Selamat datang di website E-PAPER PERPUSTAKAAN DPRRI.

Koleksi Perpustakaan DPR RI

Judul Artikel Opini. Pandemi Covid-19. Korona dan industri farmasi
Tanggal 28 Maret 2020
Surat Kabar Kompas
Halaman -
Kata Kunci
AKD - Komisi IX
Isi Artikel PANDEMI COVID-19 Korona dan Industri Farmasi Industri farmasi Indonesia tak punya ketahanan karena sangat tergantung pada bahan baku obat  (BBO) dari China dan India. Impor BBO Indonesia dari China 63 persen, India 23 persen, dan sisanya dari negara lain. Oleh SAMPURNO   Dalam sebuah diskusi dua tahun lalu, saya menyatakan, jika China dan India melakukan embargo bahan baku obat kepada Indonesia, industri farmasi Indonesia hanya akan mampu bertahan selama enam bulan. Industri farmasi Indonesia tak punya ketahanan karena sangat tergantung pada bahan baku obat  (BBO) dari kedua negara tersebut. Impor BBO Indonesia dari China 63 persen, India 23 persen, dan sisanya dari negara lain. Ketergantungan tidak hanya terhadap bahan baku aktif (active ingredients), tetapi juga bahan penolong (excipient) untuk pembuatan obat. Kini, pandemi Corvid-19 telah menyebabkan Indonesia terembargo BBO dari China dan India. Kelangkaan BBO dan bahan penolong ini akan berdampak dalam bentuk multikrisis bagi penyediaan obat nasional. Ketika di awal pandemi (dengan kurs satu dollar AS setara Rp 13.000), harga BBO dari China sudah naik sekitar 60 persen dan dari India naik sekitar 40 persen. Saat ini, kurs satu dollar AS sudah Rp 16.000. Harga BBO dari kedua negara itu kini jauh lebih mahal. Ketergantungan tidak hanya terhadap bahan baku aktif (active ingredients), tetapi juga bahan penolong (excipient) untuk pembuatan obat. Masalah tidak hanya terletak pada mahalnya harga tetapi lebih pada ketersediaan BBO. Wabah Covid-19 telah menyebabkan produksi BBO di China berkurang. Mereka hanya fokus memenuhi kebutuhan dalam negeri. India tidak dapat melakukan ekspor seperti sediakala karena untuk memproduksi BBO, India sangat tergantung dari bahan antara (intermediate substance) yang juga diimpor dari China. Demikian juga negara-negara lain termasuk Eropa, banyak bergantung pada bahan antara yang berasal dari China. Apa yang akan terjadi? Ketika keadaan normal, perusahaan manufaktur atau pabrik farmasi  di Indonesia dapat memperoleh BBO maupun excipient dari China dan India dengan mudah. Mereka dapat membeli dari importir atau  mengimpor langsung dari prinsipal di luar negeri. Untuk keperluan produksi, umumnya pabrik farmasi memiliki persediaan BBO berkisar enam bulan. Level persediaan BBO ini harus dihitung cermat terutama  bagi perusahaan farmasi yang memasok kebutuhan obat ke sektor pemerintah karena harga jualnya amat murah. Pada awal Desember 2019 sebagian besar perusahaan farmasi Indonesia membeli BBO dengan stok seperti tahun-tahun sebelumnya. Ketika wabah Covid-19 terjadi di Wuhan, perusahaan farmasi Indonesia bisa jadi tidak menyangka kegawatan situasi sehingga tidak mengantisipasi. Implikasi Covid-19 bisa luas dan serius pada pasokan BBO dari China. Akibatnya, stok BBO yang dimiliki hanya akan mampu untuk bertahan sampai Juni 2020.   Sebagian persediaan BBO malah akan kosong sekitar April dan hanya ada tiga pabrik besar farmasi yang telah melakukan pembelian BBO dengan jumlah cukup besar. Perusahaan ini diprediksi akan mampu bertahan sampai September 2020. Terganggunya pasokan BBO ini tentu saja berdampak luas dan serius baik pada kelangsungan produksi obat maupun ketersediaan obat secara nasional. Pada Mei mendatang, diprediksi ketersediaan beberapa obat tertentu sudah mulai terasa langka dan tidak mudah memperolehnya. Pada Maret 2020 ini, penyediaan beberapa jenis obat sektor pemerintah  sudah mulai kosong. Untuk pengadaan  tahun anggaran 2020, sampai saat ini belum ada perusahaan yang berani menawarkan harga untuk tender LKPP (Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah). Hal ini disebabkan perusahaan farmasi yang akan ikut open bidding di LKPP tidak memiliki jaminan ketersediaan BBO dari pemasok termasuk kepastian harganya. Apabila masalah ini tidak diantisipasi dengan solusi yang strategis, mulai Juli 2020 dan seterusnya akan  terjadi kelangkaan persediaan obat di sektor pemerintah ataupun swasta. Hal  ini akan berdampak kritis pada pelayanan medik di semua level, mulai dari klinik pratama, puskesmas, sampai rumah sakit di seluruh Indonesia. Perusahaan ini diprediksi akan mampu bertahan sampai September 2020. Tanpa ketersediaan