Selamat datang di website E-PAPER PERPUSTAKAAN DPRRI.

Koleksi Perpustakaan DPR RI

Judul Artikel Opini. Pandemi Virus Korona. Virus de-globalisasi
Tanggal 30 Maret 2020
Surat Kabar Kompas
Halaman -
Kata Kunci
AKD - Komisi IX
Isi Artikel PANDEMI VIRUS KORONA Virus De-globalisasi Di tengah gelombang isolasi, penguncian, dan penutupan di banyak negara akibat ancaman virus korona, jalan-jalan kita justru dihalangi kemacetan, tempat wisata disesaki pengunjung, mal-mal dikerumuni pembeli. Oleh YASRAF A PILIANG     Pandemi virus korona layaknya ledakan ”bom” yang menghantam dunia dan menimbulkan gelombang kepanikan, ketakutan, dan ketidakberdayaan global sangat hebat. Virus ini layaknya hantu, iblis, predator, atau alien-alien, yang menebar aroma rasa takut dan horor di setiap sudut dunia. Begitu dahsyatnya horor itu, sehingga tak ada satu sudut dunia pun yang dirasa aman: darat, pantai, gunung, laut, udara; kota, desa, jalan, terminal, kendaraan; mal, pasar, sekolah, bahkan tempat ibadah. Wajah dunia yang sebelumnya diwarnai semarak, riuh rendah, dan hiruk-pikuk interaksi manusia lintas global, kini  seakan pucat pasi tanpa energi. Efek pandemik virus korona adalah iklim ketakutan, kepanikan, kecemasan, kebimbangan, kecurigaan, dan ketakpastian—sebuah paranoia global. Badai ketakutan dan kepanikan telah melenyapkan akal sehat dan kecerdasan sosial. Dalam kepanikan global orang memborong dan menumpuk apa pun demi keselamatan diri sendiri: masker, hand sanitizer, alkohol, tisu toilet, tisu wajah, sarung tangan, gula, mi instan, beras, dan bahan makanan lainnya—inilah belanja panik. Rasa takut itu juga telah menyebabkan kantor-kantor diisolasi, tempat-tempat hiburan ditutup, sekolah-sekolah diliburkan, dan sarana-sarana transportasi dikandangkan. Efek pandemik virus korona adalah iklim ketakutan, kepanikan, kecemasan, kebimbangan, kecurigaan, dan ketakpastian—sebuah paranoia global. Pandemi virus korona adalah serangan mematikan terhadap globalisasi, tetapi ironisnya melalui cara globalisasi itu sendiri, yaitu jalan sutra ”dunia tanpa batas” yang dibangunnya sendiri—ironi globalisasi. Virus itu telah menghentikan dengan telak gerak kolosal globalisasi yang dipuja, yaitu pergerakan global tanpa batas manusia, barang, dan jasa. Ia telah meluluhlantakkan keangkuhan globalisasi-kapitalistik, yang diklaim tak dapat dibendung oleh kekuatan apa pun—sebuah kecongkakan global. Kini kesalingterhubungan sebagai ciri globalisasi digantikan kesalingterputusan; kesalingbergantungan diambil alih kesalingterpisahan; kesalingbersamaan ditukar kesalingcurigaan—sebuah titik balik sempurna globalisasi. De-akselerasi global Pandemi virus korona telah menggoyahkan secara telak fondasi sosial, ekonomi, politik, dan budaya global. Ia telah merusak arsitektur globalisasi  itu sendiri. Globalisasi yang sangat menggantungkan diri pada kekuatan infrastruktur produksi, komunikasi, transportasi, distribusi, akomodasi, interaksi, dan pertukaran skala global kini mengalami semacam gangguan, hambatan, kemacetan, penundaan, penghentian—semacam noise.   Virus korona adalah noise itu sendiri, yang merusak jejaring dan metabolisme globalisasi itu sendiri di setiap tingkat, skala, dan lokasi-lokasinya—noise of globalization. Globalisasi dilukiskan sebagai proses ”pen-serba-dunia-an” seluruh dimensi kehidupan sosial, politik, ekonomi, dan budaya, yang dicirikan sifat keterbukaan, kesalingbergantungan dan kesalingterhubungan serta lenyapnya segala batas, yang sebagian besar unsur pembentuknya berada di luar jangkauan kekuasaan dan otoritas konvensional ”negara-bangsa”. Ia dilukiskan sebagai kecenderungan unifikasi, aliansi, homogenisasi, standardisasi, dan generalisasi, yang menciptakan semacam ”dunia tanpa batas” (Ohmae, 2005), dengan tipe masyarakat yang memiliki kebebasan optimal dalam bergerak, berinteraksi, dan berkolaborasi, ”masyarakat terbuka” (Soros, 2000) Akan tetapi, karena efek kolosal virus korona, dunia global yang kita diami sekarang justru adalah ”dunia penuh batas”, yang memaksa terbentuknya tipe ”masyarakat tertutup”. Pada tingkat sosial, efek rasa takut dan horor virus korona telah menutup, memalang, memortal, dan mengunci aneka relasi sosial global: pergerakan, perpindahan, perjalanan, pertunjukan, pementasan, perhelatan, kolaborasi, dan pertemuan ilmiah: sebuah proses ”de-sosialisasi masif” masyarakat global. Beberapa negara bahkan mengunci (lockdown) dan memalang diri: sebuah proses ”isolasi diri masif” negara-bangsa—the closed