Selamat datang di website E-PAPER PERPUSTAKAAN DPRRI.

Koleksi Perpustakaan DPR RI

Judul Artikel Opini. Covid-19. Penegakan hukum pembatasan sosial
Tanggal 04 April 2020
Surat Kabar Kompas
Halaman -
Kata Kunci
AKD - Komisi IX
Isi Artikel  Covid-19 Penegakan Hukum Pembatasan Sosial Bagi pekerja sektor informal, menetap di kota besar dalam masa pemberlakuan pembatasan sosial bukanlah opsi paling utama karena tidak ada sumber pemasukan untuk menyambung hidup. Opsi utama adalah pulang kampung. Oleh Hifdzil Allim   Pandemi virus korona (Covid-19) masih berlanjut hingga sekarang. Pemerintah mengambil tindakan untuk membatasi hubungan antar-anggota masyarakat. Bahkan, Kapolri akan menerapkan pemidanaan bagi siapa pun yang tak mengindahkan arahan pemerintah. Kapolri menerbitkan pengumuman (maklumat) No Mak/2/III/ 2020 tentang Kepatuhan terhadap Kebijakan Pemerintah dalam Penanganan Penyebaran Virus Korona (Covid-19). Salah satu isi dari maklumat itu adalah masyarakat dilarang mengadakan kegiatan yang mendatangkan massa untuk menjaga keselamatan rakyat (salus populi suprema lex esto). Kapolri menegaskan, setiap orang yang melakukan perbuatan yang bertentangan dengan maklumat a quo bakal dikenai tindakan kepolisian. Pembatasan relasi sosial memang simalakama. Hanya, perlu diingat, penegakan hukum tak boleh bertentangan dengan jaminan hukum yang telah diatur dalam konstitusi. Poinnya adalah bukan tepat atau tidak tepatnya tindakan yang diambil pemerintah—cq Polri, melainkan setiap kebijakan pemerintah perlu diatur hukumnya agar tidak menjadi pelaksanaan kekuasaan yang alih-alih melindungi rakyat, malah sebaliknya menjadi tiran. Dasar hukum Kebijakan pembatasan relasi dan acara sosial (social distancing) dalam kondisi dan situasi saat ini sudah barang tentu benar, tiada dapat digugat. Hanya, jika dipertanyakan lebih jauh, apakah sudah juga dipikirkan dampak dari pembatasan hubungan antar-anggota masyarakat bagi rakyat? Kebijakan pembatasan relasi dan acara sosial (social distancing) dalam kondisi dan situasi saat ini sudah barang tentu benar, tiada dapat digugat. Untuk mengetahui ketentuan pembatasan sosial yang berkaitan dengan kesehatan, undang-undang yang lebih dekat dapat dipakai sebagai dasar hukum misalnya UU No 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan. Dalam Pasal 1 Angka 11 disebutkan, ”Pembatasan sosial berskala besar adalah pembatasan kegiatan tertentu penduduk dalam suatu wilayah yang diduga terinfeksi penyakit dan/atau terkontaminasi sedemikian rupa untuk mencegah kemungkinan penyebaran penyakit atau kontaminasi.” Pembatasan sosial tidak bisa dilepaskan dari status kedaruratan kesehatan masyarakat. Pasal 1 Angka 2 UU Kekarantinaan Kesehatan menyatakan, ”Kedaruratan kesehatan masyarakat adalah kejadian kesehatan masyarakat yang bersifat luar biasa yang ditandai dengan penyebaran penyakit menular dan/atau kejadian yang disebabkan oleh radiasi nuklir, pencemaran biologi, kontaminasi kimia, bioterorisme, dan pangan yang menimbulkan bahaya kesehatan dan berpotensi menyebar lintas wilayah atau lintas negara.” Pembatasan atau pemenjaraan sosial erat kaitannya dengan kedaruratan kesehatan. Hubungan antarkeduanya bersifat sebab akibat. Pembatasan sosial diterapkan jika telah ada kedaruratan kesehatan. Tanpa adanya kedaruratan, tidak boleh ada pembatasan sosial. Dua norma tersebut harus dibaca sedemikian rupa. Aturan tentang pembatasan sosial—lebih