Isi Artikel |
Sikap pro dan kontra tak pernah absen dari setiap kebijakan yang diambil. Demikian pula dengan kebijakan suku bunga yang diambil Bank Indonesia. Sejak Juni lalu, suku bunga acuan BI atau BI Rate turun 0,25 menjadi 6,5 persen per tahun. BI juga menurunkan suku bunga Repo Tujuh Hari sebesar 0,25 menjadi 5,25 persen per tahun.
Dari sisi BI, tingkat suku bunga sudah bisa diturunkan karena tugas menjaga inflasi terpenuhi. Tingkat inflasi relatif rendah sekitar 4 persen dengan kemungkinan bergerak plus-minus 1 persen. BI juga melakukan ini sebagai bagian dari kolaborasi dengan pemerintah untuk mendorong investasi dan pada akhirnya meningkatkan pertumbuhan ekonomi.
Suku bunga rendah mendorong pemilik modal tidak menyimpan uang di deposito, dan memilih berinvestasi dengan imbal hasil yang lebih baik dibandingkan bunga deposito. Apalagi, suku bunga acuan yang rendah membuat suku bunga kredit bank juga lebih ringan karena biaya dana rendah. Bunga kredit rendah mendorong ekspansi, mendorong investasi.
Secara teori demikian, tetapi dalam kenyataan tidak selalu demikian. Investasi di sektor riil pada intinya bukan sekadar suku bunga kredit yang rendah, tetapi juga iklim investasi, daya beli masyarakat, dan berbagai peraturan dan kebijakan yang mendorong pemilik dana mau berinvestasi. Faktor-faktor yang terakhir ini tidak serta merta berubah sejalan dengan penurunan suku bunga.
Alhasil, sejauh ini permintaan kredit dari perbankan juga tidak berbanding langsung dengan suku bunga yang turun. Likuiditas perbankan yang masih ketat membuat bank tetap harus menarik dana dengan imbalan suku bunga deposito yang tinggi. Soalnya, bank masih terjebak dengan kredit bermasalah (NPL) akibat turunnya harga berbagai komoditas dan belum pulihnya ekspor.
Nyatanya, rasio kredit bermasalah gross juga meningkat dari 2 persen pada Desember 2014 menjadi 2,8 persen pada Maret 2016. Angka ini naik menjadi 2,9 persen per April 2016. Kondisi ini memaksa perbankan menahan kredit baru.
Likuiditas juga belum sepenuhnya balik untuk diteruskan dalam bentuk kredit. Dana pihak ketiga (DPK) juga turun dari 6,4 persen bulan Maret menjadi 6,2 persen per April 2016. Perbankan mengalami tekanan ganda soal ketersediaan likuiditas untuk penyaluran kredit. Di sisi lain, kredit yang belum dicairkan nasabah juga terus meningkat, dari Rp 1,13 triliun per Desember 2015 menjadi Rp 1,23 triliun per Maret 2016.
Dari sisi kredit yang belum melaju, bisa jadi kebijakan suku bunga rendah malah tidak membuat perbankan lebih leluasa menjalankan fungsi intermediasinya. Sebab, tidak ada likuiditas yang masuk karena DPK yang susut. Suku bunga yang tak menarik malah membuat pemilik modal lebih berspekulasi di pasar uang dengan imbal hasil dari perubahan kurs mata uang yang sangat cepat, dengan selisih yang cukup menarik.
Ada sikap lain bahwa suku bunga bank sebaiknya jangan terlalu rendah, karena menjadi tidak menarik bagi pemilik modal di dalam negeri ataupun di luar negeri untuk menaruh dananya di perbankan Indonesia. Sikap ini bisa jadi benar. Kini, nilai rupiah menguat karena ada spekulasi dana asing yang masuk. Hanya saja, jumlah cadangan devisa Indonesia masih bertahan pada 103,59 miliar dollar AS per Mei 2016.
Jika perbankan kesulitan likuiditas, dana asing yang masuk juga akan menambah pundi-pundi perbankan Indonesia. Juga mendorong DPK di perbankan. Akhirnya, ada dana yang bisa disalurkan untuk kredit investasi.(PIETER P GERO)
|