Selamat datang di website E-PAPER PERPUSTAKAAN DPRRI.

Koleksi Perpustakaan DPR RI

Judul Pandemi Corona, Efektifkah jika Pemerintah Lakukan Cetak Uang Baru?
Tanggal 08 Mei 2020
Surat Kabar Kompas
Halaman -
Kata Kunci
AKD - Badan Anggaran
Isi Artikel KOMPAS.com - Badan Anggaran DPR RI diketahui telah mengusulkan ke pemerintah dan Bank Indonesia (BI) untuk mencetak uang hingga Rp 600 triliun pada pekan lalu. Adapun upaya ini digadang-gadang untuk menyelamatkan ekonomi Indonesia dari pandemi Covid-19. Seperti diketahui, saat pandemi menginfeksi Indonesia pada 2 Maret 2020, sejumlah tindakan pencegahan sudah dilakukan, seperti membeli beberapa bahan pangan untuk mencukupi kebutuhan makan di tengah pandemi. Lantas, apa saja dampak yang terjadi jika Indonesia benar-benar akan melakukan pencetakan uang baru? Direktur Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Enny Sri Hartati mengungkapkan, ada sejumlah dampak yang terjadi jika pemerintah dan BI mencetak uang baru di saat pandemi. "Bisa menekan jumlah uang yang beredar, menurunkan nilai uang yang akan mendorong inflasi, dan juga nilai aset akan menjadi turun," ujar Enny saat dihubungi Kompas.com, Kamis (7/5/2020). Menurutnya, hal yang perlu dipahami oleh masyarakat dari pencetakan uang yakni kelonggaran likuiditas. Dengan adanya kelonggaran tersebut tidak semerta-merta membuat money press (tekanan nilai uang). Enny mencontohkan, saat Indonesia melakukan pencetakan uang karena ekonomi negara sedang membutuhkan penambahan uang yang beredar, maka BI akan menambah uang dan bunganya akan diturunkan. Namun, hal ini akan berdampak pada keengganan masyarakat untuk menabung di bank lantaran bunga yang kecil. Penurunan nilai uang Sementara itu, jika cetak uang dalam arti menambah kredibilitas, misalnya pemerintah meningkatkan defisit anggaran atau perlu cetak uang sebanyak Rp 600 triliun, maka akan berdampak pada penurunan nilai uang. "Artinya yang terjadi jumlah output dengan jumlah uang yang beredar itu tidak sama, lebih banyak uang yang beredar, maka nilai uang akan turun," ujar Enny. Jika nilai uang mengalami penurunan otomatis akan mendorong adanya inflasi. Tetapi, jika jumlah pencetakan uang mencapai nominal yang sangat tinggi, bisa juga memicu adanya hyperinflasi di mana Indonesia sempat mengalami pada masa Orde Lama. "Kalau begitu tidak ada manfaatnya, nanti nilai aset atau nilai uang juga akan turun," lanjut dia. Orang cenderung tidak mencari rupiah Tak hanya itu, dampak lain yang terjadi jika pemerintah dan BI mencetak uang dalam jumlah besar, maka tidak akan ada orang yang akan menyimpan rupiah. Hal ini dikarenakan, Indonesia bukanlah negara besar. Artinya, saat terjadi krisis orang-orang cenderung lebih mencari dollar AS ketimbang rupiah. "Kalau pun pemerintah mencetak uang dalam jumlah banyak, maka orang tidak akan mencari rupiah, justru orang akan melempar rupiah," ujar Enny. Menurutnya, hal ini menimbulkan kapital outplug, karena ketidakpercayaan pasar. "Jangan lupa bahwa modal asing yang ada 20 persen itu, sebanyak 40 persennya misal dicabut, bayangkan saja, ini bisa jadi karena ketidakpercayaan. Kalau itu terjadi, yang menjadi persoalan tidak hanya inflasi, tapi depresiasi nilai, malah kita kena dua kali," lanjut dia.   Solusi alternatif Di sisi lain, meski belum terealisasi pencetakan uang baru sebesar Rp 600 triliun, Enny mengatakan, Indonesia butuh stimun sistem, karena semua akan kena dampaknya, tidak hanya dari faktor kecil maupun besar. Ia menambahkan, penyelesaian ini tidak hanya satu visi yang bisa menyelesaikan persoalan tanpa ada persoalan lain. Kendati demikian, kuantitas pencetakan uang atau fresh money itu betul-betul harus dihindari. Terkait sejumlah dampak yang telah disebutkan, Enny menganggap saat ini persoalan ekonomi yang dialami Tanah Air bukan bersumber dari krisis moneter, melainkan dari sisi ketidakadilan kebijakan fiskal, kelambanan sektor riil, dan lainnya. "Sehingga yang terjadi menjadi pemahaman bersama, kita kan inginnya menjaga kestabilan ekonomi, kalau bisa menjaga stimulus," kata Enny. "Semua negara di dunia dengan pandemi ini pasti menghadapi yang namanya ancaman resesi," lanjut dia. Menurutnya, ketika menghadapi resesi tidak mungkin suatu negara akan menghilangkan fenomena tersebut, namun dapat berupaya bagaimana cara meminimalisir dampaknya. Enny menjelaskan, upaya yang dilakukan bisa dengan ketepatan kebijakan, misalnya mendorong UMKM agar lebih produktif. Meski tergolong dari faktor ekonomi kecil, UMKM dapat efektif dari adanya subsidi listrik yang juga berdampak pada cara bertahan hidup warga-warganya. Sementara itu, untuk perusahaan besar bukan serta-merta tidak punya peran, namun perusahaan besar masih bisa bernapas panjang.  
  Kembali ke sebelumnya