Isi Artikel |
Ujian UMKM Menahan Korona
Ketangguhan UMKM di Indonesia kembali diuji saat menghadapi dampak penyebaran virus korona Covid-19.
Oleh ANTONIUS PURWANTO
KOMPAS/P RADITYA MAHENDRA YASA
Salah satu peserta yang mengikuti pameran UMKM dan Koperasi di Java Mall, Kota Semarang, Jawa Tengah, Senin (16/3/2020). Merebaknya virus Covid-19 di berbagai tempat serta upaya pencegahannya mulai berdampak pada lesunya perdagangan dan melambatkan sektor perekonomian.
Ketangguhan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) di Indonesia kembali diuji dalam menghadapi dampak ekonomi akibat penyebaran virus korona Covid-19. Selain membutuhkan dukungan pemerintah, pelaku UMKM perlu melakukan terobosan dan strategi agar tetap mampu bertahan di tengah lesunya ekonomi riil saat ini.
Sejarah perekonomian Indonesia mencatat besarnya kontribusi UMKM dalam menghadapi beragam krisis yang mendera negeri ini. Pada masa krisis moneter 1998, UMKM menjadi penyangga ekonomi nasional. Sementara di masa krisis keuangan global 2008, UMKM tetap kuat menopang perekonomian nasional.
Namun kini sektor UMKM kembali diuji ketahanannya ketika virus korona Covid-19 merebak dalam tiga bulan terakhir. Sebagian pengamat memperkirakan sektor UMKM akan mengalami kesulitan menahan dampak yang timbul akibat wabah Covid-19 tersebut. UMKM dinilai sebagai sektor yang paling rentan terhadap krisis ekonomi karena Covid-19. Pasalnya, jenis usaha ini sangat bergantung pada perputaran uang hasil penjualan barang dagangan.
Jika penyebaran virus korona dan dampaknya tak ditangani secara cepat, sektor UMKM dikhawatirkan akan terpuruk. Padahal, sektor UMKM selama ini mampu menyerap tenaga kerja hingga 97 persen atau 116,98 juta orang. Adapun jumlah UMKM pada 2018 tercatat 64,19 juta unit (99,99 persen).
Pelaku UMKM bergerak di perdagangan, pertanian, peternakan, kehutanan, perikanan, pertambangan, pengolahan, bangunan, komunikasi, hotel, restoran dan jasa-jasa. UMKM menyumbang 60 persen bagi produk domestik bruto (PDB).
Baca juga: Harapan Industri Seiring Pulihnya Mitra Dagang
Lesunya UMKM
Dalam sejumlah media diberitakan, pelaku UMKM mulai menghadapi beragam kesulitan bisnis sejak wabah Covid-19 meluas di Tanah Air. Ketua Asosiasi UMKM Indonesia Ikhsan Ingratubun menyebutkan, omzet UMKM mulai turun sejak Februari tahun ini. Kemudian pada Maret ini, ada sejumlah UMKM yang tidak mendapat pemasukan sama sekali. Bahkan, ada beberapa UMKM yang sampai memberhentikan karyawannya karena kesulitan finansial.
KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO
Pengunjung memilih kain batik di salah satu stan peserta pameran Indocraft 2020 di Jakarta Convention Center, Jakarta, Jumat (13/3/2020).
Menurut Ikhsan, sektor UMKM yang paling terdampak dari penyebaran virus korona meliputi fashion, kerajinan tangan, jasa transportasi daring, dan kuliner. Kesulitan yang dihadapi antara lain sulitnya penyerapan produk-produk UMKM. Menurut dia, jika masalah ini tak segera ditangani dengan baik, dikhawatirkan akan berdampak pada pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap karyawan.
Terpukulnya sektor UMKM akibat wabah virus korona itu sebenarnya sudah diprediksi Pusat Penelitian Ekonomi LIPI (P2E LIPI). Seperti dikutip dari media, Kamis (26/2/2020), Kepala Pusat Penelitian Ekonomi LIPI (P2ELIPI) Agus Eko Nugroho memperkirakan, melambatnya ekonomi global akibat wabah virus korona akan memberikan dampak signifikan terhadap kelangsungan ekonomi UMKM.
Sektor pariwisata menjadi sektor yang paling terdampak dari merebaknya virus korona. Dalam kajiannya, LIPI memproyeksikan bahwa salah satu yang terkena imbas pada sektor pariwisata adalah UMKM, terutama pada unit usaha makanan dan minuman serta kerajinan dari kayu dan rotan.
