Selamat datang di website E-PAPER PERPUSTAKAAN DPRRI.

Koleksi Perpustakaan DPR RI

Judul Artikel Opini. Ujian Nasional. Evaluasi pendidikan
Tanggal 23 Maret 2020
Surat Kabar Kompas
Halaman -
Kata Kunci
AKD - Komisi X
Isi Artikel UJIAN NASIONAL. Evaluasi Pendidikan Negara harusnya hadir dan serius meningkatkan kualitas pendidikan melalui kebijakan evaluasi pendidikan yang menumbuhkan kultur pemelajaran otentik, fokus pada persoalan, berkesinambungan, adil, serta patuh pada UU.   Oleh DONI KOESOEMA A. Nadiem Makarim pada 2021 akan mengganti kebijakan Ujian Nasional dengan Asesmen Kompetensi Minimum (AKM). Tanpa desain evaluasi pendidikan yang fokus pada persoalan, berkesinambungan, menyeluruh dan adil, perubahan kebijakan hanya akan melahirkan kebingungan dan kontraproduktif. Tiga regulasi yang lahir dari tangan Nadiem terkait konsep evaluasi pendidikan yang perlu dikritisi adalah Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) No 43 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ujian yang Diselenggarakan Satuan Pendidikan dan Ujian Nasional, Permendikbud No 44 tentang Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) pada Taman Kanak-Kanak, Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, Sekolah Menengah Atas, dan Sekolah Menengah Kejuruan, dan Permendikbud No 6 Tahun 2020 tentang Penerimaan Mahasiswa Baru Program Sarjana Pada Perguruan Tinggi Negeri (PTN). Gagasan utama tentang evaluasi pendidikan di dalam tiga permendikbud ini adalah penghapusan Ujian Sekolah Berstandar Nasional (USBN), dikembalikannya otonomi satuan pendidikan untuk menyelenggarakan ujian, termasuk di dalamnya kebebasan dan keleluasaan mempergunakan berbagai moda ujian, perubahan kebijakan UN, perubahan jalur dan kuota PPDB, dan perubahan kebijakan terkait Penerimaan Mahasiswa Baru di PTN. Terkait AKM sejauh ini belum ada dasar regulasi. Namun, sedikit gagasan tentang AKM sudah beredar di dunia maya melalui paparan Nadiem dalam bentuk power point pada saat menjelaskan konsep Merdeka Belajar. Terkait AKM sejauh ini belum ada dasar regulasi. Catatan kritis Ada lima catatan kritis kebijakan evaluasi pendidikan dalam jargon Merdeka Belajar yang digagas Nadiem. Pertama, Nadiem masih fokus pada ujian sebagai sekadar pencarian nilai angka. Ini diperkuat melalui Pasal 12 Ayat 3 dalam Permendikbud No 43/2019 yang malah memberikan kesempatan UN ulang untuk peserta didik tingkat SMP. Padahal, tahun sebelumnya, UN perbaikan (sekarang disebut dengan UN Ulang) hanya diberikan pada peserta didik di tingkat SMA/SMK yang belum mencapai kriteria nilai ambang batas Standar Kompetensi Lulusan (SKL) minimal yang ditetapkan BSNP. Pasal ini tidak mendorong semangat merdeka belajar, melainkan mendorong belajar untuk mencari nilai. Kedua, konsep AKM yang ditawarkan Nadiem belum mengukur SKL yang menjadi amanat dalam UU Sistem Pendidikan Nasional Pasal 58 Ayat 2 yang menyatakan: “Evaluasi peserta didik, satuan pendidikan, dan program pendidikan dilakukan oleh lembaga mandiri secara berkala, menyeluruh, transparan, dan sistemik untuk menilai pencapaian standar nasional pendidikan”. Ketentuan Pasal 58 Ayat 2 ini diatur lebih lanjut di PP No 13/2015  Pasal 66 yang menyatakan untuk menilai pencapaian kompetensi lulusan secara nasional proses penilaiannya dilakukan dalam bentuk UN pada mata pelajaran tertentu (Pasal 66). Konsep Merdeka Belajar ala Nadiem baru perkuat peranan