Isi Artikel |
Kualitas Pendidikan
Rapor Merah Pendidikan
Sebaik apa pun kebijakan yang telah dan akan dicanangkan oleh Menteri Nadiem jika tidak membenahi semua standar yang diperlukan, akan sulit diharapkan membuahkan hasil yang optimal.
Oleh Hafid Abbas
Sungguh mengkhawatirkan. Dalam beberapa tahun terakhir, terlihat tanda-tanda yang amat berbahaya bagi masa depan peradaban negeri ini, yakni kecenderungan-kecenderungan yang bertentangan dalam pengelolaan pendidikan nasional.
Pertama adalah paradoks kecenderungan semakin besarnya anggaran pendidikan di satu sisi dan semakin merosotnya mutu pendidikan kita di sisi lain. Sebagai contoh, pada APBN 2018, alokasi anggaran pendidikan mencapai Rp 444 triliun dan pada 2020 angka ini meningkat ke Rp 508 triliun.
Di sisi lain, ranking PISA Indonesia turun dari urutan ke-65 (2015) menjadi ke-72 (2018) di antara 77 negara karena skor kemampuan membaca, matematika, dan sains anak-anak Indonesia semuanya terus menurun.
Data lain, Bank Dunia melaporkan, kualitas pendidikan Indonesia masih terendah di lingkup ASEAN, 55 persen anak usia 15 tahun secara fungsional buta huruf, dibandingkan kurang dari 10 persen di Vietnam (CNN, 7/6/2018). Bahkan berdasarkan tabel liga global yang diterbitkan firma pendidikan Pearson (2012), sistem pendidikan Indonesia dinilai terburuk di dunia, dan yang terbaik adalah Finlandia dan Korea Selatan.
Kedua, paradoks anggaran sertifikasi guru yang terus meningkat, tetapi dampaknya pada peningkatan mutu pendidikan nasional ternyata belum terlihat. Pada APBN 2017, sebagai contoh, anggarannya mencapai Rp 75,2 triliun, dan pada tahun berikutnya naik ke angka Rp 79,6 triliun.
Bahkan berdasarkan tabel liga global yang diterbitkan firma pendidikan Pearson (2012), sistem pendidikan Indonesia dinilai terburuk di dunia, dan yang terbaik adalah Finlandia dan Korea Selatan.
Namun dalam publikasi Bank Dunia, ”Spending More or Spending Better: Improving Education Financing in Indonesia” (2013) menunjukkan bahwa tidak terdapat dampak program sertifikasi guru terhadap peningkatan mutu pendidikan. Yang berubah adalah perbaikan kesejahteraan guru yang ditandai dengan menurunnya jumlah guru yang kerja rangkap secara drastis dari 33 persen sebelum sertifikasi ke 7 persen sesudah sertifikasi (halaman 73).
Ketiga adalah paradoks pengangkatan sekitar 100.000 guru setiap tahun, tetapi jumlah guru sudah amat surplus menurut standar internasional. Dengan sekitar 50 juta jumlah siswa pendidikan dasar dan menengah dengan 4 juta guru (Kemdikbud, 20/12/2019), berarti setiap guru hanya mengajar 12-13 siswa. Sementara rata-rata rasio internasional 20-21 siswa per guru. Jepang rasionya 27-28 siswa per guru (UNESCO 2017). Dengan menggunakan standar internasional, Indonesia kelihatannya sudah kelebihan sekitar 1,6 juta guru.
Selamatkan pendidikan nasional
Kecenderungan-kecenderungan yang amat berbahaya ini mengingatkan saya pada analogi Charles Handy dalam bukunya The Age of Unreason (1995) yang bercerita tentang katak yang dimasukkan dalam panci yang bersuhu normal. Api dinyalakan dan panci itu dipanasi.
Pada awalnya, kalau katak itu tak diganggu, ia kelihatan cukup puas dan rupanya lingkungan barunya cukup menyenangkan baginya. Lambat laun ketika suhu pun naik mendekati titik didih, katak menunjukkan perubahan perilaku yang makin lama makin tidak tenang, tetapi dengan tercapainya derajat air mendidih, katak itu ikut terebus.
Eksperimen ini memberi pelajaran kepada kita suatu lonceng peringatan karena tak mustahil kita sebagai bangsa pada suatu hari kelak akan menyesal selamanya apabila kita gagal menyelamatkan pendidikan nasional kita hari ini. Tentu tak ada jalan pintas untuk segera keluar dari keterpurukan pendidikan kita hari ini. Namun, kelihatannya, induk masalahnya berkisar di dua hal pokok ini.
Pertama adalah tidak diberlakukannya standardisasi pendidikan dengan seluruh aspeknya secara sungguh-sungguh. Sebagai ilustrasi, beberapa waktu lalu, saya berkunjung ke satu sekolah dasar di Bandung Barat. Sekolah ini memiliki 60 siswa, sebagian besar putri.
Eksperimen ini memberi pelajaran kepada kita suatu lonceng peringatan karena tak mustahil kita sebagai bangsa pada suatu hari kelak akan menyesal selamanya apabila kita gagal menyelamatkan pendidikan nasional kita hari ini.
Luas bangunan dan halaman sekolah terlihat tak lebih dari 200 meter persegi. Ruang belajar siswa kelas I dan kelas II hanya disekat dengan tripleks, sempit, dan jika mereka mendapat pelajaran secara bersamaan, akan terganggu. Untuk kelas III dan kelas IV, tempatnya di ruang tamu rumah kepala sekolah yang berjarak hanya sekitar 30 meter dari sekolah dengan suasana belajar seperti kelas I dan II.
