Selamat datang di website E-PAPER PERPUSTAKAAN DPRRI.

Koleksi Perpustakaan DPR RI

Judul Artikel Opini. Pendidikan Merdeka Belajar. Belajar "Merdeka Belajar"
Tanggal 30 Maret 2020
Surat Kabar Kompas
Halaman -
Kata Kunci
AKD - Komisi X
Isi Artikel PENDIDIKAN MERDEKA BELAJAR Belajar ”Merdeka Belajar” Dalam gagasan Nadiem, indikator itu bukan terbatas sebagai penanda ketercapaian, tetapi juga untuk memastikan apakah proses dan tujuan pemelajaran secara jelas bermanfaat. Oleh MOHAMMAD ABDUHZEN TEKS     Ide dan kebijakan Mendikbud Nadiem Makarim tentang ”Merdeka Belajar” kiranya tidaklah dimaksudkan untuk belajar ”sekenanya” tanpa arah. Pendidikan adalah usaha dan proses sadar, terencana untuk suatu tujuan. Tujuan pendidikan merupakan kemasan dari berbagai aspirasi masyarakat pendukungnya. Dalam suatu sistem kenegaraan, tujuan pendidikan biasanya tersirat atau tersurat dalam konstitusi dan perundang-undangan yang kemudian diturunkan ke dalam perencanaan serta kurikulum pendidikan yang seterusnya diimplementasikan ke dalam beragam aktivitas pembelajaran. Di negara-negara maju, perencanaan pendidikan senantiasa didasarkan pula pada teori pendidikan dengan mempertimbangkan berbagai masalah, kebutuhan, realitas alamiah, dan realitas budaya bangsa pendukungnya. Di Indonesia, ketika pembaruan sistem pembelajaran yang dimulai dari Kurikulum 1975 melalui program Prosedur Pengembangan Sistem Instruksional (PPSI), tujuan pendidikan dirumuskan secara hierarkis dari tujuan nasional hingga tujuan per pokok bahasan di kelas. Maka, populerlah di kalangan pendidik istilah tujuan instruksional khusus (TIK), tujuan instruksional umum (TIU) yang menopang tujuan kurikuler, tujuan institusional, dan tujuan nasional pendidikan. Dilengkapi pula garis-garis besar program pengajaran (GBPP) sehingga guru menyusun satuan acara pengajaran (SAP) atau rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) tetap dalam garis lurus tujuan yang ditetapkan. Pendidikan adalah usaha dan proses sadar, terencana untuk suatu tujuan. Dalam Kurikulum 2013, tujuan itu diterjemahkan menjadi kompetensi inti dan kompetensi dasar yang tak terlalu gamblang bagi kebanyakan guru. Sepertinya terdapat kesenjangan logika antara kompetensi inti sebagai ”sublimasi” perolehan pemelajaran dari seluruh mata pelajaran dengan kompetensi dasar yang merupakan ”kristalisasi” nilai-nilai per mata pelajaran dalam korelasinya dengan peristiwa pembelajaran. Istilah ”kompetensi” sepertinya dipetik dari standar kompetensi lulusan (SKL) yang merupakan olahan dari fungsi pendidikan, tujuan pendidikan nasional, pendidikan karakter yang dikemas sebagai kompetensi inti, dan kompetensi dasar yang mesti dijabarkan oleh para guru secara lebih detail dalam RPP yang tebal-tebal itu. Beragam perangkat inilah, ditambah pula instrumen evaluasi dan administrasi lain, yang tadinya dimaksudkan memberi kerangka sistematis untuk mempermudah pekerjaan guru, lama-kelamaan jadi ”kerangkeng” yang mengurung, menjadi beban administratif, sehingga para guru menjadi tidak merdeka dan ketakutan berimprovisasi. Karena itu, dapat dipahami mengapa Mendikbud melakukan semacam deregulasi dan debirokratisasi serta menyatakan tak akan membuat petunjuk lagi mengenai cara kerja yang harus dilakukan guru. Mengingat, di lapangan, petunjuk ini sering dijadikan aturan baku yang mengikat sehingga justru berdampak membunuh kreativitas para guru (Kompas, 26/12/2019).   Mendikbud bahkan memberikan kelonggaran dalam membuat RPP yang singkat dengan membolehkan guru memangkas beberapa komponen agar lebih efisien dan efektif. Para guru dibebaskan memilih, membuat, menggunakan, dan mengembangkan format RPP sendiri yang komponen intinya terdiri dari tujuan pembelajaran, kegiatan pembelajaran, dan asesmen. Meskipun ada pembebasan dalam format, membuat RPP adalah keharusan karena ini akan menjadi pegangan pertama bagi guru dalam menerapkan ”kemerdekaan” agar pembelajaran tidak mengawur. Berorientasi pada tujuan Acuan kedua, dengan berpegang pada RPP, kemerdekaan belajar akan menjadi proses yang berorientasi pada tujuan. Menurut Nadiem, standar capaian pembelajaran sudah sangat jelas di dalam Kurikulum 2013. Cara mencapai standar itulah yang dibebaskan kepada guru, agar guru mengembangkan pola interaksi yang sesuai dengan kondisi kelas masing-masing. Di sinilah dituntut kecakapan guru berimprovisasi agar pembelajaran lebih efektif, diperkaya, dan menarik/menyenangkan. Pengembangan dimaksud memerlukan fleksibilitas dan keleluasaan sehingga tak mungkin terwujud jika model ujian nasional (UN) dan