Selamat datang di website E-PAPER PERPUSTAKAAN DPRRI.

Koleksi Perpustakaan DPR RI

Judul Artikel Opini. Pandemi Covid-19. Pertimbangan karantina wilayah
Tanggal 07 April 2020
Surat Kabar Kompas
Halaman -
Kata Kunci
AKD - Komisi IX
Isi Artikel  Pandemi Covid-19 Pertimbangan Karantina Wilayah Penemuan kasus Covid-19 dan atau kematian di luar rantai penularan yang telah diketahui memberi isyarat perlunya karantina wilayah tertentu, yang memberikan kemungkinan hasil yang efektif memperlambat penyebaran virus. Oleh Hadi Pratomo     Dalam perkembangan pandemi Covid-19, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mendorong semua negara melakukan kontrol penyakit ini sebagai prioritas utama. Oleh karena itu, European Centre for Disease Prevention and Control (ECDC, Uni Eropa) memberikan pedoman implementasi social distancing (penjarakan badan/PB). Dalam dokumen tersebut, ECDC (Technical Report, 23 Maret 2020) PB adalah sebuah kegiatan meminimalisasi kontak satu orang dengan lainnya. PB merupakan salah satu strategi nonfarmasi, yang ditujukan untuk mengurangi penularan dan saat yang sama mengurangi beban terhadap pelayanan kesehatan. Sejumlah faktor ECDC memberikan pedoman pertimbangan suatu negara ketika akan melaksanakan program PB. Ada sejumlah faktor pertimbangan: 1) sosial politik, 2) HAM dan tanggap kedaruratan yang proporsional, 3) komunikasi risiko, 4) kesiapan melawan stigma, 5) dukungan khusus bagi yang terkena kebijakan, 6) dukungan sosial bagi kelompok rentan, 7) solidaritas dan kegotongroyongan masyarakat, 8) penggantian penghasilan dan pekerjaan yang hilang, 9) penjaminan keberlanjutan ekonomi, serta 10) evaluasi proses dan dampak. Terkait dengan faktor sosial politik, setiap anggota negara Uni Eropa memiliki situasi sosial politik dan perundangan yang berbeda. Regulasi yang cocok untuk suatu negara belum pasti pas untuk negara lain. Implikasi di Indonesia, setiap provinsi, kabupaten/kota memiliki kondisi sosial, politik, dan regulasi lokal berbeda, ini perlu perhatian. Implikasi di Indonesia, setiap provinsi, kabupaten/kota memiliki kondisi sosial, politik, dan regulasi lokal berbeda, ini perlu perhatian. Demikian pula norma dan nilai masyarakat terkait pergerakan, kepergian, dan ritual mudik Lebaran perlu dikaji terkait dengan nilai kesehatan dan penerimaan masyarakat. Tak ada satu pedoman yang bisa cocok di semua kondisi wilayah, jadi perlu ada adaptasi. Terkait isu HAM dan tanggapan kedaruratan yang proporsional, kebijakan kesehatan masyarakat harus menghormati undang-undang (negara, internasional) dan prinsip etika. Implikasinya, perlu dipastikan tak boleh terjadi bahwa kelompok masyarakat yang dikarantina untuk melindungi populasi yang lebih banyak itu sendiri justru terjebak di lingkungan dengan risiko tinggi penularan. Tindakan karantina yang diberlakukan harus menjamin asas keadilan dan pemerataan. Terkait komunikasi risiko, perlu dirancang strategi komunikasi risiko komprehensif. Dalam dokumen ini harus termaktub rasional dan justifikasi kenapa diberlakukan PB. Selain itu, sangat penting masyarakat dapat informasi akurat apa yang harus dilakukan. Sistem monitoring berkala perlu diciptakan guna menilai persepsi, pendapat masyarakat, dan respons terhadap pandemi. Pemerintah perlu menyediakan dan memperbarui regulasi, standar internasional, khususnya dari WHO, untuk diadopsi dengan konteks budaya Indonesia. Materi ini bisa jadi pedoman komunikasi risiko bagi petugas kesehatan berbagai lini.     