guru sebagai pelaku utama yang mengevaluasi individu peserta didik dalam proses pembelajaran dan mengembalikan kewenangan dan otonomi penilaian pada satuan pendidikan yang menjamin terlaksananya SKL di seluruh mata pelajaran sehingga satuan pendidikan dapat menentukan kelulusan peserta didik. Yang belum tersentuh dalam kebijakan Nadiem adalah bagaimana memastikan setiap peserta didik di tingkat tertentu telah mencapai SKL yang ditentukan, dan proses pengukuran dan penilaian ini dilakukan lembaga independen sehingga hasilnya obyektif, berkeadilan, akuntabel. AKM tak secara persis dapat menggantikan UN yang fungsinya menilai ketercapaian standar nasional pendidikan (terutama SKL) per peserta didik secara nasional pada tingkat pendidikan tertentu dan dilakukan oleh lembaga independen sehingga hasilnya obyektif, transparan dan berkeadilan. AKM ternyata hanya akan menilai kualitas minimum kemampuan literasi dan numerasi satuan pendidikan di Indonesia pada kelas tertentu. Pengambilan populasi untuk pengukurannya pun tak dilakukan pada seluruh populasi, melainkan hanya berdasar beberapa sampel peserta didik saja, sehingga hasil AKM tak dapat dipakai untuk menilai ketercapaian SKL individu secara nasional. AKM hanya bisa menjadi dasar penilaian rapor sekolah pada domain kompetensi literasi dan numerasi saja. AKM ternyata hanya akan menilai kualitas minimum kemampuan literasi dan numerasi satuan pendidikan di Indonesia pada kelas tertentu. Nilai rapor yang ditentukan oleh satuan pendidikan, meskipun dapat mewakili penilaian per individu peserta didik per mata pelajaran pada tahapan tertentu secara nasional bisa juga diterjemahkan sebagai alat pengukuran SKL. Namun penilaian ini tetap tak dapat menjadi alat kontrol kualitas pendidikan nasional karena nilai rapor sekolah mudah sekali dimanipulasi dan tak obyektif. Ia hanya dapat jadi alat penjamin mutu internal satuan pendidikan, bukan eksternal, oleh lembaga yang otonom dan mandiri seperti diamanatkan oleh UU Sisdiknas. Potensi subyektivitas dalam pengisian rapor sangat mungkin terjadi. Nadiem lupa, amanat dalam UU Sisdiknas Pasal 58 Ayat 2 bukan hanya merupakan amanat untuk mengukur dan mengevaluasi satuan pendidikan dan program pendidikan, melainkan juga mengukur dan menilai ketercapaian standar nasional pendidikan dalam diri peserta didik secara nasional oleh lembaga independen. AKM dan nilai rapor jelas tak mencukupi untuk dapat diklaim sebagai pelaksanaan amanat UU Sisdiknas Pasal 58 Ayat 2. Ketiga, kebijakan Nadiem tak fokus pada akar pokok persoalan penilaian pendidikan, yaitu sistem penilaian yang gagal mendorong tumbuhnya  obyektivitas dan otentisitas hasil belajar. Akibatnya, sistem penilaian kita di tingkat pendidik dan satuan pendidikan menjadi sekadar tipu-tipu. Tipu-tipu penilaian hasil belajar ini dimulai dari kebijakan tentang Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM). Konsep KKM yang pada mulanya bertujuan menilai kemajuan belajar peserta didik secara bertahap, yang bila belum baik akan dibantu melalui proses remedial, dalam praktik berubah jadi nilai minimal di dalam rapor. Akibatnya, anak yang paling malas pun dalam rapor akan memperoleh nilai minimal KKM yang ditetapkan sekolah. Kondisi ini merusak otentisitas, mendemoralisasi guru, menyingkirkan keunikan potensi individu, dan melahirkan individu pemalas belajar. Kebijakan KKM yang tak melahirkan kultur pembelajaran