Selamat datang di website E-PAPER PERPUSTAKAAN DPRRI.

Koleksi Perpustakaan DPR RI

Judul Kajian Data. Putus sekolah. belajar dari Ebola, deteksi kelompok rentan putus sekolah
Tanggal 01 Mei 2020
Surat Kabar Kompas
Halaman -
Kata Kunci
AKD - Komisi X
Isi Artikel  Putus Sekolah Belajar dari Ebola, Deteksi Kelompok Rentan Putus Sekolah Kasus ebola di Afrika yang melahirkan anak rentan putus sekolah harus menjadi pelajaran bagi Indonesia di tengah menghadapi pandemi Covid-19. Deteksi dini perlu untuk mencegah anak putus sekolah akibat pandemi. Oleh Dedy Afrianto 1 Mei 2020 05:22 WIB · 5 menit baca             Kompas/Priyombodo Petugas pemadam kebakaran membantu penyemprotan disinfektan untuk mengantisipasi penyakit Covid-19 di lingkungan SDN 03, Petukangan Selatan, Jakarta Selatan, Kamis (26/3/2020). Saat epidemi ebola melanda beberapa negara di Afrika Barat, sejumlah anak harus putus sekolah karena faktor ekonomi. Kondisi serupa tak boleh terulang saat pandemi Covid-19 di Indonesia. Deteksi dini perlu dilakukan terhadap keluarga atau kelompok rentan putus sekolah. Epidemi ebola tahun 2014 memberikan pelajaran penting bagi sektor pendidikan. Menurut catatan Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO), penularan penyakit itu turut memberikan dampak sosial dan ekonomi bagi pelajar di beberapa negara Afrika. Kesulitan ekonomi yang dirasakan oleh keluarga selama epidemi memaksa anak-anak putus sekolah. Bahkan, menurut riset yang dirilis Badan PBB untuk Anak-anak (Unicef), Save the Children, dan beberapa lembaga lain, kesulitan ekonomi akibat epidemi ebola juga memaksa anak-anak bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup. Bagi anak perempuan, kondisi serupa memaksa mereka meninggalkan bangku pendidikan. Saat pencari nafkah dalam keluarga meninggal karena ebola, keluarga menikahkan anak perempuan mereka dengan harapan dapat memperoleh perlindungan dalam keluarga baru. Bahkan, di Sierra Leone, salah satu negara di Afrika Barat, kehamilan remaja meningkat hingga 65 persen pada beberapa kelompok masyarakat. Kebijakan penutupan sekolah saat epidemi ebola 2014 berbanding lurus dengan ancaman masa depan anak-anak di sebagian negara di Afrika.   REUTERS/NEWTON NABWAYA Tenaga kesehatan memindai suhu tubuh warga yang melintasi perbatasan Mpondwe antara Republik Kongo dan Uganda, Kamis (13/6/2019). Sejak wabah ebola merebak di Republik Kongo, Agustus 2018, pemantauan kondisi tubuh pelintas batas kedua negara diperketat untuk mencegah penyebaran penyakit. Belajar dari Afrika Kondisi ini tentu menjadi pelajaran penting bagi Indonesia yang tengah menghadapi pandemi Covid-19. Pasalnya, dalam keadaan normal sebelum pandemi, putus sekolah masih menjadi persoalan yang belum usai dituntaskan. Menurut catatan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, sejak 2016 hingga 2019, lebih dari 100.000 pelajar di Indonesia setiap tahun tidak dapat meneruskan proses pendidikan formal. Putus sekolah dialami oleh pelajar jenjang pendidikan SD, SMP, SMA, hingga SMK di berbagai daerah di Indonesia. Pada tahun lalu, jumlah pelajar putus sekolah di Indonesia naik hingga 52,2 persen dari 103.229 pelajar tahun 2018 menjadi 157.166 pelajar tahun 2019. Laju pertumbuhan putus sekolah tertinggi terjadi pada jenjang sekolah dasar, yakni sebesar 78,7 persen dari 33.268 pelajar menjadi 59.443 pelajar dalam kurun waktu yang sama.   Pertumbuhan jumlah pelajar putus sekolah yang tinggi juga dicatatkan oleh jenjang pendidikan SMA. Jika pada tahun 2018 terdapat 15.953 pelajar putus sekolah, pada tahun 2019 terjadi kenaikan hingga 68,4 persen menjadi 26.864 pelajar. Sementara pada jenjang pendidikan SMP, jumlah pelajar putus sekolah meningkat 34,3 persen. Kondisi serupa terlihat pada jenjang SMK dengan pertumbuhan jumlah pelajar putus sekolah sebesar 27,8 persen pada waktu yang sama. Jika dalam kondisi normal sebelum pandemi angka putus sekolah meningkat, kondisi serupa menjadi ancaman yang harus diantisipasi sejak dini di tengah pandemi ini. Pengalaman