obat, pelayanan medik akan lumpuh karena sebagian besar pelayanan medik menggunakan intervensi obat. Masalah ketersediaan obat ini tidak dapat dipandang sederhana karena menyangkut kepentingan dan hajat hidup rakyat banyak. Apabila masalah ini tidak ditangani sejak sekarang bisa timbul keresahan dan gejolak sosial yang luas dan berdampak terjadinya krisis multidimensi. Mengambil hikmah dari kasus kelangkaan BBO ini, seharusnya Indonesia ke depan memiliki stok penyangga (buffer stock) terutama untuk obat-obat yang tergolong the most essential drugs, yakni obat yang dalam kondisi apa pun harus selalu tersedia. Mandiri BBO, mungkinkah? Banyak orang mengatakan Indonesia seharusnya mandiri dalam produksi BBO untuk memasok kebutuhan industri farmasi di dalam negeri. Apakah mandiri BBO ini dimungkinkan bagi Indonesia? Jawabannya tidak semudah seperti yang dikatakan banyak orang. Banyak faktor yang menjadi prasyarat mandiri BBO tetapi sulit dipenuhi Indonesia. Industri farmasi Indonesia memerlukan sekitar 1.300 jenis BBO. Dari jumlah itu, yang telah diproduksi di Indonesia, masih di bawah 5 persen. Semua intermediate substance-nya masih harus diimpor.   Jika akan mandiri dalam BBO, industri kimia dasar—industri petro kimia—harus kuat karena industri ini yang akan menghasilkan intermediate substance. Jangankan memproduksi BBO, untuk semua bahan-bahan sederhana seperti NaCl, alkohol, dan glukosa yang pharmaceutical grade, masih harus diimpor. Untuk memproduksi BBO, selain memerlukan investasi yang cukup besar, juga harus ada jaminan pembelian dari perusahaan manufaktur farmasi dalam negeri. Seperti diketahui, jika jumlah kebutuhan suatu BBO kecil, tidak akan tercapai skala ekonomis untuk diproduksi di dalam negeri. Fakta lain, BBO impor di Indonesia  dikenai tarif bea masuk berkisar 0-5 persen. Rendahnya bea masuk ini menghambat pengembangan industri BBO dalam negeri karena tidak ada proteksi sama sekali yang menyebabkan harganya lebih mahal dari BBO impor. Industri BBO dalam negeri harus menanggung biaya depresiasi kurs rupiah yang lebih besar. Kebijakan bea masuk ini nyata-nyata tidak mendukung usaha kemandirian BBO buatan domestik. Indonesia sebaiknya tidak mengembangkan BBO yang berasal dari kimia sintetik karena akan berhadapan dan bersaing langsung dengan China dan India. Skala produksi mereka sangat ekonomis dengan biaya operasi yang efisien serta didukung keberadaan industri kimia dasar yang kuat. Indonesia harus memiliki opsi lain dalam mengembangkan BBO ini. Indonesia bisa melompat dengan mengembangkan produksi BBO melalui bioteknologi seperti biosimilar. Investasi yang diperlukan tidak terlalu besar, tetapi harus ada kolaborasi antara pihak industri/bisnis dan universitas, dengan pendanaan dari koordinasi dari pihak pemerintah. Indonesia harus memiliki opsi lain dalam mengembangkan BBO ini. Opsi yang lain adalah mengembangkan BBO berasal dari bahan alam dengan teknologi refraksinasi yang inovatif. Melalui teknologi refraksinasi ini akan diperoleh bahan baku dengan waktu pengimbangan yang lebih cepat dan biaya yang jauh lebih murah. Pengembangan BBO dari tanaman mahkota dewa, misalnya, akan dapat menghasilkan lebih dari 6 jenis BBO yang nantinya dapat dipasarkan di dalam negeri maupun di pasar global. Ini merupakan sebuah tantangan yang sangat atraktif dalam pengembangan bahan alam Indonesia, dengan benefit yang besar untuk kesehatan masyarakat, dan dengan potensi ekonomi yang sangat menjanjikan. Industri farmasi dan piutang Industri farmasi Indonesia, selain menghadapi krisis kelangkaan BBO, juga menghadapi masalah yang cukup berat, yaitu kelambatan pembayaran obat sektor pemerintah. Jumlah tagihan/piutang industri farmasi kepada pemerintah mencapai lebih dari Rp 6 triliun yang telah jatuh tempo selama enam bulan, bahkan ada yang  satu tahun. Terlambatnya pembayaran ini tentu saja tidak hanya mengganggu cash flow perusahaan, tetapi juga menimbulkan gangguan pada aktivitas produksi dan pasokan obat ke sarana pelayanan kesehatan milik pemerintah. Keterlambatan itu juga berimplikasi pada cost of money yang menjadi beban industri farmasi. Beban itu terasa semakin berat karena harga obat tender LKPP sangat rendah sehingga margin perusahaan sangat terbatas. Realitas ini berbeda dengan obat sektor pemerintah yang diimpor yang umumnya memiliki margin yang cukup bagus. (Sampurno Direktur Jenderal POM 1998-2001; Kepala Badan POM 2001-2006)
  Kembali ke sebelumnya