otentik tetap subur karena persoalan keempat, yaitu kebijakan Nadiem tak utuh dan berkelanjutan. Saya tak melihat bagaimana sistem penilaian pendidikan mulai dari penilaian oleh pendidik, satuan pendidikan, dan pemerintah terkait satu sama lain dengan proses pendidikan dari jenjang satu ke jenjang berikutnya, dari pendidikan dasar sampai pendidikan tinggi, sehingga sistem ini mengembalikan gairah belajar dan menumbuhkan pemelajaran otentik. Akibatnya, anak yang paling malas pun dalam rapor akan memperoleh nilai minimal KKM yang ditetapkan sekolah. Selama jalur prestasi dalam PPDB lebih mengutamakan prestasi (tahun ini kuota jalur prestasi dinaikkan jadi 30 persen), maka manipulasi KKM tak akan dapat dihindari. Selama jalur undangan seleksi PTN masih tinggi persentasenya (tahun ini kebijakan tetap 20 persen), sekolah akan gemar memanipulasi KKM dan nilai rapor agar peserta didiknya lolos jalur tanpa tes ke PTN. Bila Nadiem ingin kualitas PTN kita unggul dan mampu bersaing, seleksi PTN harus obyektif menyeleksi calon mahasiswa terbaik secara obyektif. Seleksi ini lebih obyektif bila dilakukan melalui Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SBMPTN) jalur tulis. Hapuskan jalur undangan, atau minimal kurangi kuotanya menjadi 5 persen saja. Kurangi jalur mandiri sampai 10 persen. Beri kuota 85 persen bagi anak-anak seluruh Indonesia bersaing secara fair dan obyektif melalui jalur tulis. Dengan cara ini, manipulasi nilai rapor untuk jalur undangan akan berkurang. Nilai rapor sebagus apapun bila tak lolos ujian tulis tak akan ada artinya. Dengan sistem ini, satuan pendidikan hanya akan fokus pada peningkatan kualitas pemelajaran. Pendekatan ini lebih utuh, menyeluruh, berkelanjutan, dan dapat memperkuat daya saing PTN di masa depan. Kelima, kebijakan PPDB dan seleksi masuk PTN belum mencerminkan keadilan sosial. Nadiem mengubah PPDB jalur prestasi menjadi 30 persen dan mengurangi jalur zonasi menjadi 50 persen, sementara hanya memberikan afirmasi pada anak-anak dari ekonomi lemah sebesar 15 persen. Elitisme sekolah akan kembali terjadi. Sementara itu, seleksi jalur mandiri PTN yang diperbesar hanya akan menyingkirkan anak-anak dari keluarga ekonomi lemah untuk mengakses perguruan tinggi. Beri kuota 85 persen bagi anak-anak seluruh Indonesia bersaing secara fair dan obyektif melalui jalur tulis. ang lebih tak adil lagi adalah bahwa siswa yang akan ikut SBMPTN jalur tulis melalui Ujian Tulis Berbasis Komputer (UTBK) yang diadakan oleh Lembaga Tes Masuk Perguruan Tinggi (LTMPT) harus membayar. Tak semua keluarga Indonesia mampu membayar sekitar Rp 200.000 hanya untuk mengikuti UTBK. Pemerintah, karena sudah menghapuskan UN, seharusnya menggratiskan biaya tes UTBK bagi seluruh anak Indonesia. Bila mereka gagal, dan mau mengulang, silakan membayar sendiri. Kebijakan ini akan membantu meningkatkan Angka Partisipasi Kasar Perguruan Tinggi yang masih rendah. Presiden Jokowi seharusnya mengawal jargon Merdeka Belajar yang digagas Nadiem. Negara harusnya hadir dan serius meningkatkan kualitas pendidikan melalui kebijakan evaluasi pendidikan yang menumbuhkan kultur pemelajaran otentik, fokus pada persoalan, berkesinambungan, adil, serta patuh pada amanat UU. Sayangnya, hal-hal penting ini belum tercermin dalam kebijakan Merdeka Belajar ala Nadiem. (Doni Koesoema A Pengajar di Universitas Multimedia Nusantara, Serpong)
  Kembali ke sebelumnya