Isi Artikel |
Pandemi Covid-19
Semiotika Korona
Abad ini adalah era informasi, dan soal informasi tak lain adalah perkara bahasa. Dengan bahasa kita dapat memahami sekaligus salah paham. Bahasa bahkan bisa lebih ganas daripada wabah apa pun.
Oleh Acep Iwan Saidi
Korona, keluarga virus itu, bisakah dipahami sebagai tanda?
Dalam semiotika, tanda dipahami sebagai sesuatu yang mewakili yang lain. Tanda, kata Barthes (1985), adalah hubungan antara penanda (signifier) dan petanda (signified). Penanda adalah entitas yang membenda (tangible), termasuk di dalamnya yang terlihat dan terdengar (audio visual), sedangkan petanda adalah konsep atau sesuatu yang terdapat di balik tanda. Virus korona yang kini sedang berkeliaran menebar maut itu, jika disikapi sebagai tanda sedemikian, bagaimanakah wujudnya?
Sebagai virus, penyebab penyakit Covid-19 itu tidak kasatmata. Hanya lensa pembesar yang bisa melihatnya. Lantas, ketika ia dibesarkan dan digambar, tentu ia bukan lagi wujud aslinya. Ia adalah image, citra. Nama korona yang diberikan kepadanya, meminjam Saussure (1990), bersifat manasuka (arbitrer). Di situ, korona menjadi semacam nomenklatur, konsep yang dipungut untuk menandainya sebagai sebuah sistem (langue).
Di situ, korona menjadi semacam nomenklatur, konsep yang dipungut untuk menandainya sebagai sebuah sistem (langue).
Basis penandaan (encoding) ini, jika merujuk kepada Peirce (dalam Short, 2007), bersifat ikonik. Wabah itu diberi nama korona sebab bentuknya mirip mahkota (corona, dari bahasa Latin, crown, ’mahkota’). Walhasil, secara semiotis, virus korona (coronavirus) adalah citra ikonik makhluk yang wujud aslinya (real system) tidak kasatmata. Ini adalah citra yang sekaligus bersifat metaforik.
Karena tidak kasatmata korona jadi sangat menakutkan. Tentu ini di luar fakta bahwa korona memang menimbulkan penyakit dan kematian yang nyaris tidak terhindarkan. Andai virus korona kasatmata, bukankah setidaknya secara fisik ia bisa dihindari. Sebab tak terlihat, kita seperti tengah menghadapi sihir jahat (black magic). Bukankah ancaman paling berbahaya adalah musuh yang tidak terlihat.
Bahasa melampaui sains
Sebagai image, wujud korona kemudian masuk ke dalam media siber atau ruang siber, sebuah tempat di mana berbagai citra bermetamorfosis, tempat ”meme” (baca: gen yang terus beranak pinak) bergerak ke berbagai arah dengan ”kecepatan setan”. Karakter media siber itu, dalam beberapa hal, juga melahirkan kecemasan pada masyarakat siber itu sendiri (netokrasi, netizen)—yang lantas berpengaruh secara signifikan kepada masyarakat ”sosiologis-geografis” (riil, citizen).
Hal ini disebabkan segala informasi dan perbincangan masuk tanpa pandang bulu. Berita kematian, misalnya, bukan sekadar berita kematian, melainkan drama kematian. Berita jadi orkestra atau pertunjukan (Holmes, 2005). Informasi pun jadi pseudo informasi, dalam banyak hal bahkan menjadi patalogi informasi. Akibatnya, ketika Covid-19 yang telah jadi hantu itu masuk ke dalamnya, segera ia menimbulkan ketakutan yang berlipat ganda, kepanikan luar biasa.
Ketakutan dan kepanikan dalam realitas riil juga digerakkan argumen saintifik. Sains belum bisa mengidentifikasi penangkal virus korona. Belum ada obatnya. Fakta ketidakberdayaan sains ini juga dibarengi kegagalannya dalam mengirim ”pesan substansial” ke publik. Sains tak mampu menjelaskan dalam bahasa populer bahwa belum ditemukan obat bukan berarti tak bisa sembuh.