world. Akan tetapi, karena efek kolosal virus korona, dunia global yang kita diami sekarang justru adalah ”dunia penuh batas”, yang memaksa terbentuknya tipe ”masyarakat tertutup”. Dunia tanpa batas kini menjadi dunia yang dibatas-batas, disekat-sekat, dikunci, digembok, dipalang, diportal, dikucilkan, diasingkan, dan diisolasi. Apa yang dilukiskan sebagai ”desa dunia” (McLuhan, 1996)—yaitu dunia global sebagai ”desa mondial”—kini menjelma menjadi desa-desa dunia yang terpisah, terkunci, dan terisolasi satu sama lain. Dunia global yang dibangun ”masyarakat terbuka”, di mana setiap orang bebas bergerak secara global tanpa sekat geografis, ekonomis, agama, ideologi, dan budaya, kini menjelma ”masyarakat tertutup”, yang di dalamnya orang tak dapat bebas bergerak, berpindah, atau bepergian, bahkan di kota atau desanya sendiri. Pada tingkat ekonomi, efek pandemi virus korona telah melumpuhkan aktivitas dan fondasi ekonomi global. Berbagai aktivitas produksi, distribusi, dan konsumsi kian melambat bahkan berhenti: sebuah proses ”de-akselerasi masif” ekonomi. Globalisasi ekonomi dan informasi telah membawa umat manusia ke dalam sebuah skema kecepatan dan percepatan perubahan. Kecepatan adalah kata kunci abad ke-21: siapa yang bergerak lambat, ia akan mati! Kecepatan menghasilkan kemajuan. Didukung kekuatan teknologi informasi, kecepatan dalam menguasai informasi dan menciptakan inovasi menjadi kunci pemenang dalam persaingan keras ekonomi global (Gates, 2000).   Kecepatan tinggi yang dibawa globalisasi dilukiskan melalui istilah Yunani, dromologi (dromos = cepat), yaitu ilmu, cara, dan teknik dalam bergerak dan berubah cepat, demi kemajuan. Akan tetapi, virus korona dalam sekejap telah mengubah percepatan menjadi perlambatan bahkan kematian; telah mengubah gerak ke depan atau progresi menjadi gerak ke belakang atau regresi. Dromologi sebagai ilmu percepatan kapitalistik kini menjelma menjadi ”argologi” (argos = lambat, diam, mangkrak), yaitu cara dan kondisi perlambatan. Kekuatan produksi, distribusi, dan konsumsi ekonomi global kini tengah mengalami perlambatan, yang mungkin akan diikuti ketidakberdayaan, kemunduran, bahkan kematian—the global argology. Pada tingkat kebudayaan, efek virus korona telah mengganggu aneka kegiatan budaya, pendidikan, dan keagamaan. Di bidang pendidikan, aneka aktivitas pendidikan terhambat, yang memaksa bentuk pendidikan jarak jauh: sebuah proses ”hiper-realisasi masif” pendidikan. Pada tingkat kebudayaan, efek virus korona telah mengganggu aneka kegiatan budaya, pendidikan, dan keagamaan. Sementara, aneka aktivitas keagamaan—yang memerlukan kehadiran jemaah dalam jumlah besar—juga mengalami hambatan masif. Begitu juga aneka aktivitas olahraga, kesenian, dan hiburan, juga dihentikan: sebuah proses ”de-kulturalisasi masif” kebudayaan. Virus korona telah memaksa ”budaya perpindahan” sebagai ciri globalisasi menjadi ”budaya diam di tempat” atau sedentary culture (Virilio, 1991). Virus korona dan kita Efek pandemi virus korona juga melanda anak bangsa kita. Dalam iklim ketakutan dan kepanikan, satu-satunya yang masih menghibur anak bangsa adalah jejaring digital: internet, Facebook, Whatsapp, Twitter, Instagram. Ketika jalan sutra globalisasi mengalami keterputusan total, jejaring digital menyelamatkan insting bersosialisasi, berkomunikasi, berinteraksi, berkolaborasi, dan berbagi kita. Media sosial-digital setidaknya memanjakan kita dalam bersosialisasi dalam kesepian, berteman dalam ketakutan, berkomunikasi dalam keterisolasian, berbagi dalam kepanikan, atau bercengkerama dalam kepedihan. Media sosial menjadi media perekat sosial dalam iklim ketakutan, keterisolasian, dan keterpisahan global.   Namun, anugerah digital itu tak mampu mengubah karakter anak bangsa. Pandemi virus korona adalah ujian bagi bangsa ini: apakah kita siap menghadapi keterputusan, pemalangan, isolasi, de-akselerasi, dan regresi global ini. Sayangnya, kita adalah bangsa yang sering telat berpikir, gagal memahami, lambat bereaksi, lupa mengantisipasi, dan sulit mengeksekusi. Kita gagal dalam merencanakan, mengatur, mengelola, mengoordinasikan, dan melaksanakan. Di tengah gelombang isolasi, penguncian, dan penutupan di banyak negara akibat ancaman virus korona, jalan-jalan kita justru dihalangi kemacetan, tempat wisata disesaki pengunjung, mal-mal dikerumuni pembeli. Kita masih gagal paham tentang makna krisis, pandemi, bahkan ancaman kematian. (Yasraf A Piliang Pemikir Sosial dan Kebudayaan)
  Kembali ke sebelumnya