Isi Artikel |
Yen.
JAKARTA—Mata uang yen sebagai aset haven diprediksi bakal terus melanjutkan tren menurun pada pekan ini seiring dengan rencana penggelontoran stimulus serta membaiknya data perekonomian China dan Amerika Serikat. Harga diperkirakan bergulir di rentang 106,9-107,8 per dolar AS.
Pada penutupan perdagangan Jumat (15/7) yen menurun 0,42% atau 0,44 poin menuju 104,91 per dolar AS. Angka tersebut menunjukkan JPY telah terkoreksi dalam 2 minggu terakhir.
Deddy Yusuf Siregar, Research and Analyst Asia Tradepoint Futures, menuturkan merosotnya yen sebanyak 4,34% pada pekan lalu merupakan koreksi mingguan terburuk sejak Februari 1999. Mata uang ini sedang berada di bawah tekanan akibat membaiknya aset-aset berisiko.
Dari sisi internal, spekulasi Jepang menyediakan helicopter money, yakni langkah bank sental atau Bank of Japan (BoJ) membiayai langsung belanja pemerintah berhasil menekan yen. Meski Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe belum mengumumkan kapan dan berapa jumlah stimulus yang siap diberikan, tetapi pasar sudah merespons kuat rencana tersebut.
Sementara itu, dari sisi eksternal perbaikan data ekonomi China dan Amerika Serikat memberikan proyeksi penguatan pasar global, sehingga menurunkan permintaan aset haven seperti yen. Pemerintah setempat merilis pada Jumat (15/7), produk domestik bruto (PDB) Negeri Panda naik 6,7% pada kuartal II/2016 dibandingkan setahun sebelumnya.
Berdasarkan data Bloomberg, angka tersebut mendekati prediksi sebesar 6,6% dari sejumlah ekonom dan melebihi target PDB pemerintah setahun penuh di level minimal 6,5%.
Departemen perdagangan AS mengumumkan penjualan jasa ritel dan makanan periode Juni naik 0,6 persen dari bulan sebelumnya menjadi US$457,0 miliar. Produksi industri bulan Juni pun meningkat 0,6%, setelah turun 0,3% pada Mei.
Menguatnya data Paman Sam berhasil menguatkan indeks dolar. Pada penutupan perdagangan Jumat (15/7) dolar meningkat 0,503 poin atau 0,52% menuju 96,58, yang menjadi level tertinggi dalam empat bulan terakhir.
Sebelumnya, sejumlah riset dan analis memperkirakan peluang yen mencapai level 95-100 per dolar AS. Menurut Deddy, angka tersebut masih bisa disentuh karena posisi JPY sebagai aset lindung nilai selain USD dan emas.
"Bila ketidakpastian masih menyelimuti masa depan Inggris Raya, maka sentimen tersebut memberikan ruang bagi yen untuk menguat. Namun, BoJ akan terus menggelontorkan dana ke pasar agar mata uangnya bisa melemah," ujarnya kepada Bisnis, Minggu (17/7).
Penguatan yen berimbas buruk bagi negara eksportir seperti Jepang. Selain itu, target inflasi 2% dari BoJ semakin menjauh, sehingga pemerintah dan bank sentral sepakat melakukan intervensi melalui stimulus.
Dalam sepekan ke depan, Deddy memprediksi harga yen bergulir di rentang 106,9-107,8 per dolar AS. Untuk jangka menengah atau sampai kuartal III/2016, JPY harus menembus level support 100-98,7 per dolar agar bisa berbalik melanjutkan penguatan.
Georgette Boele dan Roy Teo, analis ABN Amro, dalam publikasi risetnya, Jumat (15/7), menyampaikan harga yen pekan lalu tertekan setelah mantan Gubernur The Fed Bernanke menyampaikan gagasan obligasi abadi kepada PM Abe. Hal ini memicu spekulasi kebijakan helicopter money.
Pada Jumat (15/7) pagi, JPY merosot menembus level 106 per AS. Selain itu, sentimen membaiknya PDB China turut menjadi pemicu pelemahan yen lebih lanjut. "Kami memproyeksikan yen menemukan area support di sekitar 107-108 per dolar AS," paparnya.
Pelemahan yen diprediksi terjadi pada sepanjang kuartal III/2016 dengan rentang harga 98-108 per dolar AS. Koreksi yen juga didorong investor yang meningkatkan pembelian di aset berisiko seperti pound sterling.
Baru-baru ini, GBP mengalami penguatan setelah Bank of England (BoE) menjaga kebijakan moneter dan membaiknya suasana politik Britania Raya dengan adanya perdana menteri baru.
Meskipun demikian, Boele dan Teo memerkirakan GBP akan kehabisan tenaga untuk mendaki akibat alotnya negosiasi antara Uni Eropa dan Inggris. Di sisi lain, rilis data pelemahan ekonomi Inggris bakal membebani pound sterling. (Bloomberg)
|