Isi Artikel |
UN yang Terhapus karena Covid-19
Kamis ini, 2 April 2020, siswa kelas XII SMA semestinya merayakan ”kemerdekaan”-nya setelah menyelesaikan ujian nasional. Bahkan, siswa SMK seharusnya sudah sejak 19 Maret. Namun, pandemi Covid-19 mengubah semuanya.
Oleh MB DEWI PANCAWATI
Dengan mempertimbangkan kesehatan dan keamanan lebih kurang 8 juta siswa, pemerintah membatalkan ujian nasional 2020, termasuk uji kompetensi keahlian bagi sekolah menengah kejuruan. Hal ini tertuang dalam Surat Edaran Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 4 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Kebijakan Pendidikan dalam Masa Darurat Penyebaran Coronavirus Disease (Covid-19).
Dengan dibatalkannya UN 2020 ini, keikutsertaan UN tidak menjadi syarat kelulusan atau seleksi masuk jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Surat edaran Mendikbud itu memberikan keleluasaan kepada guru dan sekolah untuk memberikan penilaian. Penilaian dapat berdasarkan penugasan, tes daring, dan/atau bentuk penilaian jarak jauh lainnya. Bentuk portofolio berupa nilai rapor dan prestasi sebelumnya juga bisa menjadi pertimbangan penilaian.
Dibatalkannya UN 2020 karena wabah penyakit di satu sisi mungkin menjadi kabar gembira bagi berbagai pihak, khususnya guru, siswa, dan orangtua yang kerap didera stres saat menghadapinya. Namun, di sisi lain, hal itu juga menimbulkan dampak yang tak sederhana.
Alih-alih mutu pendidikan meningkat, yang ada para pelaku dunia pendidikan berusaha ”mendongkrak” nilai UN.
Selama ini, banyaknya persoalan UN memunculkan banyak wacana penghapusan UN yang muncul dan tenggelam. Standar kelulusan UN yang dimulai sejak 2005 pun berbeda setiap tahun. Bahkan, untuk memacu semangat belajar dan meningkatkan mutu standar nilai, setiap tahun standar kelulusan dinaikkan. Tingkat kesulitannya juga ditingkatkan. Harapannya, standar nilai siswa di Indonesia terus meningkat dan tak tertinggal dari negara lain.
Baca juga : Ketika Semua Harus Dilakukan di Rumah
Namun, hasilnya, persentase kelulusan siswa justru menurun, tidak mencapai 100 persen. Muncul banyak daerah dengan angka ketidaklulusan tinggi.
Dampaknya, setiap penyelenggaraan UN selalu diwarnai persoalan, mulai dari kebocoran soal dan kunci jawaban, kecurangan massal, hingga perjokian. Siswa dan guru stres hingga terjadilah penyimpangan tujuan UN ke ranah politik. Alih-alih mutu pendidikan meningkat, yang ada para pelaku dunia pendidikan berusaha ”mendongkrak” nilai UN.
Baca juga : Jiwa Raga Sehat, Covid-19 Lenyap
Ada koinsidensi bahwa saat wabah Covid-19 ini berlangsung bersamaan dengan munculnya kembali gagasan menghapus metode UN dari sistem kelulusan siswa.
Mendikbud Nadiem Makarim membuat gebrakan akan menghapus UN mulai tahun 2021 melalui kebijakan yang disebut ”Merdeka Belajar”. Tahun 2020, menurut rencana, adalah ujian nasional terakhir bagi siswa SMP, SMA, SMK, dan yang sederajat. Rencana itu kini malah maju setahun dari jadwal akibat wabah.
Standar mutu
Diakui, keberadaan UN sebagai salah satu tolok ukur standar pendidikan pun sejauh ini tidak serta-merta mencerminkan mutu ideal pendidikan senyatanya. Meski juga bisa dipahami sebaliknya bahwa tetap diperlukan standar nasional guna memacu kualitas pendidikan di daerah-daerah.
Baca juga : Upaya Melawan Hoaks Covid-19
Dari sisi literasi membaca, matematika, dan sains, misalnya, RI masih harus mengatasi banyak ketertinggalan dari negara lain. Tren Program Penilaian Pelajar Internasional (PISA) Indonesia cenderung menurun dan stagnan sejak tahun 2000 untuk literasi membaca, matematika, dan sains. Tes PISA yang dibuat Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (The Organisation for Economic Co-operation and Development/OECD) ini mencerminkan kualitas pendidikan di sejumlah negara di dunia.