Terkait stigma, data epidemi penyakit menular sebelumnya menunjukkan bahwa orang atau warga yang telah dikarantina (walau mereka tidak terinfeksi) sering mengalami stigma. Hal ini dapat memengaruhi kepatuhannya pada larangan kesehatan masyarakat. Oleh karena itu, secara proaktif pemerintah perlu mengantisipasi stigma dengan meningkatkan solidaritas masyarakat. Belakangan beredar di media sosial bahwa penderita Covid-19 di suatu kompleks perumahan X pulang ke rumah. Oleh masyarakat sekitar, dia tak dikucilkan, tetapi justru didukung untuk isolasi diri dan warga sekitar menyumbang makanan secara giliran. Pengalaman seperti ini sangat berharga untuk model melawan stigma. Untuk kelompok masyarakat yang terkena dampak kebijakan, pemerintah memfasilitasi kontak dengan teman, keluarga, dan jejaring lain berbasis komunikasi internet, medsos, dan telepon untuk menjaga kesehatan mental warga. Perlu ada motivasi warga untuk melakukan olah tubuh fisik, apakah di rumah atau di luar rumah. Selain itu, dinasihatkan makan gizi seimbang, minum cukup, hindari merokok, serta hindari minum alkohol dan obat-obatan. Pemerintah perlu menyiapkan sistem, tenaga, sarana, serta materi komunikasi dan edukasi kepada kelompok ini sehingga mereka merasa diperhatikan. Dukungan untuk kelompok rentan Untuk kelompok rentan, misalnya orang lansia, mereka dengan penyakit penyerta, disabilitas, orang dengan gangguan jiwa (ODGJ), tunawisma, dan kelompok migran, perlu disiapkan dukungan kesejahteraan. Pemerintah diharapkan menggalang kerja sama dan meminta dukungan dari kelompok masyarakat madani, kelompok agama, kelompok masyarakat lain yang terbiasa melayani kelompok-kelompok tersebut. Oleh karena itu, secara proaktif pemerintah perlu mengantisipasi stigma dengan meningkatkan solidaritas masyarakat. Dari pengalaman beberapa negara dalam penerapan karantina secara ketat, terdapat kelompok masyarakat patuh dan saling membantu. Hal ini termasuk yang pernah viral di medsos, warga spontan menyanyi bersama, memasang spanduk identitas kebanggaan dengan pesan ”Semua duka akan teratasi”. Di Indonesia, banyak timbul spontanitas gerakan masyarakat, misalnya memberi donasi makanan serta menggalang dana beli masker dan obat-obatan. Intinya, solidaritas dan kegotongroyongan tumbuh subur karena keadaan meminta. Kebijakan PB berdampak pada beban finansial berbagai unit sosial masyarakat, misalnya keluarga, kelompok masyarakat, hingga pelaku bisnis. Kompensasi biaya yang hilang karena pekerjaan atau kesempatan kerja perlu dirancang secara cermat sebagai satu sistem yang penting untuk mendukung implementasi PB. Keberlanjutan ekonomi Kelanggengan manajemen bisnis adalah proses sebuah organisasi menjamin bahwa aktivitas penting dan operasional tetap berjalan sekalipun ada disrupsi. Untuk mencegah tersebarnya Covid-19, dilakukan kebijakan kerja jarak jauh dengan bantuan teknologi dan bekerja dari rumah. Dukungan keberlanjutan dunia usaha perlu juga diberikan pada sektor informal, UMKM yang mungkin rentan terhadap kebangkrutan. Dampak epidemiologi dan sosial dengan berlakunya aturan terkait PB perlu dipantau sepanjang pelaksanaan. Selain itu, perlu diadaptasi sesuai dengan perkembangan. Ketika regulasi sudah dicanangkan, perlu dilakukan evaluasi sistematik dan komprehensif dalam setiap tatanan agar dapat mengidentifikasi pembelajaran untuk mengantisipasi timbulnya pandemik serupa.     Kebijakan PB ditujukan untuk meminimalkan kontak antarorang. Hal ini diharapkan dapat menurunkan intensitas pandemi. Keputusan melakukan kebijakan PB sebaiknya berdasarkan bukti ilmiah. Namun, pertimbangan sosial politik lebih sering mengemuka. Penemuan kasus Covid-19 dan atau kematian di luar rantai penularan yang telah diketahui memberi isyarat perlunya karantina wilayah tertentu. Keputusan yang lebih awal, cepat, terkoordinasi secara komprehensif, karantina wilayah memberikan kemungkinan hasil yang lebih efektif untuk memperlambat tersebarnya Covid-19 dari pada kebijakan yang terlambat. (Hadi Pratomo, Guru Besar FKM UI dan Anggota Dewan Ahli IAKMI)
  Kembali ke sebelumnya