ujian sekolah berbasis nasional (USBN) tetap berlangsung seperti selama ini, dan oleh sebab itu perlu diperbarui. Ada banyak komentar menanggapi penghapusan (penggantian) UN dan USBN seolah menjadikan pendidikan tanpa arah, tanpa standar, dan tanpa parameter. Pemikiran demikian kurang menyadari bahwa sekolah dan guru menjalankan fungsi dan tugasnya berdasarkan pada berbagai panduan, seperti kurikulum, standar isi, dan standar kompetensi lulusan. Para guru pun bekerja diterangi berbagai teori dan pengalaman dalam mencapai tujuan pemelajaran/pendidikan. Menurut Nadiem, standar capaian pembelajaran sudah sangat jelas di dalam Kurikulum 2013. Fleksibilitas Dalam mempraktikkan kemerdekaan belajar, proses pemelajaran seperti perjalanan sebuah kapal mengarungi samudra luas. Tujuan merupakan kompas yang memberikan arah dan jadi pegangan guru dan sekolah dalam melakukan berbagai kegiatan. Guru sebagai nakhoda dapat secara luwes memilih dan menentukan jalan yang hendak ditempuhnya, dan ketika perjalanan terkendala, dengan rasa merdeka dan kreativitasnya guru dapat mencari dan memilih jalan lain mencapai tujuan. Sementara pembelajaran tak merdeka ibarat perjalanan kereta api. Guru adalah masinis yang secara mekanis bekerja mengikuti tata aturan baku untuk berjalan di rel dan tak boleh keluar dari ketentuan. Perjalanan harus melewati stasiun-stasiun tertentu yang pasti. Ketika ada aral menghadang, kereta harus berhenti atau menabrak, guru tak boleh bermanuver menemukan jalan lain. Fleksibilitas dan keleluasaan sangat diperlukan dalam pemelajaran merdeka karena diasumsikan selain murid memiliki beragam potensi dan guru memiliki kompetensi, ada banyak kekayaan dan kemanfaatan yang dapat dijelajah dalam interaksi dialogis—guru-murid-lingkungan—itu di luar tujuan yang sudah dirumuskan. Para pendidik hendaknya tidak merasa puas dengan sekadar mencapai tujuan dan menyampaikan bahan tekstual yang ada di buku dan atau di RPP, tetapi menikmati proses pembelajaran sebagai kasmaran berpikir/berpengetahuan dalam hubungan moral yang kaya makna, penuh warna, dan terkadang ada kejutan.   Kebergunaan Ketiga, kemerdekaan belajar harus mengacu pada kebergunaan. Nadiem meminta Badan Standar Nasional Pendidikan untuk merumuskan kompetensi dasar standar nasional, baik standar kurikulum, standar isi, standar proses, maupun standar prasarana. Semua standar itu, kata Nadiem, harus disaring dengan satu pertanyaan: ”Ini apa gunanya bagi murid di masa depan. Itu dulu filter pertama. Ini apa dampak positifnya bagi murid kita di masa depan. Nah, kalau ternyata jawabannya tak ada, harus dibuang. Kalau jawabannya sangat penting dan berdampak positif harus dikembangkan malah ditambah.” ”Demikian juga ketika guru menyusun RPP dengan memasukkan kompetensi inti dan dasar, pastikan guru memikirkan kegunaannya bagi siswa di masa depan. Jangan masukkan kompetensi yang sifatnya seremonial saja,” lanjut Mendikbud (Kompas, 14/12/2019). Meski asas kebermanfaatan dari suatu pembelajaran itu tak semuanya dapat bersifat kasatmata (tangible)—tersebab tak semua tujuan dapat dimaterialisasikan atau bersifat teknikal seperti mental-spiritual atau berada dalam konteks ruang, waktu, dan situasi jauh dan tak pasti—panduan bersifat pragmatisme ini sangat penting dan harus dijadikan patokan utama agar pendidikan kita tak sekadar dipenuhi kata-kata ”mengawang” indah, mulia, tetapi kabur. Semua standar itu, kata Nadiem, harus disaring dengan satu pertanyaan: ”Ini apa gunanya bagi murid di masa depan. Sebagai ilustrasi, dalam panduan menyusun TIK pada PPSI, para guru diajari agar memilih kata kerja operasional dan terukur (measurable) sehingga dalam evaluasi mudah ditentukan indikatornya. ”Murid dapat mengerti dan memahami perbedaan antara binatang tikus dan tupai,” misalnya, dianggap kurang operasional dibandingkan dengan ”… dapat menunjukkan dengan benar binatang tikus dan tupai serta menyebutkan perbedaannya.” Dalam gagasan Nadiem, indikator itu bukan terbatas sebagai penanda ketercapaian, tetapi juga untuk memastikan apakah proses dan tujuan pemelajaran secara jelas bermanfaat. Dengan kebijakan ”Merdeka Belajar”, sejauh ini, ibaratnya Mendikbud telah memberikan lapangan luas dan melemparkan bola untuk dimainkan para penyelenggara pendidikan, khususnya guru dan dosen. Masalahnya, dapat dan maukah guru dan dosen ”belajar” menggunakan fasilitas ”kemerdekaan” itu secara proaktif dan efektif mencapai gol pembelajaran. (Mohammad Abduhzen, Advisor Paramadina Institute for Education Reform, Universitas Paramadina)  
  Kembali ke sebelumnya