Hanya ada 1 dari 1.000 orang di Indonesia yang rajin membaca.
Pemeringkatan dibuat PISA untuk memungkinkan para pengajar dan pembuat kebijakan belajar dari kebijakan serta praktik di negara-negara lain. Negara-negara seperti Finlandia, Amerika Serikat, Jerman, Jepang, dan Australia tidak menerapkan metode ujian nasional dalam sistem kelulusan pendidikannya.
Sementara itu, tingkat literasi atau minat baca di Indonesia juga masih sangat rendah. Menurut UNESCO, minat baca masyarakat Indonesia hanya 0,1 persen.
Artinya, hanya ada 1 dari 1.000 orang di Indonesia yang rajin membaca. Selain itu, riset bertajuk ”World’s Most Literate Nations Ranked”, yang digarap pada 2016 oleh Central Connecticut State University (CCSU), menempatkan RI pada peringkat ke-60 dari 61 negara yang dikaji, hanya di atas Botswana (peringkat ke-61).
Ukuran baru
Ujian nasional 2020 yang ”terpaksa” dibatalkan dan mengubah sistem penilaian bisa menjadi penjajakan dan pembelajaran bagi penghapusan UN yang sesungguhnya. Sebagai salah satu dari empat kebijakan ”Merdeka Belajar”, UN yang dihapus akan diubah menjadi asesmen kompetensi minimum dan survei karakter.
Tes tersebut tak berdasarkan mata pelajaran, tetapi ada tiga kemampuan yang dinilai, yaitu literasi (nalar dan bahasa), numerasi (matematika), dan karakter. Penilaiannya mengacu pada standar internasional, seperti PISA dan Trends in International Mathematics and Science Study (TIMSS).
Asesmen ini akan diberikan pada pertengahan jenjang sekolah, seperti kelas IV, VIII, dan XI, sehingga tidak menjadi basis penilaian siswa untuk melanjutkan ke jenjang berikutnya. Penghapusan UN dilakukan dalam rangka menciptakan kesinambungan sistem pendidikan dan dunia industri. Hal itu juga bertujuan untuk meningkatkan kompetensi demi SDM yang unggul.
Meski demikian, upaya perbaikan kualitas pendidikan RI dengan memberikan keleluasaan kepada guru untuk menilai siswa didiknya dalam kebijakan ”Merdeka Belajar” ini masih juga menimbulkan pro dan kontra.
Masih ada kekhawatiran tidak ada lagi standar nasional untuk menilai siswa dan memetakan mutu pendidikan serta ketidaksiapan guru dengan sistem asesmen karena fasilitas yang terbatas. Juga ada kekhawatiran asesmen kompetensi akan memunculkan unsur subyektivitas dalam menentukan kelulusan siswa dan seleksi untuk sekolah lanjutan.
KOMPAS/PRIYOMBODO
Guru berdiskusi di koridor sekolah di SMK Negeri 30, Jakarta Selatan, Senin (16/3/2020). Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menunda pelaksanaan ujian nasional untuk sekolah menengah kejuruan sebagai langkah antisipasi terhadap penyebaran virus korona. Selain itu, sekolah juga diliburkan selama 14 hari.
Kualitas guru
Seperti negara-negara maju yang tidak menerapkan ujian nasional, salah satu kunci kesuksesannya adalah meningkatkan kapasitas guru. Perlu revitalisasi kemampuan guru dan peningkatan kapasitas guru, baik yang terkait dengan konten pembelajaran maupun dengan kemampuan penyusunan soal.
Kemampuan guru untuk menyusun soal yang berkualitas mungkin kurang terasah. Hal ini karena guru masih terbelenggu dengan hal-hal yang bersifat administratif atau hal-hal yang sebenarnya tidak berdampak riil terhadap pembelajaran siswa.
Berbagai fakta yang ada bisa menjadi pijakan guna menentukan ukuran kelulusan dan mutu pendidikan yang baru. Pemerintah memiliki pekerjaan rumah untuk merumuskan standar tersebut, sementara para guru dan sekolah membangun sistem baru.
Sistem baru idealnya meninggalkan proses pembelajaran yang cenderung mengutamakan hafalan, tetapi mengutamakan kompetensi. Metode pembelajaran yang mengedepankan proses-proses pemikiran yang visioner, termasuk mengasah kemampuan cara berpikir kritis, kreatif, dan inovatif, sangat dibutuhkan di masa kini. (LITBANG KOMPAS)
|