berbeda dengan Papua, daerah dengan indeks literasi terendah di Indonesia. Pada jenjang pendidikan formal, tak banyak sekolah di Papua yang memiliki perpustakaan. Pada tingkat SD, hanya terdapat 780 perpustakaan di Papua dari total 2.512 sekolah. Artinya, hanya terdapat 31 persen SD di Papua yang dilengkapi perpustakaan. Aksesibilitas para pelajar makin minim karena hanya terdapat 182 perpustakaan dengan kategori baik.
Selain perpustakaan, fasilitas lainnya yang juga masih belum tersebar merata adalah toko buku. Belum semua kabupaten atau kota di Indonesia memiliki toko buku guna menunjang kebutuhan membaca masyarakat suatu wilayah. Merujuk data dari Komite Buku Nasional, terdapat sekitar 300 toko buku di Indonesia. Jumlah ini masih lebih sedikit daripada kabupaten/kota di Indonesia yang berjumlah 514 kabupaten dan kota.
Sebagai negara demokrasi, minimnya fasilitas dan budaya membaca tentu menjadi lampu kuning bagi Indonesia. Tentu, rendahnya minat membaca harus diiringi dengan pembangunan fasilitas membaca untuk menumbuhkan kebiasaan membaca sejak dini. Jika tidak, Indonesia akan selalu terjebak dalam ruang sempit literasi yang pada akhirnya berdampak pada stagnasi demokrasi seperti yang disinggung Daoed Joesoef lebih dari satu dekade silam. (Litbang Kompas)
|