Selamat datang di website E-PAPER PERPUSTAKAAN DPRRI.

Koleksi Perpustakaan DPR RI

Judul Opini. Covid-19. Cara pandemi mendongkrak ketahanan kita
Tanggal 28 Maret 2020
Surat Kabar Kompas
Halaman -
Kata Kunci
AKD - Komisi IX
Isi Artikel COVID-19 Cara Pandemi Mendongkrak Ketahanan Kita Ini era membangun komunikasi aktif dan positif antarpemda, antara pemda dan pusat. Beruntunglah karena ada pembatasan sosial, banyak agenda politik turut tertunda. Lupakan pencitraan, fokus bekerja sama selamatkan warga. Oleh NELI TRIANA   Tiga bulan terakhir, disrupsi pandemi Covid-19 sukses mengubah tatanan sosial masyarakat global. Resesi sosial tengah berlangsung dan belum menunjukkan akan segera berakhir. Semua pihak terdesak mencari solusi di tengah situasi yang mengharuskan kita menjaga jarak, tidak bisa leluasa berinteraksi fisik dan berkumpul. Tidak ada yang siap dengan serbuan virus korona baru yang menyebabkan penyakit bernama Covid-19 ini. Michael Kimmelman menuliskannya di New York Times pada 17 Maret lalu yang lantas diperbarui lagi pada 22 Maret. ”Kota adalah pusat modal dan kreativitas, yang dirancang untuk ditempati secara kolektif. Pandemi ini anti-urban, memangsa hasrat manusiawi kita untuk saling terhubung,” tulis Kimmelman mengawali artikelnya. Memang dengan kemajuan teknologi, manusia di era kini tidak asing lagi dengan berkomunikasi sekaligus bekerja secara daring. Ada telekonferensi dengan peserta di lokasi yang berbeda-beda terjadi sehari-hari. Dengan telepon genggam, internet, dan kemajuan teknologi lainnya, tanpa bertatap muka langsung, banyak jenis pekerjaan bisa terselesaikan. Di perkotaan, hal-hal seperti itu sudah jamak terjadi. Meskipun demikian, memenuhi kodratnya sebagai makhluk sosial, manusia masih senang berkumpul di kafe, nonton bioskop, memenuhi pusat perbelanjaan, dan berkegiatan di taman-taman publik. Kini, hal-hal menyenangkan itu tidak bisa lagi dilakukan.   Bukan rahasia dan tidak pula memalukan ketika kegagapan menghadapi disrupsi berupa pandemi ini menghinggapi semua orang, semua negara. Walaupun dilaporkan ada beberapa peneliti melalui kerja ilmiahnya sudah bisa memprediksi wabah global ini sebelumnya. Tetap saja, masih sulit kesadaran kita menerima fakta bahwa kini sebagian kota juga negara menerapkan lockdown. Penerbangan antarnegara, antarbenua dihentikan, arus pergerakan orang di penjuru bumi dihentikan mendadak. Apa yang sebenarnya terjadi? Pikiran ini terus berputar di kepala tiap orang. ”Kita sekarang secara resmi dalam pandemi,” kata Eric Klinenberg, sosiolog Universitas New York yang dikutip berbagai media di Amerika Serikat, termasuk New York Times, Maret ini. Klinenberg menambahkan, kita semua sekaligus memasuki periode baru kepedihan sosial. Akan ada tingkat penderitaan sosial terkait dengan isolasi dan biaya jarak sosial yang sekarang ini baru sangat sedikit dibahas atau diteliti untuk menentukan antisipasinya. Ya, boro-boro memikirkan kekuatiran Klinenberg. Kita sekarang saja masih terbilang bingung berkutat menghadapi apa yang terjadi di depan mata. Bagaimana agar virus korona baru tidak terus tersebar luas dan menghambat penularan Covid-19. Data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada Kamis (26/3/2020) pukul 18.00, ada 465.195 kasus Covid-19 di seluruh dunia. Penyakit ini sudah menjangkiti warga di 199 negara dengan total 21.031 orang meninggal. Di Indonesia, data per Jumat pukul 15.50, menunjukkan ada 1.046 kasus dengan 87 pasien meninggal.   