Selamat datang di website E-PAPER PERPUSTAKAAN DPRRI.

Koleksi Perpustakaan DPR RI

Judul Opini. Perang gerilya lawan Korona
Tanggal 28 Maret 2020
Surat Kabar Kompas
Halaman -
Kata Kunci
AKD - Komisi IX
Isi Artikel KOLOM POLITIK Perang Gerilya Lawan Korona Perlawanan terhadap wabah Covid-19 ibarat perang gerilya dengan musuh yang tidak kelihatan, Butuh langkah yang tepat serta cepat untuk menanggulanginya, juga kepemimpinan yang kuat untuk mengorkestrasi elemen bangsa. Oleh BUDIMAN TANUREDJO       Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa Antonio Guterres berbicara soal kondisi dunia. ”Dunia kita menghadapi musuh yang sama, yakni Covid-19. Virus tidak peduli kebangsaan dan etnisitas. Faksi ataupun keyakinan. Ia menyerang kita semua tanpa henti,” kata Sekjen PBB menegaskan. Serangan Covid-19 yang disebabkan virus korona baru membabi buta. Covid-19, yang oleh F Budi Hardiman dalam Kompas, 27 Maret 2020, disebut sebagai makhluk renik, telah menyerang di 190 negara. Covid-19 telah mendirikan kediktatoran global yang meneror negara bangsa. Covid-19 tidak hanya menyerang secara medis, tetapi juga secara psikis melalui gempuran informasi di media sosial. Wali Kota Bogor Bima Arya Sugiarto yang positif Covid-19 kepada saya mengatakan, ”Virus ini menyerang hati dan jiwa sebelum pernapasan dan paru-paru. Gua merasa baikan setelah social media distancing hari kedua di rumah sakit. Sosmed itu ICU raksasa. Runtuh mental semua orang kalau digempur berita Covid-19. Drop imunitas.” Pola pemberitaan media yang menggambarkan negara A telah melampaui rekor, melonjak dibandingkan negara B dalam jumlah pasien yang positif virus korona, seperti menjadikan statistik pergerakan korban layaknya perlombaan. Ini menjadi teror tersendiri.   Seorang jenderal purnawirawan dalam percakapan dengan saya, Kamis, 26 Maret 2020, malam mencemaskan kondisi ini. Ibaratnya perang gerilya, makhluk reniknya tidak kelihatan. Akan tetapi, rakyat tidak punya disiplin dan tidak punya pilihan. Disuruh bekerja di rumah, pulang kampung. Bertahan di Jakarta yang libur, mereka tak bisa makan. Harus ada insentif ekonomi di sana. ”Social distancing hanya berhasil jika ada kedisiplinan,” katanya. Social distancing atau pembatasan sosial perlu contoh. Kenyataannya, masih ada jumpa pers kementerian yang mengundang wartawan dan menciptakan kerumunan. Padahal, pemerintah mengampanyekan hindari kerumunan. Ibarat perang, gerilya melawan pandemi mirip dengan tentara melawan gerilyawan. Ada beberapa langkah di sana. Mengenali Covid-19 sebagai musuh. Pelajari penyebaran dan kurangi penyebaran. Di mana episentrumnya. Percepat penapisan lewat pengecekan cepat. Pisahkan orang sehat dan kelompok rentan dari orang sakit. Orang yang positif Covid-19 dirawat di rumah sakit atau menjalani isolasi mandiri. Kenyataannya, tenaga medis di garis depan tidak sepenuhnya dilengkapi alat pelindung diri. Ini butuh respons. Baca juga: Melalui Pandemi Covid-19 Pemimpin gelagapan, termasuk para pemimpin dunia. Retorika populis muncul. Egoisme menguat. Pertimbangan politik menyulitkan pengambilan keputusan. Saatnya sumber daya nasional dikerahkan memastikan kebijakan jaga jarak dijalankan secara disiplin. Harus ada kekuatan pemaksa agar kebijakan bisa ditegakkan. Sebagaimana ditulis Budi Hardiman, sikap negara bangsa—disiplin atau longgar, serius atau menganggap remeh—akan menentukan kesuksesan pengendalian pandemi.   Kepemimpinan yang kuat dari pusat sampai daerah akan menentukan penanganan pandemi. Berbicara dalam pemahaman dan bahasa yang sama. Samakan pemahaman soal lockdown, social distancing, physical distancing. Istilah diperdebatkan dalam pemahaman konsep berbeda. Seperti berita di sejumlah portal berita. Gubernur Papua putuskan lockdown. Tegal, Jateng, terapkan local lockdown. Pada sisi inilah, karakter kepemimpinan diuji. Spekulasi dan tafsir merebak. Sementara itu, Gubernur Jateng Ganjar Pranowo mengatakan, ”Enggak ada. Itu hanya alun-alun yang ditutup.” Jika semua berbicara dalam bahasa yang sama, kegaduhan dikurangi. Berbicara dalam bahasa UU Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan. Di sana ada karantina rumah, karantina rumah sakit, termasuk karantina wilayah, dan pembatasan sosial. UU Kekarantinaan Kesehatan tidak mengenal istilah lockdown yang telanjur punya makna politis, tetapi karantina wilayah. Jiwa kegotongroyongan ada. Sejumlah pengusaha; Astra, Adaro, Mayapada, sampai rakyat biasa tergerak membantu sesama dalam berbagai bentuk. Masyarakat sipil tergerak. Ini adalah modal sosial luar biasa. Pemimpin bisa mengorkestrasi kekuatan nasional. Semua itu membutuhkan kepemimpinan dan arah kebijakan yang jelas soal bagaimana bangsa ini mau memenangi perang melawan Covid-19. Saatnya duduk bersama, semua pemimpin lembaga negara dan parpol, untuk menyikapi situasi. Apakah karantina (rumah, rumah sakit, wilayah), apakah social/physical distancing atau herd immunity (kekebalan kelompok); sebuah teori baru yang didiskusikan. Semuanya punya risiko dan konsekuensi. Baca juga: Warga Dukung Karantina Wilayah Episentrum Covid-19 Sebagaimana dikatakan Yuval Noah Harari, saat ini manusia tidak hanya menghadapi krisis soal Covid-19, tetapi juga kurangnya kepercayaan antarmanusia. Untuk mengalahkan pandemi, masyarakat perlu percaya kepada pakar sains, warga negara perlu memercayai otoritas publik, dan di antara negara-negara juga harus saling percaya. Keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi! Itu adalah tugas dan kewajiban konstitusional seorang pemimpin.  
  Kembali ke sebelumnya