Selamat datang di website E-PAPER PERPUSTAKAAN DPRRI.

Koleksi Perpustakaan DPR RI

Judul Artikel Opini. Wabah Covid1-19. Melalui pandemi Covid-19
Tanggal 27 Maret 2020
Surat Kabar Kompas
Halaman -
Kata Kunci
AKD - Komisi IX
Isi Artikel WABAH COVID-19 Melalui Pandemi Covid-19 Bangsa-bangsa dan pemerintahan-pemerintahan yang tidak berdisiplin dan santai bertindak potensial menuai banyak korban, sementara bangsa-bangsa yang berdisiplin dan berkepedulian tinggi sanggup menurunkan jumlah korban. Oleh F BUDI HARDIMAN   TEKS     Horor pandemi Covid 19 belum selesai dan bahkan sedang bereskalasi, juga di Indonesia. Kita tengah berada dalam ”keadaan darurat global” melawan makhluk renik itu. Negara-negara dan kota-kota terpaksa melakukan lockdown, melarang warganya ke luar atau tamu luar masuk. Sementara Wuhan, tempat virus ini pertama kalinya menyebar pada awal 2020, mulai berhasil mengendalikan penyebaran dengan disiplin dan keahlian. Italia dibuat kewalahan dengan meningkatnya jumlah korban yang berjatuhan dan harus dimakamkan. Lebih dari 190 negara terjangkit. Dan agaknya sikap mereka—berdisiplin atau longgar, serius atau anggap enteng—sangat menentukan sukses pengendalian pandemi ini. Untuk pertama kali, pandemi disorot media global membuat dunia bagaikan sebuah desa digital yang penuh ketakutan menghadapi penyakit ini. Untuk pertama kali, pandemi disorot media global membuat dunia bagaikan sebuah desa digital yang penuh ketakutan menghadapi penyakit ini. Cepatnya penularan dan penyebaran makhluk renik ini telah menimbulkan horor. Covid-19 seolah mendirikan kediktatoran global yang meneror negara-negara. Namun, sesungguhnya pandemi Covid-19 bukan hanya fenomena medis; makhluk renik ini juga telah menjadi media darling yang menyita perhatian seluruh dunia. Dampak psikologis sosialnya bisa lebih besar daripada dampak medisnya. Seperti radikalisme religius yang menyelinap di dalam instansi-instansi pemerintahan, makhluk renik ini juga menebar kecurigaan timbal balik di antara kita. Tidak seorang pun terprivilese untuk tidak dapat terjangkit. Semua orang, entah itu pejabat atau warga biasa, kaya atau miskin, senior atau yunior, pria atau perempuan, beriman atau tidak beriman, memiliki peluang yang sama untuk tertular. Sebagai peristiwa medis, pandemi Covid-19 adalah bagian dunia obyektif fakta-fakta yang dapat dikalkulasi secara medis. Namun sebagai peristiwa media, ia menyentuh dunia subyektif dan intersubyektif makna-makna yang banyak tergantung pada interpretasi kita. Karena itu, dampak laporan statistik tentang ”prestasi” virus ini menjatuhkan korbannya bisa sangat menggentarkan.   Bilangan menjinakkan hal yang tidak dikenal, maka publikasi jumlah korban mengesankan bahwa kita seolah dapat bernegosiasi dengan realitas liar yang masih di luar kendali kita. Namun jelas bahwa 2, 34, 69, 172, 227, dan seterusnya tidak akan menstabilkan realitas yang diacunya karena bilangan tidak sepenuhnya mengontrol realitas. Melalui pandemi Covid-19 kita dapat melihat dari dua sisi, tentu banyak tergantung dari cara kita merespons peristiwa ini. Dari sisi bahaya Ada sekurangnya tiga aspek kemanusiaan kita yang dapat dibahayakan oleh makhluk renik ini sebagai media darling, yaitu aspek psikis, sosial, dan metafisis. Manusia sudah selalu membutuhkan tangan orang lain. Kita diajari untuk terbuka