KOMPAS/PRIYOMBODO Suasana Jakarta di jalan protokol Jenderal Sudirman, Rabu (25/3/2020). Memasuki pekan kedua masa isolasi diri di rumah, suasana Jakarta relatif lengang. Menguji ketahanan Michael Berkowitz, pemikir dan penggerak ketahanan kota yang juga anggota Resilient Cities Catalyst saat diwawancara CityLab, 23 Maret lalu, mengatakan mencari tanda-tanda bagaimana komunitas akan bertahan setelah bencana ini. Hal itu di luar upaya mencari peluang untuk memperkuat ketahanan sekarang dalam menghadapi gangguan sosial dan ekonomi. ”Kuncinya adalah memikirkan menghubungkan berbagai tujuan bersama. Serta bagaimana satu intervensi tertentu dapat berhasil dalam memperkuat kota di banyak daerah yang berbeda,” kata Berkowitz. Berkowitz telah bekerja dengan lusinan pemerintah daerah di seluruh dunia dalam menghadapi dan mengatasi ancaman badai, kekeringan, gempa bumi, serangan teroris, penembakan massal, wabah penyakit, dan guncangan sosial lainnya. Namun, rata-rata guncangan itu bersifat lokal belum semasif pandemi yang kini berlangsung. Baca juga: Kota, Korona, dan Covid-19 Pandemi Covid-19 menjadi tantangan baru yang menguji ketahanan daerah, kota, ataupun negara. Ketahanan kota adalah kemampuan atau kapasitas suatu kota untuk bertahan dan berkembang dalam menghadapi bencana, segala jenis bencana. Ternyata, kata Berkowitz, kapasitas yang dibutuhkan kota—atau suatu daerah juga negara—untuk bertahan hidup dan berkembang dalam menghadapi semua ancaman yang berbeda ini cukup luas. ”Ini mencakup kebutuhan akan infrastruktur yang baik yang mempromosikan mobilitas dan transportasi berkelanjutan, termasuk komunitas yang kohesif, di mana antartetangga bisa saling memperhatikan dengan baik. Kebutuhan akan ekonomi yang beragam dengan basis pekerjaan kelas menengah yang kuat. Dibutuhkan tata kelola yang baik dengan banyak pemangku kepentingan di meja pengambilan keputusan. Semua itu akan membantu masyarakat mengatasi krisis apa pun,” kata Berkowitz. Untuk membangun ketahanan, ujarnya, triknya adalah menghubungkan berbagai tujuan secara bersamaan. Ketika suatu kota gencar melakukan pembangunan ekonomi, bagaimana agar bisa sekaligus membuat warga lebih terlindungi dari banjir. Atau ketika berpikir tentang mobilitas, bagaimana bisa meningkatkan keanekaragaman hayati atau mengurangi paparan terhadap panas ekstrem. Hal yang sama ketika berpikir tentang tata kelola dan keterlibatan masyarakat, sekaligus membangun kepercayaan pada pejabat terpilih sehingga dalam situasi krisis orang mendengarkan dan mengikuti saran pemimpin terpilih tersebut. Menjawab tuduhan pandemi ini sebagai anti-urban dari Kimmelman, Berkowitz mengatakan, pendapat itu bisa saja benar. Akan tetapi, yang terjadi saat ini hanya bagian dari fase respons. Saat ini, amat dibutuhkan kemampuan untuk berinovasi dan menghasilkan pelayanan kesehatan, baik itu vaksin maupun perawatan anti-virus. Di kota, sebagian besar sumber daya baik sumber daya manusia maupun barang lebih mudah didapatkan karena selama ini di kotalah semuanya dikumpulkan. Ini menjadi uji kemampuan pemerintah, non-pemerintah, juga publik untuk berhenti gagap dan segera mengambil langkah yang dibutuhkan. Yang kemudian tidak boleh alpa dipikirkan adalah gugatan Klinenberg. Isu kesehatan mental dampak dari kebijakan pembatasan sosial nanti hanyalah bagian dari dampak besar pandemi. ”Kita akan melihat dunia bisnis kita terluka, terlebih usaha masyarakat kelas menengah ke bawah. Warga kita yang paling miskin dan rentan menderita, banyak orang di kelas menengah yang tidak memiliki jaring pengaman atau pekerjaan penuh waktu mencari pekerjaan. Tak ketinggalan stigmatisasi dari berbagai kelompok etnis, ras, atau demografis yang amat bisa muncul