Selamat datang di website E-PAPER PERPUSTAKAAN DPRRI.

Koleksi Perpustakaan DPR RI

Judul Antisipasi Dampak Kenaikan Iuran JKN-KIS
Tanggal 05 Nopember 2019
Surat Kabar Kompas
Halaman 1-11
Kata Kunci
AKD - Komisi IX
Isi Artikel Antisipasi Dampak Kenaikan Iuran JKN-KIS Kenaikan iuran Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat mulai direspon sebagian peserta dengan turun kelas layanan. Peserta pun berharap ada perbaikan layanan terkait antrean. Oleh TIM KOMPAS 5 November 2019 · 6 menit baca KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN Suasana pengurusan iuran jaminan kesehatan di kantor Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan, Pancoran, Jakarta, Senin (4/11/2019). Peraturan Presiden Nomor 75 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan telah mengatur besaran penyesuaian iuran peserta program Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS). Dari aturan ini, pemerintah menetapkan iuran peserta mandiri kelas 1 sebesar Rp 160.000, kelas 2 sebesar Rp 110.000, dan kelas 3 sebesar Rp 42.000. Penyesuaian nilai iuran peserta Program Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat perlu diiringi dengan penguatan fasilitas kesehatan tingkat pertama.KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN (HAS)04-11-2019 JAKARTA, KOMPAS – Pemerintah menaikkan iuran kepesertaan Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat atau JKN-KIS hingga 100 persen per 1 Januari 2020. Meski ada yang menolak, sebagian peserta tak mempermasalahkannya walau  berharap ada perbaikan layanan khususnya terkait antrean. Maya (59), warga Gandaria Selatan, Jakarta Selatan sudah berkali-kali berobat ke Puskesmas Kelurahan Gandaria Selatan dan Puskesmas Kecamatan Cilandak untuk memeriksakan gigi, telinga dan pemeriksaan kesehatan umum. Layanan yang diberikan lumayan baik walau antrean berobat bisa mencapai beberapa jam. Mengetahui rencana pemerintah menaikkan iuran JKN-KIS hingga dua kali lipat mulai tahun depan, Maya yang semula menjadi peserta untuk layanan kelas I  menurunkan kelas kepesertaannya menjadi kelas II sejak Oktober lalu. “Iuran BPJS Kesehatan (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan, sebutan populer masyarakat untuk JKN-KIS) kelas I yang naik jadi Rp 160.000 terlalu tinggi buat saya. Jadi, saya turun ke kelas II yang harganya Rp 110.000,” katanya saat ditemui Kompas di Puskesmas Cilandak, Jakarta Selatan, Senin 94/11/2019). Kenaikan sebesar  itu masih bisa diterima dan tak terlalu tinggi baginya. Semula, peserta JKN-KIS kelas I harus mengiur Rp 80.000 per orang per bulan. Sesuai Peraturan Presiden Nomor 75 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Perpres Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan,  iuran peserta kelas I jadi Rp 160.000. Sedangkan untuk peserta kelas II yang semula membayar Rp 51.000 per orang per bulan, maka ke depannya harus membayar Rp 110.000. Rencana turun kelas kepesertaan JKN-KIS juga diungkap Yanto (60),  warga Gandaria Selatan lainnya. Ia berencana turun kelas layanan sebelum tarif iuran diberlakukan mulai 1 Januari 2020 mendatang. Meski iuran kelas II yang baru tetap lebih tinggi dibanding iuran kelas I lama, namun besaran kenaikannya masih bisa diterimanya. Selain turunnya kelas layanan, Kepala Bidang Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar mengingatkan kenaikan iuran juga berpotensi meningkatkan jumlah peserta nonaktif, terdaftar jadi peserta tapi tak rutin membayar iuran. Situasi itu akan terjadi pada kelompok peserta mandiri dari masyarakat miskin dan tak mampu yang tidak tercakup sebagai peserta penerima bantuan iuran (PBI). “Iuran yang terlalu tinggi akan menurunkan kemampuan dan keinginan membayar iuran,” katanya. Iuran yang terlalu tinggi akan menurunkan kemampuan dan keinginan membayar iuran. Kompas/Hendra A Setyawan Suasana pengurusan iuran jaminan kesehatan di kantor Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan, Pancoran, Jakarta, Senin (4/11/2019). Peraturan Presiden Nomor 75 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan telah mengatur besaran penyesuaian iuran peserta program Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS). Dari aturan ini, pemerintah menetapkan iuran peserta mandiri kelas 1 sebesar Rp 160.000, kelas 2 sebesar Rp 110.000, dan kelas 3 sebesar Rp 42.000. Penyesuaian nilai iuran peserta Program Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat perlu diiringi dengan penguatan fasilitas kesehatan tingkat pertama. Kompas/Hendra A Setyawan Antrean Meski demikian, Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto mengatakan penyesuaian besaran iuran JKN-KIS tentu akan diiringi pembenahan kualitas layanan. “Pembenahan di FKTP (fasilitas kesehatan tingkat pertama) menjadi perhatian,” katanya. Pelayanan yang diberikan di FKTP, lanjut Terawan, harus lebih baik, termasuk untuk mengatasi 144 penyakit dasar. Kualitas dan kompetensi tenaga medis dan kesehatan juga akan terus diperbaiki. Di luar persoalan layanan medis yang diberikan, keluhan terbesar masyarakat umumnya antara lain terkait panjangnya antrean dan tidak tersedianya semua jenis obat. Antrean berjam-jam itu terjadi mulai dari pendaftaran, antre dilayani dokter, hingga mendapat obat dari bagian farmasi atau apotek. Siapapun pasti bosan dan lelah menunggu berjam-jam, apalagi bagi orang sakit yang antre berobat. Matrais (68), peserta JKN-KIS yang ditemui di RSUD Tarakan, Jakarta Pusat untuk memeriksa jantungnya mengaku menghabiskan 3,5 jam untuk pendaftaran. Untuk diperiksa  dokter, dia harus antre lagi berjam-jam demi diperika sekitar 15 menit.  