kepada sesama. Menyalami, menepuk bahu, memeluk atau mencium menguatkan dan menyatukan hati. Tapi lalu datanglah pandemi itu. Semua yang sebelumnya menyatukan sekarang malah memisahkan. Perasaan primordial manusia, ”takut-bersentuhan”, menjadi tiran keseharian karena orang dan barang menjadi berbahaya. Yang intim dengan tangan kita—pegangan pintu, uang, tombol, layar ponsel—sekonyong-konyong menjelma menjadi ancaman. Perasaan primordial manusia, ”takut-bersentuhan”, menjadi tiran keseharian karena orang dan barang menjadi berbahaya. Bahkan tangan kita sendiri siap berkhianat, kapan pun kita lengah. Si aku menjadi terpencil bahkan dari tubuhnya sendiri. Jika didikte ketakutan dan kehilangan rasa amannya, ego menjadi egois. Itulah bahaya psikis yang muncul, seperti terjadi dalam fenomena panic buying. Kecemasan dalam pandemi menyadarkan kita bahwa segalanya hanyalah konstruksi manusia. Tempat kerja, sekolah, kampus, tempat ibadah, yakni konstruksi-konstruksi sosial yang selama ini menghubungkan orang dengan orang, ditangguhkan. Runaway world harus direm mendadak sehingga mengguncang sistem-sistem kepastian yang telah lama menjamin rutin sosial manusia. Kota dan negara di-lockdown, karyawan dirumahkan, sekolah dan kampus ditutup sementara, tempat-tempat ibadah dikosongkan, jadwal pertemuan akbar dibatalkan. Namun domestifikasi atas publik yang dipicu rasa takut bersentuhan tidak menghasilkan individu yang kokoh, melainkan a lonely crowd.   Jika berlangsung lama, kerumunan terpencil itu akan melemahkan demokrasi dan solidaritas dengan menyerahkan diri kepada biopolitik pandemi yang terus akan menginspeksi tubuh warga. Pandemi juga menampakkan diri dalam kesadaran kita sebagai ciri random kehidupan kita. Citra penyebaran Covid-19 seolah melambung ke ranah metafisis menjadi identik dengan kesewenangan nasib. Makhluk renik ini—dan ratusan tipe lain yang sewaktu-waktu bisa menginfeksi manusia—mengingatkan kerapuhan hidup yang berbatas kematian. Manusia tidak takut kematian yang bermakna, tetapi ia akan sulit menerima kesia-siaan yang melekat pada kematian acak yang tidak dapat dimaknai. Statistik kematian yang meningkat cepat didengarnya bukan sebagai bagian logis arloji semesta, melainkan sebagai karya murung kehendak buta yang menganiaya. Kalau tidak sanggup menanggung absurditas itu, manusia dapat berhenti berharap. Padahal dari harapanlah dia memaknai hidup. Karena itu, bahaya yang tidak kalah besar dibanding derita raga adalah hilangnya harapan. Makhluk renik ini—dan ratusan tipe lain yang sewaktu-waktu bisa menginfeksi manusia—mengingatkan kerapuhan hidup yang berbatas kematian. Pemerintah atau masyarakat yang kehilangan harapan di masa pandemi bisa bersikap ceroboh, tidak peduli, dan bahkan bengis sehingga memperparah keadaan. Tanpa harapan bukan hanya kebebasan, melainkan juga masa depan suatu bangsa dapat sirna. Dari sisi harapan Mari kita mengambil cara pandang berbeda. Pandemi merupakan bagian ambivalensi kehidupan kita. Di dalam hidup ini tidak ada sesuatu yang sama sekali buruk, sebagaimana juga tidak ada yang sama sekali baik. Kematian senior memberi tempat kepada yuniornya, penyakit memberi nafkah kepada penyembuhnya, dan bencana menggerakkan rasa setia kawan. Begitu pula pandemi virus ini tidak sama sekali buruk bagi kita. Covid-19 bukan hanya berbahaya. Dia juga membuka kesempatan. Tentu tergantung pada peninjaunya, dan harapan tidak gagal meninjau sisi ini.   