Pada kedua unit usaha tersebut, lingkup usaha mikro yang paling besar terdampak adalah usaha mikro pada unit usaha makanan dan minuman sebesar 27 persen dan kerajinan dari kayu dan rotan sebesar 17,03 persen.
Untuk sektor pariwisata, total kerugian diperkirakan 2 miliar dollar AS dengan penurunan pertumbuhan pesawat sebesar 0,013 persen, penyediaan akomodasi sebesar 0,008 persen, dan makanan minuman sebesar 0,006 persen.
Adapun Kementerian Koperasi dan UKM (Kemenkop dan UKM) sampai saat ini masih mendata jumlah UMKM yang terdampak penyebaran virus korona. Data sementara menunjukkan, setidaknya sudah ada 500 lebih UKM yang mengadu lewat call center dan WhatsApp center.
Persoalan yang dihadapi UMKM beragam, mulai dari turunnya omzet penjualan, kesulitan bahan baku, turunnya permintaan, hingga sulitnya pendistribusian. Angka tersebut diperkirakan meningkat jika persoalan-persoalan tersebut tidak segera ditangani.
KOMPAS/SUCIPTO
Sebuah warung makan Padang di Balikpapan Utara, Balikpapan, Kalimantan Timur, tidak menerima pelanggan makan di tempat untuk menghindari penyebaran virus korona jenis baru, Rabu (25/3/2020).
Baca juga: Belenggu Bahan Baku di Industri Makanan dan Minuman
Di sisi lain, bisnis UKM juga terhambat dengan adanya langkah pembatasan sosial atau social distancing untuk memutus mata rantai penyebaran virus korona.
Kebijakan pemerintah membatasi pergerakan masyarakat dan imbauan agar masyarakat tetap berada di rumah bisa menyebabkan aktivitas ekonomi menjadi berkurang. Hal itu tampak dari sepinya pembeli di warung, pertokoan, hingga pusat perbelanjaan. Bahkan, sejumlah pusat perbelanjaan telah memutuskan tutup sementara. Ujungnya, pendapatan pelaku UMKM menjadi berkurang.
Persoalan lesunya UMKM tak hanya dialami Indonesia. Di negara besar, seperti Amerika Serikat, pelaku UMKM juga merasakan dampak ekonomi akibat penyebaran virus korona. Data Goldman Sachs menunjukkan, 96 persen pemilik usaha kecil dan menengah di Amerika Serikat turut merasakan dampak pandemi Covid-19 dan 75 persen dari usaha mereka mengalami penurunan penjualan.
Langkah pemerintah
Menghadapi kegelisahan pelaku UMKM tersebut, pemerintah kemudian turun tangan dengan merelokasi anggaran dan refocusing kebijakan guna memberikan insentif ekonomi bagi pelaku UMKM dan informal. Diharapkan dengan kebijakan itu, mereka bisa tetap berproduksi dan beraktivitas dan tidak melakukan PHK.
Presiden Joko Widodo menyampaikan, nasabah usaha mikro dan usaha kecil akan diberikan penundaan cicilan sampai satu tahun dan juga penurunan bunga. Hal yang sama berlaku bagi pengemudi ojek daring dan sopir taksi yang mengambil kredit sepeda motor atau mobil, serta nelayan yang sedang memiliki kredit perahu.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) kemudian mengeluarkan beberapa kebijakan countercyclical melalui Peraturan OJK (POJK) tentang Stimulus Perekonomian Nasional sebagai solusi dari dampak penyebaran Covid-19. Peraturan OJK (POJK) Republik Indonesia Nomor 11/Pojk.03/2020 itu menyatakan bahwa bank akan menerapkan kebijakan yang mendukung stimulus pertumbuhan ekonomi untuk debitor yang terkena dampak penyebaran Covid-19, termasuk debitor UMKM. Aturan ini diharapkan dapat mendorong optimalisasi fungsi intermediasi perbankan, menjaga stabilitas sistem keuangan, dan mendukung pertumbuhan.
POJK menjelaskan, debitor, termasuk UMKM, adalah mereka yang mengalami kesulitan memenuhi kewajiban pada bank karena terdampak akibat penyebaran Covid-19. Sektor ekonomi yang terdampak, antara lain pariwisata, transportasi, perhotelan, perdagangan, pengolahan, pertanian, dan pertambangan.
Kualitas kredit yang direstrukturisasi dapat ditetapkan lancar apabila diberikan kepada debitor yang terkena dampak penyebaran Covid-19 dan restrukturisasi dilakukan setelah debitor terkena dampak penyebaran Covid-19. Restrukturisasi kredit akan dilakukan sesuai peraturan OJK mengenai penilaian kualitas aset.
