Judul | Artikel Opini. Kampus merdeka |
Tanggal | 17 Februari 2020 |
Surat Kabar | Kompas |
Halaman | - |
Kata Kunci | |
AKD |
- Komisi IX - Komisi X |
Isi Artikel | Kampus Merdeka Saya tidak percaya bahwa kualitas pendidikan tinggi di Indonesia semakin jelek, hanya saja membutuhkan akselerasi dan upaya yang lebih strategis dan inovatif untuk mengatasi ketertinggalan dari negara-negara lain. Oleh Ketut Buda Artana Mengawali tulisan ini, saya mengakui bahwa saya adalah bagian dari orang yang terkejut dan ”exciting” terhadap penunjukan Nadiem Makarim, seorang anak muda (setidaknya lebih muda dari saya) sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI. Jabatan yang selama ini dianggap sakral milik mantan rektor atau sekurang- kurangnya dosen. Beberapa bulan setelah penunjukannya, keriuhan muncul sesaat setelah Mas Menteri (sebutan yang membuat saya tak nyaman, tapi begitu sebagian besar orang menyebutnya sekarang) menyampaikan pokok-pokok gagasannya tentang kampus merdeka. Empat pokok gagasan Mas Menteri bergulir menjadi wacana, mulai dari diskusi serius hingga guyonan ala grup Whatsapp saat ini. Gagasan itu antara lain tentang kebijakan dalam pembukaan program studi baru, sistem akreditasi perguruan tinggi, kebijakan untuk sebuah perguruan tinggi menjadi perguruan tinggi negeri badan hukum (PTNBH) serta hak belajar tiga semester di luar program studi. Saya lebih menilai Mas Menteri sedang testing the water. Melempar gagasan dengan harapan orang akan memberi komentar tanpa diminta. Dia berhasil! Berhasil membuat diskusi di kanal publik khususnya pendidik menjadi riuh rendah. Setidaknya berhasil juga membuat saya ikut menulis. Tulisan ini mencoba mengupas empat pokok gagasan Mas Menteri, tetapi tentunya tidak mewakili keseluruhan gagasan yang perlu dilakukan untuk membuat kampus di Indonesia semakin sejajar dengan kampus-kampus maju lainnya di dunia. Kemerdekaan yang diharapkan Mari kita mulai dengan pertanyaan pertama atas gagasan pokok Mas Menteri. Apakah hanya empat pokok gagasan itu saja yang dibutuhkan kampus? Adakah yang lebih substansial yang perlu dimerdekakan agar kampus menjadi lebih kontributif pada bangsa ini? Kalau kita kluster kemerdekaan yang diharapkan kampus (selanjutnya saya artikan sebagai otonomi), setidaknya ada empat kelompok besar yang dibutuhkan kampus: otonomi akademik dan penjaminan mutu, otonomi kelembagaan dan sumber daya manusia (SDM), otonomi keuangan, dan otonomi dalam berpikir dan menyampaikan gagasan. Otonom secara akademik tidak semata-mata diartikan sebagai kebebasan dalam membuka program studi. Lebih jauh lagi, ini harus diartikan bahwa kampus harus memberi akses seluas-luasnya kepada masyarakat untuk dapat mengenyam pendidikan tinggi yang berkualitas. Kampus harus diberikan kemerdekaan dalam mendesain kerja sama akademik, baik dengan institusi di dalam maupun luar negeri, dengan menjadikan kualitas dan sistem penjaminan mutu sebagai selling point. Hal yang sering dilupakan selama ini bahwa sebenarnya sivitas akademikalah yang paling memahami apa ekselensi dalam aspek pendidikan/riset/inovasi yang harus dikembangkan di kampus dengan mempertimbangkan potensi sumber daya dan lingkungan di mana kampus berada. Selanjutnya, gelar akademik dan nomenklatur program studi yang selama ini banyak menjadi masalah seharusnya menjadi domain kampus dalam mengusulkannya kepada pemerintah (bottom-up). Beban kurikulum dalam masa studi yang tidak lama harus diotonomikan kepada kampus dalam mendesainnya, untuk memastikan desain capaian pembelajaran dapat dipenuhi oleh lulusannya. Perizinan untuk melakukan program akademik kolaboratif serta riset dengan institusi dan peneliti luar negeri masih dirasa memberatkan kampus, padahal pada saat yang sama kampus diminta untuk memperkuat jejaring dan mampu menghasilkan luaran riset berkelas dunia. Layaknya pepatah, bekerja samalah dengan orang-orang hebat agar Anda semakin memiliki peluang menjadi orang hebat. Dalam konteks otonomi kelembagaan dan pengembangan SDM, campur tangan pemerintah dalam penentuan struktur organisasi di kampus masih sangat kental dan acapkali tidak sesuai dengan kelenturan organisasi yang diharapkan jadi penggerak produktivitas akademik/riset/inovasi. Pemilihan pimpinan perguruan tinggi masih melibatkan 35 persen suara menteri. Opsi 35 persen suara milik menteri ini juga sering kali menimbulkan stigma politisasi kampus. Saya sendiri lebih sepakat menteri punya hak suara 100 persen dalam memutuskan dengan mempertimbangkan aspirasi sivitas akademika dalam tahapan pemilihan sebelumnya. Lain daripada itu, sistem promosi jabatan dan kepangkatan hendaknya tidak dibuat generik, dengan mempertimbangkan bahwa pada bidang/prodi tertentu ukuran kinerja sebagai dosen dan peneliti tidak