beberapa negara Afrika dapat menjadi pelajaran bahwa dampak ekonomi dari penyakit menular harus diantisipasi sedini mungkin agar tak berimbas ke sektor pendidikan. Baca juga : Mereka Berhenti Sekolah karena Uang Kelompok rentan Hal terpenting yang perlu dilakukan sebagai langkah antisipatif untuk menekan jumlah anak putus sekolah adalah melakukan pendataan keluarga atau kelompok yang rentan putus sekolah di tengah pandemi Covid-19. Merujuk data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2018 dari Badan Pusat Statistik, alasan utama anak putus sekolah adalah tidak memiliki biaya (35,97 persen) dan bekerja (14,87 persen). Artinya, kondisi ekonomi menjadi penyebab utama bagi sebagian besar anak di Indonesia yang putus sekolah.   Menilik berdasarkan kondisi ekonomi, ada beberapa kelompok rentan yang berpotensi mengalami putus sekolah karena persoalan biaya di tengah kondisi saat ini. Kelompok pertama adalah pelajar dengan orangtua yang bekerja di sektor informal, seperti buruh, pedagang, dan pengemudi ojek. Pembatasan sosial berskala besar (PSBB) yang dilakukan oleh sejumlah daerah turut mengurangi penghasilan pekerja informal. Akibatnya, kebutuhan biaya pendidikan anak yang akan memasuki tahun ajaran baru 2020/2021 pada Juli mendatang bisa saja tidak terpenuhi secara utuh. Padahal, berdasarkan catatan Badan Pusat Statistik pada Agustus 2019, sebanyak 55,72 persen penduduk di Indonesia bekerja di sektor informal. Jika tidak diantisipasi, penurunan pendapatan pekerja informal dapat memberikan efek domino pada pendidikan anak. Kelompok rentan selanjutnya adalah pelajar dengan orangtua yang bekerja di sektor formal, tetapi harus dirumahkan tanpa penghasilan akibat pandemi Covid-19. Akibatnya, anak tidak lagi memiliki sumber dana dari orangtua untuk melanjutkan pendidikan. Menurut catatan Kementerian Ketenagakerjaan, lebih dari dua juta pekerja harus dirumahkan di tengah pandemi Covid-19 hingga pekan ketiga April lalu. Berbeda dengan pekerja informal dari kelompok keluarga miskin yang memperoleh bantuan dari pemerintah, pekerja formal yang dirumahkan belum tentu memperoleh bantuan dana pendidikan anak karena sebelumnya tidak terdata sebagai keluarga yang membutuhkan. Artinya, dampak pada pendidikan anak juga akan dirasakan jika kelompok masyarakat ini luput dari bantuan pendidikan pemerintah. Selain itu, kategori kelompok rentan juga dapat disematkan kepada pelajar dari kalangan ekonomi menengah, tetapi memiliki orangtua atau kepala keluarga yang sedang sakit atau meninggal terkait Covid-19. Dalam situasi ini, kondisi keluarga memasuki fase sulit di tengah pandemi Covid-19 karena kehilangan kepala keluarga sebagai pencari nafkah utama.   KOMPAS/WISNU WIDIANTORO Anak-anak pedagang asongan, Supriyadi (kanan) dan Enggar, membuka kotak makanan yang mereka dapatkan saat menjajakan asinan buah di lokasi acara peringatan Hari Anak Nasional 2019 di Lapangan Karebosi, Makassar, Sulawesi Selatan, Selasa (23/7/2019). Supriyadi merupakan anak yatim piatu yang saat ini hidup bersama neneknya di kawasan Pongtiku, Makassar. Setiap hari, seusai jam sekolah di SD Negeri Bawakaraeng, ia menjajakan asinan buah. Dari hasil pekerjaannya, ia membawa pulang uang sekitar Rp 30.000. Hasil yang didapatkannya itu diserahkan kepada neneknya untuk keperluan sehari-hari. Kelompok rentan berikutnya adalah anak-anak yang selama ini bekerja secara mandiri untuk memenuhi kebutuhan biaya pendidikan. Anak pada kelompok ini terancam kehilangan pekerjaan saat masa pembatasan sosial selama pandemi. Dampaknya, mereka tidak lagi memiliki sumber penghasilan untuk dapat melanjutkan pendidikan. Anak jalanan yang bekerja sebagai pengamen, penyemir sepatu, dan pekerjaan informal lainnya juga masuk pada kategori ini. Bagi mereka yang masih bersekolah dan membiayai sendiri kehidupan sehari-hari, dampak ekonomi dari Covid-19 dapat menjadi batu sandungan untuk melanjutkan pendidikan. (LITBANG KOMPAS) Baca juga : Cegah Anak Putus Sekolah saat Pandemi Covid-19  
  Kembali ke sebelumnya