Matrais yang tiba di rumah sakit pukul 08.30, biasanya baru pulang pukul 16.00 setelah dapat obat. Antrean panjang juga dialami Yusran (53) warga  Tanjung Balai, Sumatera Utara saat menjalani rawat jalan rujukan di RSUD Pirngadi,  Medan. Ia menghabiskan waktu lebih dari 5 jam, sejak mendaftar hingga mendapat obat. Namun itu tidak cukup, karena Selasa (5/11/2019) ini, Yusran diminta datang lagi untuk pemeriksaan ultrasonografi (USG) dan mengambil hasil laboratorium. Dengan antrean berjam-jam itu, S Purba (55), warga Medan yang berobat di RSUD Pirngadi mengatakan kenaikan iuran  JKN-KIS  terasa sangat berat ditengah minimnya kualitas layanan. Baginya, antre di dokter sangat berat karena meski sudah mendaftar pukul 10.00, dokter baru ada pukul 13.000. “Selama tiga jam menunggu di poliklinik gigi tidak ada dokter. Padahal, ketersediaan dokter di jam pelayanan  itu kebutuhan  dasar,” katanya. Panjangnya antrean itu makin memberatkan khususnya bagi pasien luar kota yang mendapat rujukan di rumah sakit dengan tipe lebih tinggi di kota lain. Maryono (39) warga Lamongan, Jawa Timur yang mengantarkan anaknya Aflin Anugrah (6) berobat ke RSUD Soetomo, Surabaya. Mereka berangkat dari Lamongan pukul 05.00 dan tiba di RSUD Soetomo pukul 07.00. Meski masih pagi, nyatanya antrean sudah panjang hingga dia mendapat nomor antrean 120. “Jangan hanya iuran dinaikkan, tetapi pelayanan harus ditingkatkan,” kata Maryoto yang merupakan peserta PBI. ------------------------------------------------------------------------------------------------------------ Kompas/Hendra A Setyawan Suasana pengurusan iuran jaminan kesehatan di kantor Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan, Pancoran, Jakarta, Senin (4/11/2019). Peraturan Presiden Nomor 75 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan telah mengatur besaran penyesuaian iuran peserta program Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS). Dari aturan ini, pemerintah menetapkan iuran peserta mandiri kelas 1 sebesar Rp 160.000, kelas 2 sebesar Rp 110.000, dan kelas 3 sebesar Rp 42.000. Penyesuaian nilai iuran peserta Program Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat perlu diiringi dengan penguatan fasilitas kesehatan tingkat pertama. Kompas/Hendra A Setyawan ------------------------------------------------------------------------------------------------------------------ Ketersediaan obat Selain antrean, ketersediaan obat juga banyak dikeluhkan. Ismail (48), keluarga pasien pengguna JKN-KIS dari Cicurug, Sukabumi, Jawa Barat mengaku tidak masalah naiknya iuran JKN-KIS asalkan layana pengobatan makin baik. Masalahnya, selama memakai  JKN-KIS, dia sering tidak mendapatkan obat yang diminta dokter di apotek RS. “Mau tidak mau saya harus ambil obat di luar RS yang tidak masuk dalam jaminan BPJS Kesehatan. Karena butuh, saya tetap membelinya,” katanya. Kenaikan iuran JKN-KIS juga berpotensi menimbulkan beban keternagakerjaan bagi pemberi kerja karena berlangsung ditengah lesunya ekonomi Indonesia. Terlebih, batas atas gaji per bulan yang jadi dasar perhitungan iuran peserta pekerja penerima upah naik dari Rp 8 juta jadi Rp 12 juta. Kenaikan itu membuat pengusaha harus menyiapkan dana tambahan untuk membayar iuran pekerjanya. “Kami tidak keberatan bergotong royong asalkan kondisi ekonomi dan bisnis di Indonesia memadai,” kata Ketua Ketenagakerjaan dan Jaminan Sosial Asosiasi Pengusaha Indonesia Harijanto. Lesunya ekonomi Indoneia itu tampak dari proyeksi Bank Dunia yang mengoreksi proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia dari 5,1 persen jadi 5,0 persen pada 2019 dan 5,2 persen jadi 5,1 persen pada 2020. Sedangkan Dana Moneter Internasional menurunkan perkiraan pertumbuhan ekonomi Indonesia dari 5,2 persen pada 2019 dan 2020 menjadi 5 persen pada 2019 dan 5,1 persen pada 2020. Wakil ketua Umum Bidang ketengakerjaam dan Hubungan Industrial Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Anton J supit mengingatkan kenaikan iuran JKN-KIS dikhawatirkan akan membuat investor tidak tertarik menanamkan modalnya di Indonesia. Karena itu pemerintah harus menemukan titik tengah hingga iklim investasi di Indonesia tetap kondusif. (AYU/DAN/NSA/SYA/RTG/JUD/TAN/MZW)
  Kembali ke sebelumnya