menyertai persebaran korona. Semua ini akan sangat menekan masyarakat,” kata Berkowitz. Baca juga: Mengistirahatkan Kota yang Tidak Pernah Tidur Berkaca dari itu, memang lebih baik kita bereaksi, tak mengapa bereaksi berlebihan daripada sama sekali salah langkah dan menangguk kerugian tak berkesudahan di kelak kemudian hari. Stimulus-stimulus yang mulai dikeluarkan pemerintah di tingkat pusat dinilai Berkowitz sebagai langkah awal yang benar. ”Kita perlu menentukan tujuan dan target baru. Mungkin juga perlu ada stimulus pekerjaan. Dan itu kemungkinan akan datang dengan banyak infrastruktur baru yang akan dibangun. Itu memberi kita kesempatan luar biasa untuk membangun infrastruktur yang lebih tangguh dan melibatkan masyarakat secara luas. Kita juga harus berbicara tentang mitigasi dan adaptasi perubahan iklim, termasuk infrastruktur yang sama sekali baru karena pandemi ini,” kata warga New York, AS, tersebut. Komunikasi dan kerja sama Paparan pendapat dan gagasan itu menjadi angin segar saat dibawa ke kondisi riil yang kini dihadapi dunia, termasuk di Indonesia. Tak bisa ditepis, ada pendapat miring tentang bagaimana republik ini masih belum merespons pandemi dengan baik. Meskipun demikian, beberapa langkah, seperti berbagai stimulus dari pemerintah pusat dan kebijakan pemerintah daerah, tetap mendulang apresiasi. Perhatian besar membantu fasilitas kesehatan dan tenaga medis terus-menerus digalang, mulai dari penyediaan alat pelindung diri; menambah jumlah tenaga medis; fasilitas khusus, seperti hotel bagi tenaga medis; tes massal cepat untuk mendeteksi dini mereka yang terpapar virus korona dan terjangkit Covid-19; jual beli pangan murah via daring; sampai pembatasan sosial ataupun penutupan wilayah secara lokal terus dilakukan. Solidaritas publik membantu pemerintah dan sesamanya pun tak kalah besar. Ada yang menyumbang makanan sehat untuk tenaga medis ataupun warga tidak mampu. Sedekah kuota internet dan aplikasi gratis guna mendukung warga belajar serta bekerja di rumah. Dan, masih banyak lagi gerakan publik dan pemerintah yang menunjukkan ketahanan diri yang terus meningkat.   SEKRETARIAT PRESIDEN/MUCHLIS JR Dengan didampingi Menteri Luar Negeri Retno LP Marsudi (kiri) dan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, Presiden Joko Widodo mengikuti Forum KTT Luar Biasa G-20 secara virtual dari Istana Bogor, Jawa Barat, Kamis (26/3/2020) malam. Dalam kesempatan itu, Presiden mengajak para pemimpin negara G-20 bersama-sama memenangi dua peperangan, yaitu melawan Covid-19 dan melawan pelemahan ekonomi dunia. Yang masih menjadi pekerjaan rumah adalah bagaimana agar kebijakan tiap pemerintah daerah dan pusat tidak berjalan sendiri-sendiri. Terkait penerapan pembatasan sosial sepenuhnya, termasuk tidak memperbolehkan warga mudik atau bermigrasi dari satu daerah ke daerah lain saja, saat ini masih sulit dikendalikan. Ledakan kasus Covid-19 di daerah sudah di depan mata. Ini bagian dari ujian untuk para pemimpin terpilih bagaimana seharusnya bisa membuat warga yakin dan patuh pada kebijakan mereka. Membuktikan bahwa para pemimpin layak dipercaya dan warga dapat menggantungkan harapan baik di pundak mereka. Ini era membangun komunikasi aktif dan positif antarpemda serta antara pemda dan pemerintah pusat. Beruntunglah dengan kebijakan pembatasan sosial, banyak agenda politik turut tertunda. Tak perlu lagi meributkan suara konstituen, lupakan pencitraan, lupakan cebong-kampret. Fokus bekerja sama menyelamatkan masyarakat, menyelamatkan negara ini. Baca juga: Matt Damon dan Virus yang Melumpuhkan
  Kembali ke sebelumnya