Penilaian kualitas aset tersebut, antara lain dengan cara penurunan suku bunga, perpanjangan jangka waktu, pengurangan tunggakan pokok, pengurangan tunggakan bunga, penambahan fasilitas kredit, dan konversi kredit menjadi penyertaan modal sementara.
Debitor yang terkena dampak Covid-19 sebelum pemberlakuan POJK, bank tetap dapat menetapkan kualitas kredit menjadi lancar. Dengan demikian, pada saat periode pelaporan akhir Maret 2020, mereka dilaporkan lancar.
Kelonggaran kredit dari pemerintah tersebut barangkali belum langsung menjawab persoalan mendasar UMKM. Persoalannya, jika benar sampai akhir Mei 2020 nanti pembatasan sosial atau social distancing secara mandiri tetap berlaku, akan cukup banyak pelaku usaha yang kembang kempis meneruskan usahanya.
Karena itu, pada saat bersamaan, pemerintah berencana memberikan kartu sembako kepada keluarga miskin. Mereka nanti akan menerima Rp 200.000 per keluarga. Keluarga miskin diharapkan tetap bisa memutar ekonomi negara di akar rumput dengan tetap berbelanja sehingga UMKM tetap ada pembelinya.
Kebijakan relaksasi kredit bagi pelaku UMKM tidak hanya diambil Indonesia. Di Australia, Asosiasi Perbankan Australia (ABA) juga memberikan keringanan bagi pelaku UMKM untuk tidak membayar utang selama enam bulan. Dengan keringanan tersebut, para pelaku bisnis usaha kecil dan menengah bisa menggunakan 8 miliar dollar Australia, atau lebih dari Rp 75 triliun untuk bertahan hidup selama beberapa bulan ke depan. Sektor usaha kecil dan menengah di Australia mempekerjakan 5 juta warga atau sekitar 20 persen dari penduduk Australia.
Tantangan dan peluang
Tak hanya bersandar pada kelonggaran kredit dari pemerintah, pengusaha UMKM juga bisa melakukan beragam terobosan dan strategi agar dapat bertahan di tengah ketidakpastian ekonomi saat ini. Salah satunya dengan lebih mengoptimalkan platform digital dalam kegiatan pemasarannya.
Dengan memanfaatkan platform digital, para pelaku UMKM akan memiliki kesempatan yang sama dengan pelaku usaha lain untuk menjual produknya. Pemanfaatan platform digital juga menguntungkan UMKM karena dapat menghemat biaya operasional. Selain itu, UMKM sebaiknya juga berfokus atau memprioritaskan layanan pada kelompok pelanggan yang loyal.
Selain pemanfaatan platform digital, UMKM bisa berinovasi dengan menciptakan produk unggulan yang berbeda dengan yang beredar di pasaran. Keuangan juga perlu dikelola dengan baik dengan memperketat arus kas dan terperinci. Tidak ada salahnya aset yang kurang produktif dilepas. Dengan beragam strategi itu, pelaku UMKM diharapkan tetap mampu bertahan di tengah kesulitan bisnis menghadapi pandemi virus korona.
Di sisi pemerintah, kebijakan relaksasi kredit bagi pelaku UMKM memang akan mengurangi beban pelaku UMKM dalam jangka pendek. Namun, langkah tersebut tidaklah cukup. Justru di masa krisis seperti ini, pemerintah bisa melakukan pemetaan persoalan dan membenahi UMKM.
Salah satunya dengan tetap menyediakan skema permodalan yang ramah terhadap UMKM. Selama ini, UMKM acapkali kesulitan mendapatkan modal dari bank karena sulitnya memenuhi syarat creditworthiness yang menjadi standar bank dalam memberikan pinjaman. Creditworthiness diartikan sebagai syarat-syarat kelayakan untuk mendapatkan kredit dari bank.
Sejarah membuktikan sektor UMKM mampu tetap bertahan di tengah situasi ekonomi yang serba tidak pasti. Tak hanya menghasilkan barang dan jasa yang menjadi kebutuhan masyarakat, UMKM juga memanfaatkan sumber daya lokal, seperti pekerja lokal dan bahan baku lokal. Hal itu tentunya menjadi keunggulan UMKM dibandingkan sektor industri lain yang mengandalkan bahan baku impor.
Krisis akibat pandemi virus korona bisa menjadi ujian ketangguhan bagi pelaku UMKM sekaligus tantangan dan peluang. Kejelian pelaku usaha melihat peluang dari setiap peristiwa yang terjadi di tengah masyarakat menjadi kunci bertahan atau tidaknya UMKM menghadapi tantangan ekonomi saat ini. (LITBANG KOMPAS)
|