tepatnya lagi pembatasan sosial berskala besar—dalam kesehatan diatur bersama dengan ketentuan karantina rumah, karantina wilayah, dan karantina rumah sakit. Pejabat yang boleh menetapkan pembatasan sosial terkait dengan kesehatan adalah Menteri Kesehatan. Secara administratif, social distancing baru dapat diterapkan setelah Menteri Kesehatan menerbitkan keputusan tentang penetapan pembatasan sosial—dalam kasus lain juga penetapan karantina wilayah. Pasca-keputusan tersebut, semua pejabat di tingkat pusat juga di tingkat daerah akan menindaklanjutinya dengan kebijakan-kebijakan turunan, termasuk maklumat Kapolri di atas.   Sudahkah Menteri Kesehatan menerbitkan keputusan tentang kedaruratan kesehatan sehingga Kapolri dapat menerbitkan maklumat? Tapi, kan, tiada masalah untuk itu? Ke depan, hal ini akan menjadi hal yang dipersoalkan karena kebijakan tersebut dianggap tak berdasar hukum dan melanggar Pasal 1 Ayat (3) UUD 1945. Melindungi rakyat Pertimbangan yang dipakai untuk menentukan pembatasan sosial ialah situasi epidemiologis, besarnya ancaman, efektivitas, dukungan sumber daya, teknis operasional, pertimbangan ekonomi, sosial, budaya, serta keamanan. Pendek kata, ada pertimbangan-pertimbangan tertentu yang menjadi rujukan jika akan menerapkan pembatasan sosial—itu pun yang skala besar. Filosofi pengaturan pembatasan sosial adalah pencegahan merebaknya wabah penyakit. Akan tetapi, tak serta-merta kebijakan pembatasan sosial tersebut dapat dilakukan. Harus ada pertimbangan-pertimbangan tertentu yang rasional dan mesti dipikirkan lebih dulu. Sebagai contoh, apakah pertimbangan ekonomi yang tepat sudah dipikirkan sebelum pemberlakuan pembatasan sosial? Hal ini terkait dengan pemasukan ekonomi masyarakat. Mungkin bagi penduduk yang berada dalam strata ekonomi menengah ke atas—dengan pendapatan yang tetap atau pasti—kebijakan pembatasan sosial tidak sangat memengaruhi pendapatan untuk memenuhi kebutuhan dan menyambung hidupnya. Namun, bagaimana penduduk yang bekerja di sektor informal dengan pendapatan harian atau tak menentu? Apakah pemerintah telah menyediakan paket kebijakan ekonomi untuk melindungi para pengasong koran, tukang becak, penjual kopi keliling, pekerja rumah tangga pocokan, ojek pengkolan, pemulung, dan lain sebagainya? Pertimbangan yang dipakai untuk menentukan pembatasan sosial ialah situasi epidemiologis, besarnya ancaman, efektivitas, dukungan sumber daya, teknis operasional, pertimbangan ekonomi, sosial, budaya, serta keamanan. Bagi pekerja sektor informal, menetap di kota besar dalam masa pemberlakuan pembatasan sosial bukanlah opsi paling utama karena tidak ada sumber pemasukan untuk menyambung hidup. Opsi utama adalah pulang kampung. Padahal, opsi ini dianggap kontraproduktif dengan pencegahan penyebaran Covid-19. Mereka tak bisa disalahkan untuk itu. Sekali lagi, ini bukan soal benar atau salahnya kebijakan pengaturan pembatasan sosial yang diberlakukan saat ini. Akan tetapi, ini perihal pilihan-pilihan kebijakan pemerintah untuk melindungi rakyatnya. Dan penegakan hukum terhadapnya jangan sampai menjadi kertas kosong tak berisi. Ini berpotensi tak ditaati dan bisa malah menyengsarakan penduduknya sehingga asas salus populi suprema lex esto tidak terwujud. Semoga pandemi virus korona cepat berlalu dan negeri ini kembali menjadi gemah ripah loh jinawi. (Hifdzil Allim, Direktur HICON Law & Policy Strategies)
  Kembali ke sebelumnya