Menarik, misalnya, bahwa ancaman makhluk renik itu telah memaksa kita untuk mengungsi ke dalam dunia digital yang menjadi semacam bahtera Nuh bagi kontak-kontak sosial kita di tengah bahaya sentuhan ragawi. Dia ikut membiasakan komunikasi digital masyarakat kampus, profesi, pasar, dan bahkan negara, suatu hal yang sebelumnya mungkin masih enggan kita lakukan. Kita seolah diajak melihat masa depan masyarakat digital pasca-human yang berkomunikasi tanpa sentuhan ragawi, saat manusia berubah jadi homo digitalis. Bukan hanya itu, taktik pemencilan secara menakjubkan juga menghadirkan realitas yang selama ini hilang dan sesungguhnya telah lama kita rindukan: keluarga-keluarga yang berkumpul memulihkan diri dari luka-luka dunia kerja, lingkungan hidup yang mengaso dari asap mobil dan pabrik, kesadaran higiene dan disiplin suatu masyarakat yang sebelumnya jorok dan permisif, kepatuhan kelompok-kelompok agama kepada pemerintahan sipil, dan munculnya religiositas yang berjarak dari ritualisme rutin. Kedekatan digital di tengah pandemi mulai menyingkap sisi-sisi berbeda orang-orang yang selama ini telah kita salah kenali. Suatu mode of being yang berbeda tengah kita alami yang mungkin dapat melahirkan bentuk solidaritas dan keseimbangan baru. Pandemi Covid-19 memperkaya bukan hanya pengalaman ”subyektifikasi” kita sebagai sebuah negara demokratis, melainkan juga sebagai anggota komunitas global. Pandemi Covid-19 memperkaya bukan hanya pengalaman ”subyektifikasi” kita sebagai sebuah negara demokratis, melainkan juga sebagai anggota komunitas global. Sisi yang sanggup dilihat oleh harapan ini mengingatkan kita pada kalimat penyair Jerman era Romantik, Friedrich HÅ‘lderlin: ”Wo aber Gefahr ist, wächst das Rettende auch”, di mana bahaya itu ada, di sana tumbuh juga kekuasaan yang menyelamatkan. Namun, tanpa harapan dan kepedulian kita, kuasa itu mustahil tumbuh. Bahaya melatih kita untuk peduli, yaitu bertanggung jawab dengan tidak berkumpul, untuk berbela-rasa tanpa menyentuh, untuk setia kawan tanpa merangkul. Kobaran harapanlah yang meningkatkan kepedulian kita kepada orang lain, dan itu mulai dari higiene dan disiplin kita sendiri. Perintah ”jangan membunuh!” saat ini mencakup ”jangan menulari!” lewat kecerobohan Anda. Higiene dan social distancing menjadi wujud senyata-nyatanya dari altruisme, simpati, tanggung jawab, dan solidaritas dengan orang lain.   KOMPAS/PRIYOMBODO Burung merpati terbang di kawasan Kota Tua, Jakarta Barat, yang ditutup sementara, Senin (23/3/2020). Obyek wisata dan tempat hiburan di wilayah DKI Jakarta memasuki pekan kedua masa penutupan sementara sebagai langkah untuk antisipasi penyebaran virus korona baru. Bangsa-bangsa dan pemerintahan-pemerintahan yang tidak berdisiplin dan santai bertindak potensial menuai banyak korban, sementara bangsa-bangsa yang berdisiplin dan berkepedulian tinggi sanggup menurunkan jumlah korban. Bahaya Covid-19 bisa menjadi tempat tumbuhnya ”kekuasaan yang menyelamatkan” jika kita tidak kehilangan harapan. Dan, saat ini harapan berarti peduli dan berdisiplin. Dengan harapan itulah kita dapat melalui pandemi Covid -19 dengan selamat. (F Budi Hardiman, Pengajar Filsafat pada Universitas Pelita Harapan)
  Kembali ke sebelumnya