Ruang belajar kelas V dan VI belum tersedia karena sekolah ini baru berusia empat tahun. Di sekolah ini tak terlihat ada ruang guru dan perpustakaan, bahkan tak ada halaman memadai yang memungkinkan anak bisa bermain.
Keadaan sekolah yang saya amati ini mengingatkan saya pada data yang disampaikan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Mohammad Nuh (2012) bahwa 88,8 persen sekolah di Indonesia, mulai dari SD hingga SMA/SMK, belum melewati mutu standar pelayanan minimal, 10,15 persen sudah memenuhi, dan hanya 0,65 persen sekolah yang dinilai bertaraf internasional.
Sekadar perbandingan, meski Singapura negaranya amat kecil, keadaan sekolah-sekolahnya umumnya punya halaman luas, bangunannya standar, lengkap dengan lapangan bola, lapangan basket. Jendela ruang-ruang kelasnya berukuran besar-besar dan dirancang sedemikian rupa agar menghadap ke lapangan atau taman.
Di depan kelas koridornya juga lebar-lebar, ada taman untuk pelajaran sains, ruang multimedia, komputer, ruang dokter, psikolog, perpustakaan, kantin, dan aula pertemuan. Di setiap kelas ada loker untuk setiap anak, jadi buku-buku pelajaran bisa disimpan di sana jika tidak ingin buku-buku itu dibawa pulang.
Keadaan di jenjang pendidikan tinggi kelihatannya juga tak jauh berbeda dengan keadaan di jenjang pendidikan dasar dan menengah. Di antara 4.715 institusi pendidikan tinggi di seluruh Tanah Air, ternyata hanya 96 yang mendapat akreditasi A (Kemristekdikti, 2019).
Sebagai ilustrasi, ada satu universitas di kawasan Menteng Jakarta, gedungnya sempit, hanya dua ruko yang disatukan, lingkungannya dipadati pedagang kaki lima. Ketika saya mampir di kampus ini, hanya menjumpai seorang pegawai yang menangani semua urusan kampus. Ternyata universitas ini hanya menampung mahasiswa kelas malam yang pulang kerja. Tidak terkesan universitas ini memenuhi standar yang berorientasi pada mutu.
Di sinilah urgensi kehadiran pimpinan Kemdikbud untuk segera membina dan menertibkan sekolah-sekolah ini agar memenuhi standar. Sebaik apa pun kebijakan yang telah dan akan dicanangkan oleh Menteri Nadiem jika tidak membenahi semua standar (kompetensi lulusan, isi, proses, tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, pembiayaan dan penilaian) yang diperlukan, maka akan sulit diharapkan membuahkan hasil yang optimal.
Di sinilah urgensi kehadiran pimpinan Kemdikbud untuk segera membina dan menertibkan sekolah-sekolah ini agar memenuhi standar.
Bagaimana mungkin anak dapat menikmati suasana ”Merdeka Belajar” dan ”Kampus Merdeka” sesuai harapan Mas Menteri jika lingkungan belajarnya jauh di bawah persyaratan minimal.
Pendidikan dan politik praktis
Kedua, sejak lebih satu dekade terakhir, terdapat pergeseran arah kebijakan pengelolaan pendidikan secara keseluruhan, dari pendekatan teknis profesional ke kepentingan politik praktis, pencitraan dan uji coba. Keadaan yang paling nyata terjadi di tingkat provinsi, kabupaten/kota, kecamatan, hingga ke tingkat sekolah sebagai unit birokrasi pendidikan terbawah. Bahkan terkesan urusan pendidikan telah direduksi para elite di pusat dan daerah menjadi ”urusan kuitansi”.
Dengan otonomi daerah, bupati/wali kota terpilih dengan bebas menempatkan orang-orang dekatnya yang telah dinilai berjasa atas kemenangannya di pilkada untuk mengisi semua pos pendidikan. Ada daerah yang mempromosikan seseorang yang mengurus urusan pasar ke urusan pendidikan, ada pula yang berasal dari urusan pemakaman ke dinas pendidikan.
Masuknya kepentingan politik praktis ke ranah pendidikan mengingkari konvensi UNESCO dan ILO (1966) yang merekomendasikan agar jabatan apa saja yang terkait urusan pendidikan haruslah diprioritaskan pada urutan pertama kepada guru yang sudah berpengalaman dan mengerti persoalan pendidikan (alinea 43).
Semestinya, semua posisi di urusan pendidikan, seperti pengawas, kepala dinas, direktur, termasuk menteri pendidikan, staf khusus atau jabatan apa saja yang terkait urusan pendidikan, haruslah sesuai dengan rekomendasi dua badan PBB itu. Seperti halnya di bidang kesehatan, semestinya semua jabatan yang terkait urusan kesehatan, termasuk menteri kesehatan, diprioritaskan pada mereka yang berpendidikan kedokteran dan yang berpengalaman di urusan kesehatan.
KOMPAS/P RADITYA MAHENDRA YASA
Dua poster yang berisi tuntutan dibawa para pengunjuk rasa perwakilan sekolah swasta di depan Kantor DPRD Jateng, Kota Semarang, Jawa Tengah, Senin (16/2/2020). Mereka menuntut berbagai persoalan kebijakan pemerintah hingga kesejahteraan guru.
Semoga dalam waktu dekat, negara sungguh-sungguh hadir untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dengan sungguh-sungguh membebaskan dunia pendidikan dari permainan politik praktis dengan sungguh-sungguh mengarahkan semua kebijakan pendidikan untuk meningkatkan standar pendidikan demi keselamatan hari depan kita bersama.
(Hafid Abbas,
Guru Besar FIP Universitas Negeri Jakarta
dan Profesor Tamu di Tsai Lecture Series, Harvard University, 2006)
|