Faktanya, sebagian besar sembuh. Akibatnya, sains cenderung dipahami dan diterima publik sebagai mitos yang diciptakan bahasa, mitos sebagai model artikulasi (Barthes, 1991).
Seseorang yang meminum obat sakit kepala bukan berarti ia tahu kandungan obat itu; ia hanya yakin pada bahasa yang mendeskripsikannya (sebut saja iklan obat). Di situ, bahasa telah melampaui sains.
”Jarak cinta”
Esai ini tak menafikan fakta keganasan Covid-19 yang telah memakan banyak korban. Esai ini justru sedang mencoba menawarkan sebuah cara melihatnya melalui perspektif lain, dalam hal ini melalui ”jalan bahasa” sebagai salah satu strategi mengatasi persoalan yang sangat memilukan ini.
Ini bukan perkara wabah semata, melainkan persoalan peradaban, tempat bahasa jadi inti di dalamnya. Abad ini adalah era informasi, dan soal informasi tak lain adalah perkara bahasa. Dengan bahasa kita dapat memahami sekaligus salah paham. Bahasa bahkan bisa lebih ganas daripada wabah apa pun.
Mari kita periksa kembali pemberian istilah (semiosisasi) yang berhubungan dengan kasus ini. Beberapa istilah itu antara lain orang dalam pengawasan (ODP), pasien dalam pengawasan (PDP), isolasi, dan social distancing. Tiga istilah pertama memberi kesan menyeramkan. Ini karena diksi yang digunakan lebih dulu telah dipakai di ranah lain, yakni ranah kejahatan.
Untuk ODP, dalam ranah kejahatan dikenal orang dalam pencarian (wanted). Kata ”pengawasan” sendiri cenderung lebih bernuansa negatif. Pada istilah kedua, PDP, selain nuansanya negatif, juga berlebihan (redundan). Pasien, bagaimanapun, sudah dengan sendirinya memang merupakan individu yang kesehatannya sedang dirawat. Demikian halnya istilah isolasi. Istilah ini bernuansa militeristik.
Ini bukan perkara wabah semata, melainkan persoalan peradaban, tempat bahasa jadi inti di dalamnya.
Merujuk ke semiotika Saussure (1990) tentang relasi sintagmatik vs paradigmatik, istilah-istilah itu merupakan unsur yang tercatat pada poros sintagmatik (hadir sebagai fakta bahasa). Pada poros paradigmatik, istilah ini dapat bertukar dengan istilah yang mirip di ranah kejahatan tadi. Walhasil, pemilik gejala dan penderita penyakit akibat virus korona jadi identik dengan penjahat.
Ini tentu sangat menyakitkan dan berkontribusi pada terbentuknya nuansa ketakutan. Karena itu, penggunaan istilah itu jangan dilanjutkan. Untuk gantinya bisa dipertimbangkan, misalnya, orang potensial terjangkiti (OPT) untuk mengganti ODP, pasien yang dilindungi (PYD) untuk mengganti PDP, perlindungan untuk mengganti isolasi.
Istilah social distancing, yang diterjemahkan jadi penjarakan sosial, juga tidak tepat. Penjarakan dimaksud memang bersifat fisik. Namun, seyogianya tak digunakan istilah yang sekaligus memisahkan hubungan kemanusiaannya. Sebaiknya merujuk kepada Hall (1990) yang membuat taksonomi jarak dalam beberapa tingkatan, yakni intim atau cinta (0-1 meter), personal (2-4 meter), sosial (4-10 meter), dan publik (10-30 meter).
Merujuk ke taksonomi ini tampak jarak satu meter terkategori masih dalam nuansa cinta, tetapi tak intim (not close). Ini berarti, istilah social distancing dapat diubah dengan love distancing (penjarakan cinta). Walhasil, jarak satu meter bersifat menyatukan, bukan memisahkan. Di situ, love distancing menjadi jarak semiosis yang bisa jadi kekuatan sosial-kemanusiaan untuk bersama-sama melawan keganasan wabah ini.
(Acep Iwan Saidi Pembelajar Semiotika, Dosen ITB)
|