cocok menggunakan pola generik yang ditetapkan pemerintah. Dosen desain dan seni tidak terlalu membutuhkan publikasi ilmiah, kinerja mereka dapat diukur dalam bentuk purwarupa atau penciptaan karya seni. Pada saat yang sama, kampus diminta untuk meningkatkan produktivitas lulusan pascasarjana, sementara aturan pendirian pascasarjana terkait dengan homebase dirasa menyulitkan. Seharusnya, untuk pertimbangan efisiensi dan produktivitas akademik, satu dosen dapat memiliki lebih dari satu homebase, sepanjang memiliki waktu untuk memenuhi kewajiban Tridharma di homebase-nya tersebut. Dengan mempertimbangkan kemampuan pemerintah untuk mendanai kampus agar dapat memberikan kualitas pendidikan yang baik, pemerintah hendaknya memberikan kemerdekaan kluster ketiga, yakni otonomi kampus dalam mengelola dan memanfaatkan semua potensinya untuk bisa mendatangkan pemasukan (revenue generation) dengan sistem pertanggungjawaban berbasis output dan outcome. Beberapa kampus otonom (PTNBH) harus diberi kebebasan untuk memanfaatkan aset (kekayaan awal) dalam bentuk kerja sama dengan mitra, termasuk di dalamnya menjalankan unit bisnis yang sesuai dengan potensi yang dimiliki kampus tersebut. Upaya menggerakkan endowment fund perlu selalu didukung yang pada ujungnya dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan kualitas akademik dan layanannya. Pada saat yang sama, PTNBH dapat diberikan tanggung jawab tambahan untuk membantu pemerintah dalam membina perguruan tinggi lainnya melalui skema resource sharing dengan dukungan pendanaan dari pemerintah. Terakhir, pemerintah perlu menguatkan kemandirian kampus dengan memberikan kebebasan yang lebih bagi sivitas akademika dalam menyampaikan pendapat sesuai dengan kepakaran dan berekspresi sesuai dengan kebenaran akademik yang diyakininya. Pertanyaan selanjutnya, siapa yang menjamin bahwa kampus akan melaksanakan fungsinya jika terlalu banyak kemerdekaan yang diberikan kepadanya? Perlukah diterbitkan aturan untuk memastikan ketaatan kampus akan tugas pokok dan fungsinya? Jawabannya jelas, kampus tidak butuh lebih banyak peraturan. Pergeseran peran pemerintah Pemerintah sebaliknya memiliki peran lebih untuk menetapkan tata nilai atas empat kemerdekaan yang diuraikan tadi. Ekselensi, kreatif dan inovatif, terbuka, afirmatif, life long learning, dan aksesibilitas menjadi tata nilai dan semangat yang akan mengarahkan kebebasan akademik dan penjaminan mutunya. Kampus harus secara dewasa menerjemahkan nilai-nilai tersebut dalam tata kebijakan dan tata kehidupan di kampus. Otonomi, efisiensi, dan kepemimpinan yang kuat menjadi rambu atas kebebasan dalam pengelolaan kelembagaan dan sumber daya. Kampus yang merupakan kumpulan orang dewasa juga harus diperlakukan sebagai orang dewasa, tanpa terlalu banyak diatur dalam menentukan tata kelembagaan dan tata kelola sumber daya yang dimilikinya. Kemerdekaan dalam pengelolaan keuangan harus tetap menjaga prinsip-prinsip akuntabilitas, sinergitas, dan financially sustainable. Sistem supervisi perlu ditumbuhkan untuk memastikan kampus, khususnya pimpinan perguruan tinggi, tidak terjebak dalam permasalahan hukum terkait dengan pengelolaan keuangan. Integritas dan etika adalah nilai yang menjadi landasan dalam pengejawantahan kebebasan berpendapat dan berekspresi masyarakat kampus. Dan kampus dapat secara mandiri menyelesaikan masalah yang muncul melalui kode etik yang ditetapkan pimpinan perguruan tinggi. Lantas, apa peran pemerintah melalui Kemendikbud? Dalam konteks kemerdekaan kampus, peran pemerintah harus sedikit bergeser. Pemerintah harus lebih berbesar hati untuk lebih fokus pada upaya penetapan garis-garis besar kelembagaan kampus, penggunaan pendekatan supervisi dibandingkan dengan audit, penetapan indikator kinerja yang lebih berorientasi output dan outcome, penetapan garis besar penjaminan mutu dan arah pengembangan program pendidikan/riset/inovasi, penyediaan pendanaan secara block grant yang proporsional dan obyektif, serta tentunya ikhlas memberi ruang yang lebih luas dalam memastikan kemerdekaan akademik dalam berpikir dan berpendapat. Saya tidak percaya bahwa kualitas pendidikan tinggi di Indonesia semakin jelek, hanya saja membutuhkan akselerasi dan upaya yang lebih strategis dan inovatif untuk mengatasi ketertinggalan kita dibandingkan dengan kualitas pendidikan tinggi di negara-negara terkemuka lainnya. Ide-ide segar perlu dibawa oleh Mas Menteri dalam meningkatkan percepatan kemajuan, tanpa melepaskan diri dari akar budaya. Dan upaya Mas Menteri untuk testing the water dapat dikatakan berhasil untuk menggali ide. Beberapa pihak sudah mulai menggeliat untuk ikut berkontribusi dalam percepatan tersebut. Sukses Mas! (Ketut Buda Artana, Guru Besar ITS Surabaya) |
Kembali ke sebelumnya |